Langsung ke konten utama

Kebudayaan Bebas dan Pemaknaan yang Terbatas

Budaya selalu memunculkan hal baru yang sangat berpengaruh pada kreativitas manusia. Sudah menjadi barang lumrah, budaya merupakan hasil tiruan manusia kepada sesuatu, baik alam atupun hal bersifat materi yang bisa dilihat jelas oleh mata memandang. Jika menurut Herskovits, kebudayaan bersifat superorganic maknanya turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya. Di samping hal itu, dengan seiring berkembangnya keadaan, kebudayaan bisa saja terputus karena kurangnya transformasi pengetahuan ke generasi selanjutnya. Akhirnya mau tidak mau mereka membuat budaya baru tanpa memperhatikan unsur-unsur penting di dalamnya.

Salah satu poin utama yang menjadi indikator keberlangsungannya adalah asal-usul, sekarang bisa dikatakan timbulnya garis benang budaya kebiasaan masih ada hubungannya dengan para pendahulu. Di lain hal itu masih banyak aspek yang saling menjaga marwah budaya itu sendiri, semisal dari nilai kehidupan, ajaran, norma, etika, pengetahuan, dan masih banyak lagi.

Tentu hal tersebut bukan hanya sekadar dicipta, melainkan dijadikan pedoman untuk cara berkehidupan dan berpikir. Uniknya kebudayaan adalah meskipun hasil ciptaan manusia tapi dijalankan oleh manusia itu sendiri atau bisa disebut dengan Cutural-Determinism. Artinya, apa yang dikeluarkan manusia merupakan bentuk produk budaya. Secara eksistensi ia berusaha mengeluarkan apa yang ingin ia tunjukkan.

Bisa juga yang ia tunjukkan adalah dirinya sebagai manusia untuk menyikapi manusia lain. Atau memungkinkan juga jika ada semacam duplikasi dari dirinya, seolah-olah menyerupai orang atau apapun yang ia kehendaki. Dari situ dapat dimaknai, sifat kebudayaan sesungguhnya sudah mencerminkan karakter manusia istimewa karena mempunyai daya cipta atau kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Sekaligus tanda manusia belajar kepada apapun juga siapapun, baik manusia, tokoh, alam, dan kehidupan di sekitar.

Bisa kita perhatikan pada ruang-ruang yang sengaja diciptakan agar sesama individu bisa saling berinteraksi dan tak lupa saling mengenal. Adanya ruang-ruang tersebut sangat diperlukan untuk saat ini. Jika peradaban budaya teknologi sangat mumpuni pada setiap detik perkembangannya, maka yang perlu diingat adalah bagaimana cara kita sebagai konsumen teknologi, lebih-lebih di media massa bisa menyeimbangkan agar penggunaannya mampu memilah mana yang bisa dimanfaatkan atau mana yang bisa dialihkan agar tidak menjadi pengganggu.

Memang banyak ruang komunikasi yang sama. Tapi bisa kita tengok dalam kehidupan sehari-hari, semisal di warung kopi, orang sering sibuk dengan handphonenya masing-masing. Apalagi sudah menggunakan earphone yang tercantol di telinga mereka masing-masing, tentu sudah bukan menjadi budaya asing bagi kita, hari ini pasti banyak kita jumpai hal serupa. Sehingga komunikasi menjadi terhalangi dengan seiring menurunnya kesadaran manusia.

Selanjutnya, perlu dianalisis lebih dalam lagi, kebudayaan mempunyai rupa, baik secara ide yang sifatnya di alam pikiran dan yang lebih signifikan bisa dilihat dari perilaku, namun ada lagi yang sifatnya materi, yaitu benda. Lalu yang menjadi perhatian, teknologi ini produk peradaban budaya atau tidak. Kalau produk peradaban budaya, artinya budaya saat ini sudah sampai pada indikator peradabannya sehingga tercipta teknologi yang sedemikian rupa canggih untuk memenuhi keinginan manusia. Atau teknologi saat ini merupakan wujud budaya dalam pikiran, sesekali keluar sesekali disimpan perkembangannya, andaikan suatu saat semua manusia membutuhkan, maka hasil dari pikiran itu akan muncul membentuk peradaban baru.

