Langsung ke konten utama

Tuhan Selalu Berbentuk Kata-kata yang Mengikat

Aku mengerti, memang bukan saatnya aku memikirkan dirimu yang sesungguhnya. Aku hanya main-main dengan pikiranku. Imajinasiku pun turut mengikutinya. Di balik itu semua, sebenarnya aku bodoh jadi diri sendiri. Menyalahkan diri sendiri itu penting dari pada menyalahkan orang lain. Seperti kau berhijrah ke bentuk permukaan, kau lebih menonjolkan identitas yang gampang sekali diartikan orang lain. Mbok ya sekali-kali buat orang itu sulit menilaimu. Mulanya kau tampak penuh kesalahan, namun seketika itu kau berubah seperti Tuhan, maha benar atas segala postingan. Mirip tetanggaku, berkumpul membentuk koloni-koloni di tiap RT, satu RT membahas RT yang lain, RT satunya lagi membahas RT lainnya. Seperti itu, kesalahan terus berputar dan berkeliling. Biarlah, mereka saling menikmatinya.

Biar kata-kataku menjadi lepas dan telanjang satu per satu. Seperti keponakanku yang berumur lima tahun, ia tidak bisa melepas pakiannya satu per satu. Dari atas sampai bawah. Dari rambut panjangnya yang tergerai, ia sulit mengikat rapi rambutnya. Apalagi dengan pakaiannya, aku selalu memperhatikan bagaimana cara ia melepas baju. Pelan-pelan akhirnya bisa. Ia pun tersenyum dengan keberhasilannya. Aku terkadang iri melihat anak-anak seperti itu, kita terlalu banyak merencanakan hal besar tapi ketika hal kecil yang tidak disadari sudah tercapai, malah kita lupa. Ternyata tidak melulu soal pelaku agama yang memerlukan tuntunan di setiap perbuatan dan ucapan yang diomongkannya. Tuntunan hadir karena ketidaktahuan. Itu yang sering kita lupakan.

Memang beda antara anak kecil dengan para pendakwah yang bermodal ayat-ayat kecil tak perlu tuntunan, yang ia temukan dari berbagai sumber yang lepas dan tidak perlu batasan. Namun keponakanku yang rutin selalu mencoba membuka pakaiannya sendiri. Sengaja ia berusaha melepas pakaiannya. Ibunya pun paham kalau ia harus belajar mandiri. Meskipun sulit, tapi tetap ia berusaha. Sebab hal itu berbeda dengan bahasa teks. Ia merupakan simbol yang enak dipandang. Ia harus berusaha menjadi dirinya di luar dari kemampuan yang ia memiliki. Dengan itu ia akan belajar dengan caranya sendiri. Menemukan hal baru yang sebelumnya belum ia temukan.

Sama, aku pun juga berusaha menjadi diri sendiri. Di luar dari kemampuanku membahasakan dirimu. Tubuhmu yang telanjang mirip kata-kata lepas di udara bersama angin sepoi-sepoi lalu hilang. Kok cepat sekali menghilang. Pertemuan itu baru kemarin. Aku melihat matamu, mencoba berpuasa melontarkan kata-kata pujian, aku takut kau tak setuju dengan bahasaku, karena dengan berjalannya waktu, bahasamu berbeda dengan bahasaku. Itu yang ku cari. Di samping aku menemukan sembari belajar menilai diri sendiri, aku juga menjadi papan pembelajaran yang aku tulis sendiri caramu tersenyum, caramu menjadi malam yang kian terlindungi. Aku meyakini jika kata-kata sulit melepaskan apapun yang sudah kau ikat jadi makna dirimu sendiri. Dari gaya bicaramu, caramu berjalan pelan-pelan.

Atau suatu hari aku berada di tempat yang membosankan. Semua mata melirik kearahku. Aku terlihat aneh pada hari itu, tampilanku berbeda dari biasanya. Wajahku agak kumal karena habis bangun tidur, air yang kubasuh di wajah sepertinya tidak bisa menutup wajah kantuk itu. Aku duduk di kursi palaing samping, menghadap ke ruangan orang tersebut. Pintu yang selalu terbuka tapi tak terlihat satu pun orang di dalamnya. Dia memang orang penting, aku tidak bisa bertemu langsung dengannya, harus ada staf perwakilan terlebih dahulu ketika mau menemui dia.

Akhir-akhir ini aku sulit menunggu, kejadian beberapa waktu yang lalu sudah membuat pelajaran penting yang aku rasa keadaan itu tak perlu terulang kembali. Aku sudah tahu bagaimana rasanya menunggu, sangat membosankan. Mulanya aku sendiri duduk di tempat itu, beberapa menit kemudian satu per satu orang datang dengan berbegai kepentingan. Ada yang meminta uang, ada yang hanya sekadar duduk di sofa, maklum karena sofa di depan ruangan itu enak. Saya pun juga merasakan hal yang serupa.

Bagaimana kau tau hal apa yang menjadi kebingunganku. Aku masih belum bisa menemukan hubungan antara menunggu dengan kekhawatiran. Kekhawatirsnku simpel, aku cukup takut tidak bisa menyelesaikan diriku sendiri. Ada ruang dalam diri ini yang tidak bisa dimasuki oleh siapapun. Aku menjadi rahasia untuk diriku sendiri. Kemungkinan orang lain berasumsi dasar, meletakkan kebenaran di atas pemikirannya. Meletakkan kesalahan di bawah pikiran suntuknya.

Sepertinya aku perlu banyak pengalaman untuk sekadar melihat. Beberapa temanku yang mirip pekerja politikus, kemana-mana membawa ideologi serta prinsip yang tidak ia pahami. Ia seperti berjalan di dalam kesendiriannya. Menjadi anak tiri ketika menganggap semua orang bisa tertawa, sedangkan ia tidak memungkinkan tertawa karena masih banyak hal yang belum ia lengkapi. Perihal makan anak-anaknya, kosmetik para istrinya, dan biaya kebutuhan sehari-hari anaknya. Apa kau juga mirip seperti itu. Tak bisa memaknai dirimu sendiri. Bahkan tentang matamu, kau tak bisa mengedipkan mata, yang kau tahu hanya bagaimana memjamkan mata. Mencari jalanmu sendiri lewat pemaknaan yang kau ungkit dengan caramu.

Oleh karena itu, dengan kepercayaan aku tidak bisa menjadi diri sendiri. Terkadang cinta membutuhkan hal yang sulit dimengerti. Kau dituntut untuk tidak bisa menjadi diri sendiri. Kapan hari saat aku mendengar cerita teman, ia sulit memaknai dirinya. Bagaimana mata yang harus memandang, mulut yang berucap, kepala yang dituntut agar terus berpikir. Ia bingung menyesuaikan tindakan yang benar seperti apa.

Cinta terlalu rumit sehingga selalu tampak kesalahan. Pikiran-pikiran yang selalu terlihat bekerja, terus berlari menemui ketidakpastian. Akan tetapi Ia terus percaya harapan akan datang tepat waktu, mulanya seperti itu. Namun ia lupa, hubungan yang ia bangun dengan kekasihnya hanya sebatas bahasa tak berucap. Tanpa titik temu, tanpa mata yang terus memandang. Bahkan ketika bertemu, mata yang seolah-olah memandang, justru menjadi tabu. Mereka mempunyai cara memandang sendri.


Senin, 7 Oktober 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...