Aku kurang paham, apakah aku ini orang
berpendidikan atau tidak. Secara materi memang aku mengerti bagaimana cara
memakan bangku sekolah, jangankan bangku, papannya pun senagaja saya makan,
biar lebih lengkap kepintarannya, agar lebih kompleks struktur berpikir yang
saya punya. Saya masih belum seberapa paham, perbedaan orang berpendidikan
dengan orang tidak berpendidikan.
Apakah manusia abad ini hanya diberi Allah
batas kemampuan dari cara berpikir dan berbicaranya, apakah Allah tidak
menganugrahi hambanya sampai bisa melihat pada struktur organ tubuh secara
batin yang paling penting yaitu hati. Lantas bagaimana indikator orang-orang
besar yang notabennya berpendidikan, berdedikasi tinggi, letak kesadaran mereka
seperti apa kok sampai bisa melakukan perbuatan korupsi besar-besaran, maling
berbudaya, berkarakter, sampai teknik pelancaran aksinya antara sekarang dengan
besok berbeda.
Ada maling bertenaga, ada maling yang
berpikir. Apakah yang bertenaga juga tidak bisa berpikir. Keduanya sama-sama
berpikir, namun wilayah kerjanya lebih tinggi tingkatnya dari pada yang
biasa-biasa saja. Intinya tidak ada orang berpendidikan mencuri, di mana pun
dia berada. Orang berpendidikan tentu mempunyai jiwa-jiwa luhur yang paham mana
baik dan mana yang salah. Jika orang berpendidikan mempunyai inisiataif
mencuri, jujur saja dia tidak mempunyai sifat kependidikannya.
Lalu apa yang salah dari pejabat-pejabat
korupsi itu, saya rasa mereka sangat mampu membedakan mana yang baik dan mana
yang benar. Gelar mereka titelnya sampai bertingkat-tingkat. Bukankah dalam
membedakan baik buruk mereka lebih cakap, lebih mempunyai cara pandang sendiri,
berdimensi sangat luas. Saya mengkategorikan mengambil uang negara sama saja
mengambil uang bapak di dompet tanpa sepengetahuannya, sangat fatal kalau bapak
sampai mengetahui jika uang dalam dompet diambil anaknya tanpa izin.
Dari segi kondisi norma suul adabnya,
sangatlah tak patut dilakukan, ibarat dompet dalam saku bapak itu adalah sebuah
wilayah sakral baginya, ada norma etika, keadaan zaman, kondisi tata krama yang
sangat berharga. Bapak sangat marah besar jika anak kandungnya melakukan
perbuatan itu. Hal yang menjadi keprihatinan ialah, bagaimanapun pentingnya
barang itu, kurang pentingnya materi itu, ketika sudah tersimpan pada wilayah
yang sudah menyangkut nilai-nilai peradaban akhlak kemanusiaan, bapak patut
marah, demi jangan sampai anaknya menjadi mencuri, merusak tatanan nilai
sosialnya.
Dalam tata krama jawa bisa jadi ada
nilainya tersendiri, norma timbul bukan hanya dengan sendiri nilai itu
ditegakkan, melainkan ada karena di balik struktur tatanan nilai itu menjadi
buah sebab akibat. Para orang tua membiasakan hukum tersebut agar anak-anaknya,
keturunannya jangan sampai melakukan tindakan budaya yang salah kaprah,
menyalahi aturan masyarakat yang berlaku.
Uang negara, uang saku negara, atau harta
negara adalah milik rakyat.
Rakyat adalah sebagai bapak sedangkan para pejabat adalah anak-anak yang
dididik oleh institusi pendidikan agar
mempunyai jiwa pemimpin yang tangguh dan bertanggung jawab. Rakyat sebagai
penerima kebijakan, kita sebagai rakyat sudah sepantasnya memberi batasan
sampai mana mereka memakai uang kita.
Wilayah rakyat adalah dimensi kesakralan,
kalau orang jawa menyebutnya kualat. Mereka tidak bisa memakai uang itu tanpa
ada kebijakan yang pro rakyat. Semua aset di negeri ini adalah milih rakyat.
