Langsung ke konten utama

Pandangan Islam dalam Berideologi

Buku “Islam Ideologi Dunia dan Dominasi Struktural” merupakan buku lama, tahun terbitnya tercatat 1984. Pada waktu penciptaannya, Fachry Ali masih berada di tingkat terakhir jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, waktu itu masih bernama IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Jika melihat bidang keilmuwan yang diselami Fachry, tepat rasanya jika muatan bukunya menjabarkan tentang bagaimana Islam memandang ideologi dunia yang perkembangannya relevan sampai detik ini. Meskipun buku tersebut terbilang lama, tetapi mengenai isi dan realitasnya sangat berkaca pada konteks saat ini.

Tidak pernah jauh topik masalah ideologi yang diambil, yaitu Kapitalisme, Sosialisme, dan Sekularisme. Tiga ideologi tersebut sangat berperan aktif memengaruhi siklus perkembangan di dunia, baik dari segi kultur budaya, kultur ekonomi maupun kultur perpolitikannya. Fachry selalu mengambil sudut pandang Islam dari bermacam-macam ideologi itu.

Kapitalisme selalu kita lihat menggunakan kaca mata keburukan, tapi secara tidak sadar kita terkadang sering mengamalkan nilai-nilai dari Kapitalisme itu sendiri. Free enterprise dijadikan terminologi awal karena memunculkan high technology atau perkembangan teknologi tingkat tinggi. 

Menurut Fachry, free enterprise adalah situasi yang erat kaitannya dengan filsafat individualisme, di dalamnya terdapat anggota masyarakat yang memiliki kebebasan dalam berusaha. Berlari-lari mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya dan memakai cara sepintar-pintarnya.

Di dalam teori ekonomi manapun, selalu mengutamakan untung sebanyak-banyaknya. Bagaimana orang berusaha dengan modal kecil, tetapi mendapat laba tanpa batas. Doktrin itulah yang akan berkamuflase menjadi sifat individualistik dalam diri manusia. 

Meski awal mula filsafat individualisme ini tergolong filsafat sosio-politik, tapi seiring perkembangannya, ia sering dikategorikan masuk ke kehidupan ekonomi yang nantinya akan lahir ideologi ekonomi, kemudian kita mengenalnya sebagai Kapitalisme. 

Cara kerja Kapitalisme selalu dikaitkan pada penguasaan pribadi atas aset-aset produksi (productive assets) dan hasil produksi yang ditujukan ke pasar.

Fachry berpendapat, pada waktu itu memang Kapitalisme mengalami kebangkitan, bahkan bukan hanya di Barat. Namun seiring kebangkitannya, justru kapitalisme merusak stabilitas sosial-ekonomi di wilayah negara-negara berkembang. 

Adanya Kapitalisme, semua negara berlomba-lomba bagaimana menjadi negara maju, khusunya di bidang industri. Para pekerja dituntut bekerja berjam-jam dengan upah tak layak, bahkan sampai merenggut kondisi kesehatan mereka.

Itu semua karena tuntutan jumlah produksi pasar. Para perusahaan mau tidak mau harus berproduksi sesuai yang dibutuhkan pasar. Padahal, semakin ditindas, semakin hilang hak para pekerja. Semakin hilang hak para pekerja, semakin banyak dan besar pula tuntutannya. 

Makanya, tidak perlu berpikir aneh-aneh jika para buruh dan pekerja sering aksi menuntut haknya diberikan secara adil dan semestinya.  

Jangan sampai seperti negara-negara yang berafiliasi non Barat (Asia, Afrika, dan Amerika Latin), mereka kehilangan identitas kebangsaannya karena sudah berlomba-lomba menjadi negara maju dengan menghilangkan nilai-nilai kebangsaan yang diamalkan oleh para penduduknya. 

Apakah gambaran seperti itu tidak terjadi di Indonesia? Semestinya kita sudah bisa berpikir sampai ke sana. Apakah kemajuan yang diusung Indonesia sekarang memiliki terminologi jelas? Kalaupun mau maju, apa seharusnya yang bisa dijadikan tolok ukur? 

