Langsung ke konten utama

KEADILAN MILIK SEMUA MANUSIA






Mungkin bisa saya usulkan kalau Indonesia harus bisa memberi pengarahan, pengayoman atau lebih mempererat sistem kemesraan dan hubungan sosial yang baik dari pada saling membenci sesama manusia yang lain. Orang saling menikam dari belakang, orang tidak henti-hentinya mencari aib atau kesalahan orang lain. Tidak ada yang lebih nikmat ketika orang belum menyalahkan orang lain. Banyak orang kurang puas memakan nasi sebagai kebutuhan primernya. Dia lebih memilih makan gunjingan orang lain yang menurunkan harga diri saudaranya sendiri. Saat ini bukan lagi krisis moneter seperti pada era Presiden Soeharto, semua rakyat krisis pangan, uang dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Bukan itu masalahnya, tapi masalahnya adalah krisis harga diri, krisis keadilan, krisis sosial, krisisnya orang-orang yang tidak bisa menghargai satu sama lain. Sesama manusia, entah itu kelompok, individu, ras ataupun golongan tidak berhak mendiskriminasi sesama manusia. Manusia adalah makhluk Tuhan, sama-sama rahmat Tuhan, sama-sama dihargai sebagai ciptaannya. Jodoh, maut, nasib, takdir dan rezeki sama-sama mendapatkan sesuai dengan kadar dan kapasitasnya sebagai makhluk.
            Banyak orang lupa, diskriminasi adalah tindak ketidakadilan yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok yang dipengaruhi latar belakang sosial berbeda. Jika ditarik garis merah dari diskriminasi adalah terdapat sifat membeda-bedakan, memojokkan, dalam artian apabila tidak sama se golongan, maka secara tidak langsung ada perlakuan yang berbeda dalam pelayanannya. Pelayanan itu bisa berupa perlakuan sosial, sikap mental dalam dialektika antropologi sosialnya. Saya kurang begitu paham dengan cara berpikir mereka. Indonesia bukan milik orang Jawa, milik orang Bugis, sunda, Minang dan suku-suku lain yang dimiliki secara golongan. Tapi ini Indonesia, milik semuanya. Ya Jawa, ya sunda, ya Minang, batak, Bugis dan semua suku lainnya. Pemahaman dasar seperti itu harus bisa lebih diaktualisasikan di lingkup hubungan kerja sama sosial. Karena sosial adalah lingkungan belajar, lingkungan ilmu, lingkungan di mana pasti ada perselisihan pendapat dan lingkungan akan pembelajaran hidup dalam komoditi manusia. Di ekosistem sosial, manusia akan mengeksistensikan teori sosialnya atau bahkan bisa belajar dan mengubah sampai mempelajar teori yang belum di dapat sebelumnya.
            Kalau dasar dari pemahaman sudah bisa dimantapkan di diri kita masing-masing, maka untuk hubungan bernegara, bersosial, dan hubungan interaksi akan bisa lebih baik tanpa membeda-bedakan siapa aku dan siapa kamu. Aku berasal dari sini, kamu berasal dari mana. Selama ini yang menjadi substansi permasalahan adalah mengenai identitas. Kenapa kok identitas bisa dipermasalahkan. Apa yang terjadi dengan identitas. Orang salah kaprah mengartikan apa itu identitas, padahal di sisi lain identitas ada sebuah keterkaitan bernama personalitas. Secara hakikatnya identitas adalah software, sedangkan personalitas merupakan Hardware. Identitas adalah bentuk kreatif dari personalitas, yang terbentuk berdasarkan dari suatu individu mengenai pemilihan keputusan terhadap identitasnya sendiri.
            Kurang disadari bahwa setiap manusia punya personalitas yang melekat di dalam diri mereka secara harfiah alamiah. Antara manusia sama-sama mempunyai personalitas dari Tuhan. Tidak ada yang bisa menolak suatu personalitas yang bersifat mutlak pemberian sang kuasa. Baik itu hitam-putih, Jawa-Sunda, Islam-Kristen, Buddha-Hindu, semuanya tetap sama, berasal dari Tuhan. Jadi kita semua berasal dari Tuhan dan jangan coba untuk membeda-bedakan. Sebab personalitas tidak untuk dibedakan, tapi personalitas butuh kesadaran akan penghormatan dan penghargaan. Diskriminasi adalah permasalahan yang lebih mencangkup tentang minoritas dan mayoritas. Siapa yang mayoritas, dia yang berkuasa. Siapa yang minoritas, dia yang ditindas. Kelengkapan bagan anggota jelas kaum mayoritas lebih unggul dari pada kaum minoritas.  
            Diskriminasi banyak sekali ditemukan di sekeliling kita, Contohnya ketika berada di lingkup pekerjaan, seperti halnya perekrutan pegawai baru. Karena perusahaannya besar biasanya kurang bisa mengontrol dan mengawasi semua pegawai yang masuk dan keluar, maka ada bagian personalia yang mengendalikan hal tersebut. Di situlah wujud diskriminasi terbentuk. Terserah-serah siapa yang dimasukkan oleh pihak personalia tanpa melihat prosedur yang sudah ditetapkan oleh perusahaan, entah itu teman dekatnya atau orang yang sekelompok dengannya. Terserah maunya pihak personalia. Padahal semua orang sama, sama-sama ingin masuk ke perusahaan tersebut, secara registrasi dan sistem semua teratur secara prosedur, semua punya hak masuk. Tinggal bagaimana kemampuan tiap masing-masing individunya jika diperlukan tes keahlian.
            Ada lagi yaitu jika kita mau PKL (Pekerja Lapangan) waktu SMK. Ini sesuai pengalaman saya. Di jenjang SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) para siswa diwajibkan untuk PKL dan berusaha mencari sendiri perusahaan yang sesuai dengan bidang jurusannya. Kalau kita hanya sekadar masuk, mungkin sulit untuk pihak perusahaan menerimanya, tapi kalau kita punya orang dalam atau kenalan orang yang bekerja di perusahaan itu, mungkin saja proses masuk kita ke perusahaan itu dipermudah. Padahal di perusahaan itu banyak siswa yang mendaftar, bahkan bisa dikatakan mungkin juga ada yang lebih ahli dibandingkan anak yang diterima tersebut. Seharusnya pihak perusahaan menaati betul apa saja prosedur yang sudah tertera.  
            Contoh lain seperti ketika ada sesuatu hal yang harus menyangkut pautkan dengan birokrasi di desa, pastinya ada hubungan dengan pihak kelurahan atau RT dan RW. Contohnya ketika mengurus KTP, KK atau surat-surat yang dirasa penting. Terkadang pihak instansi yang mengelolanya sengaja mengundur-undur waktu karena ada beberapa pertimbangan, di antaranya harus ada uang pelicinnya, kemudian mendahulukan orang dikenalnya, seperti saudara atau kerabat dekatnya dan faktor-faktor lain yang saya rasa tidak pantas dilakukan di negeri demokrasi ini. Padahal peran lembaga pelayanan masyarakat, yang harus diutamakan adalah masyarakat sebagai juragannya. Jadi sebagai lembaga pelayanan, sikap yang harus ditunjukkan adalah bagaimana untuk berusaha agar mampu menyamaratakan semua masyarakat dalam hal pelayanan. Tidak ada unsur pandang bulu kepada siapa pun. Karena semua rakyat di mata hukum adalah sama.