Dari RT sampai presiden dalam struktur keorganisasian negara, semuanya digaji
menggunakan uang rakyat. Rakyat sebagai agen pelaku utama kebijakan yang
diputuskan oleh pemerintah. Konsep subjek pertama di suatu negara adalah
rakyat, sedangkan pemerintah hanya subjek kedua setelah rakyat.
Pemerintah bukan Tuhan yang harus diaptuhi
secara mutlak. Yang patut dipatuhi secara mutlak hanya Allah. Rakyat adalah
sebab aturan itu diputuskan, kalau bukan rakyat, siapa lagi. Ketika ada
pemerintah, di situ ada rakyat. Presiden sendiri berasal dari rakyat dan
dipilih oleh rakyat. Tanpa menjadi rakyat, presiden tidak akan pernah mampu
merasakan penderitaan-penderitaan yang dialami oleh rakyatnya.
Sampai kapan rakyat menyendiri dalam
kesepian. Di ujung segala yang pernah berjalan, rakyat tidak bisa memahami
penderitannya sendiri, sebab makhluk paling kasihan di dalam sistem
pemerintahan adalah rakyat. Mereka mampu menyelami sendiri penderitaannya,
tanpa sedikitpun belas kasih penyandingan dari mereka-mereka yang seharusnya
menemani. Rakyat selalu dinomor duakan, dipalingkan, dikucilkan dari wilayah
kekuasaannya sendiri.
Subjek nomor satu merupakan paling utama
yang harus disandingkan dengan kepentingannya. Dari yang melupakan sampai yang
benar-benar lupa. Pendidikan seharusnya bisa sebagai pendukung yang pasti dari
segala sumber sikap, kebijakan para manusianya. Pendidikan adalah salah satu
dimensi dari kebaikan, bukankah pengalaman tanpa pendidikan juga bisa menjadi
suatu pendukung dalam kebaikan.
Dari pengalaman kita bisa menemukan banyak
kejadian yang membuat manusia menjadi berpikir. Pengalaman merupakan tempat
salah dan benar, nilai-nilai yang terkandung memang tidak bisa kompleks secara
lengkap. Akan tetapi, bukan pengalaman itu yang menjadi unsur
kelengkapan.
Pemahaman dari suatu nilai-nilai itu yang
membuat kita menjadi lengkap dalam berpikir, meskipun memang lengkap itu tidak
ada, semua manusia butuh pemahaman yang berkelanjutan, presisi dari salah ke
benar adalah sangat panjang, banyak proses yang dilakukan dan dipermainkan.
Yang utama bukan pendidikanny, tetapi belajarnya.
Kita seringkali memahami belajar adalah
ketika memasuki waktu-waktu ujian sekolah, lantas sekolahmu sendiri itu apa
kalau bukan untuk belajar. Sekolah kian hari seperti ladang pertumbuhan,
sehingga mata-mata kita selalu tertutup oleh barang-barang yang batil tanpa
kita telaah dan analisis. Kita sendiri semakin lupa siapa Ki Hadjar, padahal
setiap hari pendidikan nasional,
foto beliau sealu dipajang di banner-banner pinggir jalan, tapi semakin lama nilai-nilai
itu kian terkikis dari perilaku kita sehari-hari.
Apa itu nasionalisme, bagaimana cara hidup
dan menghidupi Negara Indonesia ini masih mengalami kebingungan, pasalnya
bagaimana kita menjadi bangsa yang benar, kalau proses kecil yang ada dalam pendidikan
intitusi masih dilakukan dengan cara yang tidak benar. Nasionalisme tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia bernegara.
Setiap orang bernegara, nilai-nilai
nasionalisme secara langsung menempel di prinsip mereka masing-masing.
Nasionalisme tidak bisa diubah, setiap manusia, rakyat pasti mempunyai
jiwa nasionalisme. Tapi nasionalisme seperti apa yang dilakukan, tentu melihat
dari pengalaman dan perjalanan spiritual yang pernah dialaminya. Pertahanan
negara jika diremehkan, dikecilkan bagaimanapun, pasti semua rakyat marah
dengan hal tersebut. Meskipun itu NU, Muhammadiyah, LDII sampai ideologi yang
bisa dikatakan radikal kepada negara, pasti mereka semua memilki jiwa-jiwa
nasionalis meskipun pemahaman dasar nasionalis mereka berbeda.
