Cinta
selalu menemukan bagaimana caranya kembali. Kembali ke tempat di mana cinta itu
perlu ruang untuk menuangkannya. Ibarat tulisan, sebuah tulisan tidak bisa
berdiri hanya sebagai tulisan, ia terdiri dari beberapa huruf, kata, kalimat
sampai beberapa paragraf. Seperti itulah cinta, jika tidak ada tempat untuk
berpijak, maka komponen-komponen di dalam cinta terkadang menjadi pudar dan
semakin pudar maka semakin menghilang. Oleh karena itu, cinta tidak bisa lahir
dan hilang tiba-tiba.
Cinta
pasti ada sebab akibat kenapa cinta bisa tumbuh, semakin disiram, justru
semakin subur, semakin dirawat, semakin bagus strukturnya. Jadi bukan hanya
tumbuhan yang bisa dirawat, namun cinta juga butuh hal yang serupa, karena cinta
hidup, di dalamnya ada hasrat dan dorongan dari diri manusia untuk selalu bersama,
di sampingnya, dan selalu ada untuknya. Di sisi lain, rasa cinta juga sebagai
pembatas untuk sesuatu yang dicintainya. Hal tersebut tentu menjadi salah satu
daya negatif yang ditimbulkan oleh cinta.
Ia
serupa penjara untuk membatasi agar cintanya tidak kotor karena telah
diintervensi oleh hal-hal di luar dari cintanya. Tetapi, sesuatu yang tidak
pada kadarnya, pasti membahayakan. Seperti halnya cinta, harus seimbang kadar
penempatan dan pengaplikasiannya. Uniknya, dimensi cinta bukan hanya terletak
pada seseorang, namun cinta memiliki medium sangat luas. Bisa ke manusia,
hewan, tumbuhan, dan lain sebagainya. Artinya, ketika manusia sudah diserang
unsur-unsur cinta, senjatanya, rakitan peluru, dan meriamnya, maka ia pasti
memiliki ketergantungan pada apa yang ia cintai. Itu yang menjadi penyebab
orang akan memaknainya berlebihan, sehingga sudah keluar dari yang dibayangkan
orang lain.
Cinta
adalah sifat alami manusia dan cintalah yang mempersatukan perbedaan. Dari satu
golongan, aliran, keyakinan, kepercayaan, dan lain-lainnya bisa disatukan hanya
dengan cinta. Selain itu, cinta juga menjadi tempat kesadaran penuh bagi
manusia, jika memang ia adalah manusia, outputnya yaitu berupa cinta,
tindakannya berupa kemaslahatan. Maka dari itu cinta dan humanisme tidak bisa
dipisahkan dari sifat alamiah manusia.
Gangguan
yang disebabkan oleh berlebihannya mengaplikasikan cinta adalah
antropomorfisme. Antropomorfisme adalah memasukkan karakteristik manusia ke dalam
wujud bukan manusia. Antropomorfisme bisa disebabkan oleh cinta yang berlebihan
pada sesuatu. Semestinya cinta manusia adalah bermuaranya pada manusia juga. Tidak
menutup kemungkinan cinta ada pada manusia tapi bisa juga untuk selain manusia,
karena memang cinta bersifat universal dan menyeluruh tanpa kenal batas. Namun dalam
gangguan antropomorfisme ini lebih menekankan pada perwujudan cinta selain pada
manusia yang seolah-olah dimanusiakan. Penyikapannya dimiripkan seperti cinta
pada manusia.
Antropomorfisme
sering dijumpai di dunia film ataupun kesenian, biasanya manusia digambarkan
berkepala hewan atau berwujud hewan. Seperti pada dunia film kartun-kartun, antropomorfisme
ditemukan seperti hewan yang menyerupai manusia, baik gerak-geriknya ataupun
cara bicaranya, bahkan sampai penggunaan bahasanya. Seperti pada film Tom and Jerry, Micky Mouse, Donald Ducks dan lainnya. Sesuai pada asal katanya,
“antropomorfisme” terambil dari bahasa Inggris “anthropomorphism” yang berasal dari bahasa Yunani “anthropos” (manusia) dan “morphe” (bentuk). Ada dua penekanan,
yaitu pada manusia dan bentuk. Jadi hubungan manusia dengan bentuk atau manusia
yang dibentukkan pada sesuatu ataupun bisa juga sesuatu yang dibentukkan
seperti manusia.
