Kenapa saya sering mengalami kebingungan
ketika mendengar nama Demokrasi, apakah saya tidak paham atau pemahamanku
tentang demokrasi salah. Setiap masuk kelas PKN (pendidikan kewarganegaraan)
waktu sekolah dasar, Pak Guru selalu memberikan pengetahuan tentang demokrasi,
sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Pak Guru
juga bilang, demokrasi ini berfungsi sebagai landasan sistem bernegara,
bersosial ala negara, dan sebagai tonggak berjalannya pemerintahan Indonesia,
Negara ku tercinta.
Rakyat sebagai pemegang kunci kekuasaan
tertinggi di Indonesia Dari semua aspirasi, pendapat, kenyataan yang mendasar
mengenai kekuasaan, semuanya dikendalikan sepenuhnya oleh rakyat. Akan tetapi
rakyat tentu tidak bisa berjalan sendiri untuk mengendalikan itu semua, oleh
karena itu rakyat memilih seseorang yang dianggap layak mewakilinya di semua
bidang tentang tata kelola negara, dari RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Wali
Kota, gubernur, dan dari legislatif sampai ke eksekutif. Semuanya adalah kenyataan
yang harus bisa dipercayai kalau mereka adalah pembantu rakyat di semua lini.
Ketika sudah berbicara mengenai pembantu,
di situ ada sebuah rasa terwakili, ibarat dari sekian juta penduduk Indonesia,
hanya ada beberapa dari mereka yang bisa mewakili rakyat untuk berbicara,
melihat, mendukung, dan menyuarakan semua keluhan yang dirasakan oleh rakyat.
Hanya manusia yang mengerti suara manusia, hanya binatang yang mengerti bahasa
binatang, lain lagi dengan cerita Nabi Sulaiman as yang dianugerahi Allah SWT bisa
berbicara dengan binatang.
Kita apa, yang kita dengar dan pahami
hanya suara manusia dengan manusia. Kalau mereka yang mewakili rakyat tidak
bisa mendengar minimal suara dari mulut manusia, berarti kemanusiaan mereka
bisa dipertanyakan. Atau ada indikasi lain mengenai kenapa mereka sampai tidak
paham dengan suara saudaranya. Bisa jadi ada tendensi berupa apapun yang
menyebabkan mereka seakan-akan dijahit kesadaran berpikirnya berlipat-lipat
dari ujung ke ujungnya dengan benang yang begitu tebal.
Bahkan, saking tebalnya, benang itu sampai
menjahit dan menutupi wajahnya. Benang tersebut berperan sebagai salah satu
alat pemisah yang menghasilkan jarak antara manusia dengan kedudukannya. Bukan
pada umumnya, benang yang seharusnya menjadi penyambung atau penutup kain yang
bolong, justru benang itu terikat dan melilit dalam-dalam, menjerumus merasuk
ke akar-akar hingga kesadaran mereka lenyap, sampai menjari-jari di hati nurani
dan logika.
Kalau dibilang, itu memang sebuah
permainan. Maksudnya ada sistem yang mengikat sangat kuat, mendasar, serta
mengarungi segala bentuk kondisi yang menyangkut harkat dan martabat suatu
bangsa. Letak harga diri untuk berkomitmen kepada bangsa sudah dipertaruhkan ke
bangsanya sendiri. Tetapi, dengan sadar mereka meletakkan harga martabat
dirinya dan negaranya di kaki mereka masing-masing sambil diinjak-injak,
digerus kemunafikan jaji-janji konyol yang mereka buat sendiri.
Negara adalah cerminan refleksi kepada
kelompok besar pemudanya. Baik dalam kaum cerdik, cendikia, intelektual, dan
akademisi. Atau kaum-kaum pinggiran kota tua yang tak terlihat tapi mereka
mempunyai peranan sangat penting kepada negara ini. Yang jelas, siapa yang
bersuara, siapa yang bercerita, dia akan terlihat.
Bukan yang tidak terlihat dia tidak
bersuara. Hanya saja mereka sedikit dibungkam oleh bangunan-bangunan besar yang
sengaja menutupi wajah-wajah mereka, menindas mulut-mulut mereka. Alhasil apa
daya, mereka orang kecil, rakyat tertindas, para pemuda yang berharap
kesejahteraan dan kebahagiaan. Seharusnya mereka dihibur hatinya, diwujudkan
keinginannya. Malah digusur, dihujat, dan dicampakkan di mana-mana. Jangan
salah sangka, revolusi justru dimulai dari yang bawah, karena untuk memulai
yang atas akan mengubah dirinya sendiri, sedangkan yang bawah adalah pengubah
kesadaran yang atas.
Kenapa untuk sebuah hal yang serius mereka
sering mempermainkannya, sebaliknya, kenapa untuk hal yang bentuknya permainan
dunia, justru mereka serius dalam melakukannya. Apakah sudah bobrok negeri ini.
Di atas kaum-kaum intelektual tinggi, apakah sehina ini pendidikan di
Indonesia, sampai-sampai menjadi ajang keburukan umat manusia.