            Kemudian kabar terhangat akhir-akhir ini, kasus diskriminasi suku Rohingya di negara Myanmar. Semua umat Islam dibunuh, disiksa, dibantai, sampai-sampai banyak anggota dari suku Rohingya mengungsi ke negara tetangga dengan apa adanya. Di situlah bentuk kekejaman diskriminasi yang paling terlihat terhadap umat Islam. Umat Islam yang sebagai minoritas kalah dengan umat Buddha yang jumlahnya mayoritas di Myanmar. Ada konflik yang terselubung di dalamnya. Tidak semua orang mengetahui fakta sesungguhnya. Agama tidak mengatur tentang kekerasan, tidak ada agama yang menganjurkan kekerasan. Semua agama membawa perdamaian, kelembutan dan kasih sayang. Dengan adanya perbedaan dan berdampingnya antar agama ini, seharusnya kita bisa perlu belajar kalau perbedaan itu indah dan sangatlah lumrah di antara manusia satu dengan lainnya.
            Dari semua permasalahan itu, sisi substansialnya adalah kurangnya rasa keadilan dan pengawasan. Keadilan sesungguhnya ada di semua manusia. Siapa yang hidup dia harus dilindungi dengan keadilan. Diskriminasi adalah bentuk aktualisasi dari sifat kezaliman, artinya tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sedangkan keadilan adalah menempatkan sesuatu tepat pada tempatnya, sesuai dengan porsi dan keadaan. Terkikisnya rasa keadilan adalah sesuatu hal yang miris ketika terjadi di Indonesia. Bukannya menjelekkan, tapi Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai HAM, nilai kedaulatan rakyat, tapi nyatanya masih banyak kasus-kasus ketidakadilan yang merenggut hak-hak kedaulatan rakyat.
            Ini bukan tugas satu orang, tapi ini tugas semua rakyat Indonesia, baik lembaga-lembaga pendukung yang selalu bersentuhan langsung dengan rakyat ataupun para manusia Indonesia yang masih merasa mempunyai keadilan. Semua harus bisa terhubung di setiap titik-titik keadilan. Pengawasan harus tetap disadarkan dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.  Sadarkan bahwasanya semua manusia itu sama. Kita dibedakan oleh Agama, suku dan ras, tapi sebenarnya kita sama-sama manusia. Asal dan kembalinya sama. Tapi secara otomatis kita sebagai manusia Indonesia. Wujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila ke-5 Pancasila. Tidak ada diskriminasi dalam pengamalan nilai-nilai Pancasila. Kita diciptakan dengan kadar kemanusiaan sama di mata Tuhan. Setiap keadilan diberi Tuhan dengan porsi yang sama. Jadi tolong disadari apa itu tentang keadilan. Keadilan adalah milik semua manusia yang hidup, atau bahkan mati pun masih punya sisi keadilan yang harus ditegakkan. Tanamkan bahwasanya Tuhan menciptakan manusia di dunia ini dengan sama rata. Yang membedakan hanyalah sikap perlakuan baik atau buruk yang ditunjukkan setiap masing-masing individu kepada lingkungan sosialnya dan hubungannya dengan Tuhan.



Surabaya, 15 November 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...