Kesadaran untuk maju perlu dibarengi dengan kesadaran atas kemunduran itu. Kesadaran pun perlu dibarengi juga pemahaman kenapa kemunduran bisa terjadi. Bagaimana kita bisa melangkah ke depan, kalau kita tidak tahu di mana dan kapan kita memulai maju. Setelah tau titik di mana untuk maju, baru perumusan teknis kemajuan bisa dicanangkan.

Dari gambaran kondisi semacam itu, kita tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh. Demi sebuah masyarakat industri Kapitalis, sudah berapa banyak tanah-tanah milik rakyat yang ditransformasikan menjadi tanah industri.

Seperti data yang ditunjukkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), tercatat di tahun 2019 saja sudah terjadi 279 letusan konflik agraria di Indonesia, 87 di antara terjadi di wilayah perkebunan. Sebanyak 258 orang mengalami kriminalisasi, 211 orang dianiaya, 24 orang tertembak, dan 14 orang di antaranya tewas. 

Sedangkan data yang ditunjukkan oleh Konsorium Pembaharuan Agraria (KPA) telah terjadi sekitar sembilan kasus agraria pada saat Pandemi dan itu terjadi secara terstruktur dan merata.

Sejalan yang disampaikan Gunnati, bahwa Kapitalisme bukan hanya masuk pada wilayah ideologi Barat, tetapi sudah menjadi ideologi berbudaya yang perkembangannya sangat masif terjadi menyeluruh di berbagai negara yang notabennya tidak hanya di wilayah Barat. 

Pergerakan ideologi tersebut mengakibatkan muncul sistem baru namanya dominasi, atau kita mengenalnya Imperialisme, suatu dominasi atas satu negara ke negara lain. Bisa berbentuk individu negara ataupun kolektivitas dari beberapa negara untuk menguasai negara di bawahnya.

Pernah tidak kita membayangkan bahwa ada sekolompok negara yang berusaha menentukan harga pasar untuk negara-negara berkembang, sehingga para negara berkembang berusaha mati-matian mengejar pasar tersebut sampai jatuh bangun mengalami inflasi. 

Itu salah satu imbas dari konsep kerja Kapitalisme. Pada hasil akhirnya kita mengenal namanya sistem kelas, antara borjuis dan proletar. Lalu bersamaan setelah itu, lahir dua pahlawan namanya Marx dan Engel yang bekerja keras menentang adanya sistem kelas.

Tidak ada habisnya menelisik berbagai permasalahan ekonomi di dunia. Ideologi ekonomi nyatanya terus berkembang dari zaman ke zaman. Ekonomi bisa dihitung, sama halnya dengan dunia dengan segala permasalahannya. 

Padahal turunnya Nabi Muhammad Saw. sudah menjadi terobosan bagi kita dari Allah untuk menyempurnakan akhlak. Selain itu, Al-Quran sebagai mukjizatnya juga turun memberi keputusan di antara permasalahan manusia dengan segala pertikaiannya. Seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 213 yang menyatakan:

“Manusia adalah umat yang satu, lalu Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan menurunkan bersama mereka kitab dengan benar, memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan”

Dari dulu di Islam tidak mengenal namanya kelas, kelas atas, kelas bawah. Semua manusia sama. Kita sebagai manusia beriman tidak boleh menafikkan jika kita benar-benar berposisi sebagai hamba Allah yang terus dituntut untuk bertakwa kepada Allah. 

Secara implementasi sosial memang kenyataannya masih ada kelas. Tapi ingatlah, kita sebagai hamba, manusia, bukan Tuhan yang bertindak sesuka-suka. 