Hal yang paling mendasar adalah kita
sebagai kaum intelektual harus bisa sadar sesadar-sadarnya, rendah
serendah-rendahnya untuk menyadari dan seharusnya sudah mengurut beberapa
kesalahan dalam negara ini serta upaya-upaya perbaikannya. Kita jangan munafik
terhadap diri sendiri, kadang-kadang ketika kita duduk di bangku pendidikan
selalu berupaya mengkritik kebijakan sana-sini.
Mendiskusikan berbagai masalah yang
menimpa negera ini. dari berbagai kasus, dari korupsi hingga kekonyolan
pejabat-pejabat negara dalam menyikapi sebuah permasalahan. Kita seakan-akan
terlalu disibukkan dengan hal semacam itu. Tapi tanpa kalian sadari, kita ini
lucu kok, waktu kuliah kita mengkritik, tapi ketika lulus, seharusnya kalian
yang menjadi kaum revolusioner perubahan kebijakan negara yang anti pro rakyat
menjadi pro rakyat, justru kau masuki sistem itu dan kalian sendiri yang asik
bermain-main di sana. Setiap hari permainan kalian berbeda-beda. Bergantung
dengan penghasilan dan konspirasi politik yang akan kalian
lakukan bersama.
Saya baru sadar, ternyata kampus ini
adalah miniatur sebuah pemerintahan negara. Di mana ada sistem yang memang
diajarkan untuk mengurusi duplikat sebuah negara tersebut. Ada miniatur
Eksekutif dan legislatifnya. Mereka mempunyai fungsi dan wilayah kekuasaan
berbeda-beda. Lantas di mana letak kesalahan negara ini. Aktivis kampus yang dulunya
pejuang rakyat, pejuang sosial. Tapi seakan-akan luntur sikap kendali sosialnya
ketika ada bentuk nyata dari identitas yang patut mereka sombongkan dan
puja-puja.
Yang dulu katanya anti imprealis dan
kapitalis. Tapi banyak mereka alumni-alumni institusi pendidikan yang justru
menjadi imperialis-imperialis kecil dan mencoba berubah menjadi
kapitalis-kapitalis kecil tanpa peduli rakyat kecil. Ketika teori kekuasaan
sudah menguasai sistem manusia dalam berkuasa, tidak ada yang tidak mungkin
jika suatu golongan yang memperkasai sistem tersebut akan menguntungkan
golongannya sendiri. Itu lumrah terjadi dalam kendali manusia. Ketika manusia
sudah merasa mempunyai tingkat pegetahuan yang tinggi, maka dia akan menganggap
orang lain akan berpengetahuan rendah dan cenderung menginginkan mempunyai
golongan untuk diajak bekerja keras menguasai suatu keadaan sosial yang mereka
inginkan.
Jangan salahkan orang yang mementingkan
golongannya, tapi kalian sendiri juga mempunyai golongan. Itu sama halnya
dengan kalian meyalahkan jeruk busuk yang membuat penyakit, tapi kalian sendiri
berpotensi membuat penyakit juga. Yang paling penting adalah bagaimana membuat
jeruk itu tidak busuk, salah satunya disimpan di kulkas, atau dihabiskan di
awal jika memang tidak mempunyai alat untuk mengawetkan buahnya.
Kalau memang berniat untuk menghindari
masalah seperti itu seminim mungkin. Buat satu golongan yang mencangkup
semuanya, dari semua lini, semua lapisan masyarakat yang terdiri dari beberapa
unsur dimensi sosial serta pemikirannya. Sepakati bahwa tidak ada unsur
kepemihakan yang mampu membuat itu terpecah belah.
Jika kalian mempunyai satu keinginan yang
sama, yaitu mensejahterakan rakyat jika dalam lingkungan negara,
mensejahterakan mahasiswa dalam
lingkup kampus, kenapa kalian tidak membuat satu aliansi atau golongan besar
yang di dalamnya memenuhi unsur kekeluargaan bersama, kepentingan bersama serta
tujuan untuk menciptakan kesejahteraan bersama.
Tulisanku ini tulisan konyol, bahkan ideku
bisa jadi sangat-sangat konyol. Saya hanya merasa sangat geram mendengar
kabar-kabar yang beredar saat ini mengenai BEM U yang katanya hanya untuk satu
golongan saja. Golongan atau tidak golongan, itu hanya sebuah dinamika politik yang
berdialektika secara lumrah. Satu golongan menyalahkan golongan lain, ketika
ada satu kesempatan untuk menyalahkan, maka ibarat martir itu akan terus
menerus keluar sebelum keinginannya terpenuhi.
Justru aku kasihan melihat mahasiswa yang
tidak mempunyai golongan, dia bedikari melihat suasana perselisihan ya mungkin
itu dianggapnya lucu. Mungkin juga bingung, sikapku harus seperti apa ketika
menyikapi masalah seperti ini. Pahamilah kalau sebuah sistem yang besar akan
dipegang oleh golongan yang mendominasi pula. Peran besar di Negara ini selalu
dipegang oleh golongan-golongan besar. Tapi ada kalanya golongan akan
berpecah-pecah menjadi beberapa golongan kecil juga yang nantinya pasti akan
ada usaha untuk membesarkannya. Berpikirlah logis, realistis dan humanis.
Surabaya,
27
Mei 2018
|
Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak. Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh. Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...
Komentar
Posting Komentar