Langsung ke konten utama

Berilmu Secara Radikal Untuk Menyikapi Fenomena Radikalisme


Saat membaca berita-berita di media massa dan beberapa opini yang berkembang di sana, entah kenapa banyak sekali tema agama yang diusung menjadi pokok permasalahan yang tak pernah usai dibahas. Apakah seremeh itu agama, sehingga terkadang banyak sekali saudara kita justru sesama muslim lebih senang mengakfirkan saudara seimannya dari pada orang kafir itu sendiri. Sungguh sangat memprihatinkan melihat kondisi gelombang persaudaraan yang ada di negeri kita ini.
Agama seharusnya dipraktikkan untuk saling memberi kasih sayang serta kebermanfaatan, tapi sebaliknya, agama menjadi bahan penting buat dipermusuhkan. Kita juga tidak bisa memunafikkan diri dari kondisi lingkungan di sekeliling kita, kehiduapan bersosial tidak boleh disatukan hanya dengan satu penafsiran dan kebenaran mutlak satu kepercayaan. Dari satu golongan ke golongan lain pasti mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri.
Sebenarnya dengan beragamnya perbedaan yang ada pada bangsa Indonesia, harusnya bisa memunculkan sikap kedewasaan rakyat Indonesia dalam menjalankan kewajiban beragama dan berbangsanya, karena itu sudah menjadi barang lumrah, tidak perlu diperdebatkan hingga memecah belah persaudaraan yang sudah ada. Bahkan Gusdur sendiri mengatakan, bahwa perbedaan adalah rahmat. Sehingga jangan sampai kita menjadi hamba Allah yang ingkar terhadap rahmat.
 Poin penting saat ini, media sosial menjadi wadah utama untuk saling serang, saling menghantam, dan saling menggunjing satu sama lain. Namun di sisi lain, semua bahasa yang terkandung di dalamnya lebih mengedepankan subjektivitas, baik si pembaca maupun si penulis.
Dengan media, mereka bisa secara bebas memproduksi dan mengkonsumsi informasi tanpa ada batasnya. Oleh karena itu, salah satu akibatnya adalah marak ujaran-ujaran kebencian yang bersifat hoaks dan berkembang di media sosial, sampai kita sebagai pembaca tidak sadar kalau informasi tersebut merasuk menjadi doktrin di pikiran kita. Seperti halnya dengan kata radikalisme, saya lihat kata radikalisme ini tidak pernah selesai dibuat beberapa oknum untuk menjustifikasi oknum lain.
Tidak hanya iu, radikalisme juga digunakan sebagai kata untuk melegitimasi beberapa kelompok sehingga mampu mengubah cara berpikir orang lain tanpa mempelajari terlebih dahulu asal mula apa itu radikalisme, hubungannya bagaimana ketika sudah dikaitkan pada konteks perilaku orang menjalankan agama. Sudah sering kita ketahui, bahasa merupakan alat utama komunikasi manusia. Ia dibentuk dengan pemahaman antara si penutur dan si petutur.
Bahasa tidak akan mungkin sampai pemahamannya jika salah satu di antara mereka tidak saling paham. Maka akibatnya akan menjadi salah paham dan mungkin bisa juga mengakibatkan perselisihan. Maka dari itu bahasa adalah alat komunikasi terbatas. Kita bisa berkata merah, kuning, hijau, tapi itu tidak bisa dipahami oleh orang buta yang sama sekali tidak bisa melihat warna selain hitam.
Sama seperti radikalisme, kata itu selalu dipahami menggunakan makna keras. Padahal masih banyak arti lain dibalik radikalisme selain kata yang diidentikkan dengan kekerasan. Secara etimologi, kata radikal berasal dari kata radix yang mempunyai arti akar, dalam hal ini akar bisa dikembangkan lagi menjadi dasar atau mendalam. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) radikal dan radikalisme mempunyai makna sendiri-sendiri namun masih pada koridor yang sejalan yaitu lebih banyak menuntut perubahan.
Radikal sendiri mempunyai tiga makna, (1) secara mendasar (sampai kepada hal prinsip), (2) amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), (3) maju dalam berpikir dan bertindak. Sedangkan radikalisme memiliki tiga makna pula, (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik, (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.
Dari ketiga makna di atas, antara radix, radikal dan radikalisme memiliki makna bahasa baik. Tidak ada narasi menyebutkan kalau radikalisme mengandung makna buruk. Hal itu bisa dilihat pada semua maknanya, makna yang terkandung pada radikalisme subtansinya berada di dalam diri seseorang, mengenai prinsip, pemahaman, dan cara bertindak. Semuanya adalah hasil dari berpikir mendalam.
Kenapa bisa dikatakan berpikir mendalam? Karena radikalisme mempunyai tambahan “isme” yang representasinya menjadi ideologi kehidupan sehari-hari dan aplikasinya menjadi prilaku. Banyak sekali contohnya, seperti liberlisme, kolonialisme, imperialisme, eksistensialisme, marxisme, humanisme, dan lain sebagainya. Bahasa selalu menjadi korban dari produk media massa. Kata yang seharusnya baik, justru dipahami menjadi buruk. Akibatnya, saat ini kita sama-sama bersepaham di mana-mana menolak radikalisme.
Selain bersepaham, kita berbeda golongan pun seolah-olah saling menuduh kelompok ini, keompok itu beraliran radikalisme. Padahal jika ditelisik lebih simpel lagi, orang atau golongan yang menuduh radikalisme, sebenarnya ia juga radikalisme, bahkan bisa lebih karena tidak menutup kemungkinan, ia lebih paham dan memiliki bahan lengkap untuk menilai orang sebagai radikalisme. Intinya, selama radikalisme masih dijadikan landasan untuk berpikir lebih mendalam, maka tidak ada salahnya radikalisme diterapkan, jika hanya sebatas pemikiran.
Apabila radikalisme sudah masuk mendarah daging menjadi darah sehingga soal tindakannya pun mengikuti tindakan yang radikal, maka kalau konteks tersebut, radikalisme menjadi salah penempatannya. Namun demikian, sesorang yang berpikir radikal, ia tidak melulu sikapnya radikal. Pun juga sebaliknya, orang yang bertindak radikal tidak selalu ia berpikir secara radikal. Kalau dilihat dari kaca mata akademis keilmuwan, tidak semua orang bisa berpikir secara radix, artinya tidak ada yang bisa mengukur tingkatan orang berpikir, apakah itu mengakar atau belum.
Akan tetapi di sini saya membuat persamaan antara orang berpikir radix dengan orang yang sedang memperdalam ilmu pengetahuan, caranya bisa bermacam-macam. Memperdalam ilmu artinya sama saja ia mencintai ilmu, maka ia selalu terus mencari.  Ada tiga tahapan menuntut ilmu menurut Umar Bin Khattab, yaitu tahap pertama ia akan sombong, jika memasuki tahap ke dua, ia tawadhu’ dan ketika memasuki tahap ketiga, ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya.
Sama halnya yang pernah disampaikan oleh Cak Nun yaitu apa gunanya ilmu kalau tidak memperluas jiwa seseorang sehingga ia berlaku seperti samudera yang menampung sampah-sampah. Kesimpulannya adalah ketika orang sudah merasa radikal dalam berilmu, maka sikapnya di mana-mana selalu mendamaikan, saling memberi keamanan, dan selalu bijak dalam setiap keputusan. Bukan malah bersikap radikal dan merusak kerukunan berbangsa dan beragama.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...