Kalau memerhatikan struktur kehidupan manusia, ada Tuhan yang menentukan baik buruk, kaya miskin, dosa atau tidak, pantas dan tidak pantas. Kelas ekonomi hanya sebagai kelas duniawi, di mana dalam Islam ada kelas takwa yang memengaruhi derajat manusia di hadapan Tuhan.
-

Islam Subjek dan Islam Objek

Titik berat pembahasan dalam buku Fachry Ali adalah tentang segala spesifik mengenai dua ideologi dunia yang sangat populer, yaitu Sosialisme dan Kapitalisme. Tentu hal ini sedikit banyaknya memengaruhi perjalanan Islam menyebar ke segala penjuru dunia. 

Muncul pertanyaan awal, apakah Islam menyesuaikan terhadap dua ideologi itu, atau justru dua ideologi itu harus menyesuaikan dengan Islam? Meskipun Islam merupakan agama penyelamat dari langit, tapi kenyataannya, Islam selalu bertindak sebagai bagian yang menyesuaikan dengan keadaan, terutama kondisi zaman yang ada. 

Seolah-olah Islam tidak dijadikan bahan pertimbangan yang logis. Model berpikir semacam itumembuat Islam semakin kerdil. Padahal Islam lebih sempurna dari ideologi-ideologi lain. Islam lebih menyeluruh ke berbagai aspek, di mana suatu ideologi tidak mampu menjangkaunya. Bahkan sesungguhnya Islam tidak bisa dijadikan bahan pertandingan dengan ideologi-ideologi lain. 

Sebab Islam lebih mulia karena bersumber dari Allah Swt, sedangkan ideologi dunia cukup mampu berhenti pada satu titik yang dinamakan logika manusia. Itu pun kelahirannya atas kehendak Allah, logika berpikirnya pula atas perintah Allah, tokoh yang memikirkannya pun hidup atas izin Allah.

Kedinamisan ideologi jadi daya tarik sendiri di kalangan intelektual. Ia bisa menjadi sub ideologi yang bercabang-cabang lantaran hasil luaran dari pola pikir mereka yang relevan atau masih berhubungan dengan konteks. Macam dari konteks pun bisa sangat banyak, begitu pula penyelesaiannya.

Praktik uji coba sosial penting dilakukan untuk mengetahui sebagaimana tingkat kemanfaatan suatu ideologi. Ia tidak bisa berkutik hanya sebatas sebagai pengetahuan. Ia akan bisa berkembang lebih panjang lagi kalau sering menemukan konteks-konteks di lapangan. Itu yang disebut kandungan ilmu dari ideologi, dan semua praktik ilmu harus sebisa mungkin menimbulkan manfaat bagi orang lain.

Sejalan dengan artikel yang ditulis oleh Emha Ainun Najib, berjudul “Budaya Dakwah”. Dari tulisan itu, Emha mengatakan manusia saat ini terjepit oleh dua ideologi dunia, yaitu Sosialisme dan Kapitalisme. Dua ideologi ini saling berseberangan. Semakin berkembang Kapitalisme, maka semakin berkembang juga Sosialisme. 

Emha atau kerap disapa Cak Nun menengaskan jika saat ini Islam sudah bukan lagi referensi primer, melainkan mengalami kemunduruan menjadi sekunder. Oleh karena itu, Islam dan juga para pendakwahnya harus mampu membaca situasi dan mencari sedini mungkin celah di antara dua ideologi tersebut.

Secara spesifik, jika melihat unsur-unsur dari idelogi itu, kedua-duanya sangat menuhankan materialisme. Prioritas ajarannya selalu mendambakan keuntungan sebanyak-banyaknya. Dari hal tersebut, para pendakwah bisa lebih leluasa mencari apa simbol-simbol dari ajaran tersebut. 

Sehingga ketika muncul di masyarakat, ia bisa lebih membatasi diri dan mengajarkan kepada umat tentang pola hidup supaya tidak tertipu dengan ajaran idelogi itu.

Sama halnya seperti tulisan Cak Nun yang bertajuk Nurcholis Majid atau Cak Nur. dalam tulisannya berjudul "Tarekat Nurcholisy" Cak Nun memberi pandangan baru bahwa sebenarnya bukan Islam yang menyesuaikan, tetapi bagaimana orang bisa mencari dalam ajaran Islam. 