Penddidikan adalah mencangkup lingkungan
luas, setiap jenjang pendidikan memilki tanggung jawab yang berbeda-beda. inti
dari pendidikan adalah menemani dan folow upnya adalah mereka yang dididik
harus bisa sabagai teladan yang bersungguh-sungguh menghadirkan nilai-nilai
harmonis dalam masyarakat. Menyeimbangkan yang kurang imbang, membenarkan apa
yang salah, meluruskan apa yang bengkok.
Mengapa sebagai teladan, sebab indikasi
teladan adalah dilihat orang, sedang contoh baik-buruk harus sesuai dengan yang
melihat. Kita sebagai kaum yang terdidik wajib menunjukkan perilaku yang baik
di hadapan wilayah sosial lainnya. Setidaknya kalau belum bisa menuruti
indikasi baik yang sudah mereka terapkan dalam diri mereka masing-masing
sebagai penilai, mungkin perlunya pengaplikasian di dalam lingkup masyarakat
kita tidak perlu menimbulkan persinggungan, apa lagi dengan waktu cukup lama,
apa lagi sampai menyakiti hati orang lain. Ada tanggung jawab besar di struktur
nilai dalam pendidikan ini.
Sebagai contoh seperti konsep dasar ajaran
pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara yaitu Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya
Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Dari ketiga konsep tersebut yang paling
mendasar dilakukan oleh kita sebagai pencicip rasa didikan adalah menjadi
tauladan, menjadi contoh yang benar, baik itu dijadikan cerminan bagi setiap
kondisi apapun untuk menjawab keadaan waktu sekarang.
Sama halnya menjadi seorang kiyai. Bisa
dikayakan kiyai adalah subjek manusia pertama baik dan benarnya agama. Seorang
kiyai dituntut harus berusaha selalu berbuat baik. Karena dia adalah sebuah
sosok tauladan di masyarakat. Sekali saja dia berbuat yang menyalahi aturan
sosial, maka selamanya kiyai itu bisa dianggap jelek. Padahal itu hanya dilakukan
pertama kalinya. Hal itu menandakan, bukan pertama atau seringnya dia melakukan
keburukan, tetapi manusia seringkali mampu menilai dari keburukannya, meskipun
itu hanya menutupi dari beribu kebaikannya.
Penilaian masyarakat bukan main-main jika
dilakukan, di dalam suatu assemen penilaian terhadap sesama manusia yang
dianggap penting dalam cangkupan sosialnya, mereka lebih menggunakan cerminan
dari orang lain. Apa daya manusia yang mengerti manusia lain dari segi
permukaannya. Pantaskan kita menilai manusia terlalu dalam, terlalu tinggi,
jika mata manusia diberi jarak pandang terhadap konstekstual diri, bukan
intekstual diri.
Semakin luas ilmu manusia, semakin banyak
kebijakan-kebijakan yang ditimbulkan dengan baik. Meluasnya cakrawala dan
samudera bukan untuk merugikan rakyat. Cakrawala adalah tempat yang tak
berujung. Menghitari sampai meluas tak terbatas. Artinya, ilmu harus bisa
membuat orang beridiri sendiri tanpa ada ikatan tapi berusaha untuk
mensejahterakan orang lain.
Perbandingan rakyat dengan
pemerintahan sangatlah terlihat, kaum mayoritas seharusnya menang melawan
minoritas, apapun itu yang terjadi. Mayoritas merupakan kelompok orang luas
yang mempunyai kebebasan untuk memegang kendali sosial Dalam suatu kehidupan
negara. Tinggal siapa yang menyesuaikan, kita sebagai kaum mayoritas atau
mereka yang sebagai kaum-kaum minoritas.
Surabaya,
Sabtu,
5 Mei 2018
Komentar
Posting Komentar