Cerpen
Lalijiwo karya Wina Bojonegoro yang
dimuat Jawa pos (24/11/19) terdapat sisi Antropomorfisme yang dimunculkan oleh
pengarang dalam ceritanya. Tentang kisah sebuah mangga bernama Lalijiwo, mangga tersebut merupakan buah
mangga yang langkah karena hanya ada di beberapa daerah saja di Indonesia.
Terkisah sepasang kakek nenek yang selalu merawat mangga lalijiwo tersebut, karena dengan mangga itu para cucunya bisa
berkunjung ke rumah. Memang mangga tersebut berbeda dengan mangga pada umumnya,
buahnya selalu lebat, rasa manisnya pun di atas rata-rata. Banyak orang
bertanya bagaimana resep merawatnya sehingga satu pohon bisa menghasilkan buah
lebih dari lima karung goni.
Keistimewaan
itulah yang menjadi penyebab kenapa mangga lalijiwo
menjadi pusat perhatian banyak orang. Sebenarnya, mangga lalijiwo adalah sebuah bentuk cinta seorang kakek nenek untuk
keluarganya. Buah itu menjadi tujuan utama saat cucu-cucunya berkunjung ke
rumah, mereka senang dengan buah mangga tersebut. Oleh karena itu, maka si
kakek mau tidak mau harus merawat lalijiwo
dengan sepenuh hati. Tidak bisa dibayangkan kalau mangga itu mati, pasti si
kakek dan nenek mengalami kesepian karena para cucunya pasti jarang ke rumah.
Tapi tidak jarang tindakan-tindakan antropomorfisme dilakukan karena wujud
cintanya. Seperti kenapa mangga itu berbuah banyak, tidak lain dan tidak bukan
yaitu karena kakek menyiramnya dengan banyu leri serta mengajaknya bicara.
Orang
lain sempat tidak percaya karena itu merupakan hal yang tidak wajar, mengajak
bicara pohon, yang tidak dilakukan manusia pada umumnya. Namun memang seperti
itu kenyataannya. Selanjutnya, sikap antropomorfisme juga ditunjukkan dalam
cerita pada saat mangga lalijiwo
dicuri oleh dua anak kemudian mereka jatuh dari pucuk paling tinggi. Salah satu
di antara mereka mengalami retak pada tulang tengkorak lalu satunya meninggal
dunia. Dari kejadian itu, para warga berbondong-bondong ingin memotong mangga
tersebut agar tidak terulang lagi, padahal mangga tersebut sama sekali tidak bersalah,
justru yang bersalah adalah dua anak itu.
Perasaan
lain ditunjukkan kakek dan nenek, mereka merasa iba dan tidak setuju dengan
tindakan para warga karena mangga lalijiwo
adalah tanda cinta mereka berdua. Seperti pada kutipan “Kami menatap reruntuhan lalijiwo itu dengan perasaan berkeping-keping.
Telah hilang satu pernik kebahagiaan dan tetenger perjuangan hidup kami. Meski
tak kuizinkan, dua buah sungai mengalir dari hulu mataku. Suamiku menggenggam
tangan kananku, memberi kehangatan pada kelu yang menjaring lidahku. Kematian
apa yang sanggup menandingi perasaan ini?”. Mereka sudah merawatnya hampir
empat puluh lima tahun. Bahkan mereka mengungkapkan kalau salah satu
kebahagiaannya hilang setelah mangga lalijiwo
ditebas oleh warga. Bukan hanya itu, ada kesedihan yang mendalam seperti sungai mengalir dari hulu mataku. Mereka
sepasang orang tua yang menangis karena sumber tanda cintanya hilang akibat
tindakan buta.
Lamongan, 21
April 2020
Komentar
Posting Komentar