Selama ini narasi-narasi pembaharuan Islam menjadi tren baru. Mungkin beberapa pandangan orang mengatakan, jika Islam mau tidak mau harus menyesuaikan dan diperbarui.

Narasi Cak Nur soal pembaruan Islam sesungguhnya bukan perihal pembaruan. Hanya saja Cak Nur melakukan gerakan penyegaran Islam. Dari kata narasi itu jangan disalahpahami sama seperti pembaruan Islam. Justru bukan Islamnya yang diperbarui, tetapi pemahaman masyarakat tentang Islam yang wajib disegarkan. Tujuannya agar pemikirannya tentang konteks zaman tidak terlepas dari pondasi Islam.

Kesalahpahaman sampai pada sekularisme sering menyelinap di sendi-sendi praktik kehidupan manusia, baik politik, sosial, ekonomi, dan aspek lainnya. Keterpisahan agama sama halnya keterasingan manusia dengan Tuhannya. 

Sehingga agama menjauh dari manusia, tetapi ideologi yang semula cukup dijadikan bahan praktik sosial, malah sekarang seakan-akan disimulasikan sebagai sumber agama, sehingga muncul sebutan agama palsu (pseudo religion)

Sebutan itu marak terjadi pada abad ke-19, di mana ideologi berperan penting pada siklus kehidupan manusia. Pengaruhnya sangat besar sampai didaulat sebagai doktrin ampuh yang bersifat ideologis.

Maka saat itu lahirlah the age of ideology, bahwa ideologi bisa tercipta dan bisa dimatikan. Caranya tidak mungkin bisa dibubarkan secara struktural atau kelembagaan. Butuh pemberantasan menyeluruh sampai ke akar-akarnya, yaitu logika dan akal. Penanaman doktrin harus dituntaskan dengan penanaman doktrin baru yang bisa dipastikan melekat pada saraf-saraf otak.

Sudah kita ketahui bersama, lahirnya dua ideologi tersebut dilatar belakangi oleh kepentingan ekonomi dan sekaligus bagaimana usaha penyelesaiannya. Selama ekonomi masih berlanjut, dua ideologi itu masih berjalan. Padahal kapitalisme dan sosialisme selalu berseberangan, tapi mereka terus beriringan.

Fachry Ali menjelaskan apabila peran dan fungsi agama oleh ideologi berjalan tidak langsung, maka harus ada sesuatu yang wajib dibangkitkan kembali sebagai kesadaran keagamaan bagi dirinya masing-masing, yaitu “ideologi ilmu pengetahuan”. 

Perkembangan antara teknologi dan agama adalah hal yang berbeda, kita selalu mengasumsikan jika agama adalah produk tradisional, sedangkan teknologi merupakan hal baru yang sungguh mengesankan. 

Asumsi seperti itu adalah asumsi salah paham, Islam sebenarnya ajaran nilai yang relevan di segala zaman. Kesadaran yang menimbulkan asumsi seperti itulah yang hadir di masyarakat, kesadaran agama kurang bisa dijadikan pondasi berpikir dan bertindak, sehingga agama belum mampu mengambil praktik di tengah-tengah masyarakat.

Ciri utama ideologi ilmu pengetahuan yang langsung berhubungan dengan peran dan fungsi agama adalah adanya kepercayaan besar kepada ilmu pengetahuan positif sebagai dasar untuk mengatur dan mengembangkan potensi masyarakat. 

Ilmu pengetahuan harus menjadi kekuatan rohaniah baru untuk menggantikan teologi feodal, namun konsekuensinya masyarakat harus ditata secara ilmiah dari atas oleh suatu kediktatoran orang-orang yang memiliki keahlian.

Dari rentetan usaha sadar dan sistematis di atas akan muncul fungsi agama terhadap ideologi ilmu pengetahuan yang semakin melebar dan berkembang. Artinya, agamalah yang justru harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan bisa memberi legitimasi atas fenomenologi ideologi. 



Lamongan, 10 September 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...