Fenomena tersebut tidak bisa kita hindari lagi, bahkan secara tidak sadar kita pun melakukan hal yang sama. Apalagi budaya ngopi di warung-warung kopi, didukung wifi pula. Orang seakan-akan mudah mengakses apapun secara bebas. Bahkan anak-anak kecil sekarang menjadi simbol baru yang turut serta memanfaatkan kemudahan itu.

Ada perbedaan antara anak kecil dulu dengan sekarang. Seusia sekolah dasar, anak kecil masih disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang rutin mereka lakukan, contohnya mengaji, bimbingan belajar, nderes, dan belajar di malam hari. Sambil diimbangi dengan bermain agar hati serta pikiran tidak sumpek. Dulu kalau ada tanah kosong biasanya dijadikan lapangan sepak bola yang dilakukan seusai mengaji di sore hari, atau ketika musim kemarau, mereka memanfaatkan tambak ikan yang kering lalu dijadikan lapangan bermain sepak bola.

Di sana bukan hanya ada teman sebayanya, melainkan para pemuda-pemuda yang lebih tua atau lintas usia di kampung, sehingga hubungan komunikasi di dalamnya bisa dibilang kuat karena mereka sering bertemu, saling tegur sapa, dan saling berkomunikasi. Adanya kemudahan justru seharusnya bisa dimanfaatkan baik-baik, tanpa harus mengganggu komunikasi antar individu yang bisa membuat tali kerukunan semakin menurun.

***

Produk komunikasi yang berkembang pesat pada saat ini bukan pada bahasa atau tuturan, tapi lebih ke teks informasi. Sehingga kesalah pahaman makna sering terjadi. Bentuk buktinya yaitu akhir-akhir ini banyak sekali kasus-kasus yang mencerminkan bentuk budaya baru dari teknologi. Sering kita kenal bahasa gaulnya adalah sikap comat-comot atau copy paste tanpa melihat isi terlebih dahulu. Itu yang sering kita lakukan, memproduksi informasi dari media massa secara mentah, tidak ada usaha menggodok terlebih dahulu.

Ketika berbicara dengan teks, kita juga harus menyinggung psikologi pembaca, hati pembaca sangat mempengaruhi bagaimana orang itu membaca informasi berupa teks. Kalau keadaan hati kita sedang tenang atau baik-baik saja, untuk memilah-memilah informasi masih bisa diperhitungkan. Namun ketika psikologi hati kita tidak menentu karena ada konteks di luar dari diri kita yang mempengaruhi, contohnya, andaikan sedang ada masalah baik pribadi atau di luar dari pribadi kita yang masih menyangkut-pautkan orang lain, maka tidak menutup kemungkinan cara kita membaca isi informasi bisa berbeda, pemahamannya pun juga ikut berbeda.

Seperti kata Ponty dalam bukunya Bertens yang berjudul Fenomenology Eksistensial, manusia sangat ditentukan dari cara berpikir subjektivitas yang biasanya ditandai dengan pengungkapan kebebasan dirinya. Kebebasa subjektivitas tersebut yang berpengaruh terhadap penilaian seorang individu kepada individu lain. Selanjutnya dengan teks, dengan kebebasan subjektivitasnya, manusia bisa leluasa memaknai teks informasi yang ia baca. Karena penilaiannya tidak bisa dipengaruhi oleh orang lain. Justru yang bisa memengaruhi adalah dirinya sendiri, di luar dari objektivitas informasi yang ia baca.

Sangat bisa kita lihat perbedaannya antara informasi teks dengan bahasa yang sifatnya face to face atau saling terhubung antara muka individunya. Dari situ pasti bisa dilihat bagaimana cara ia berbicara, bagaimana cara ia menyampaikan informasi kepada orang lain. Karena tidak menutup kemungkinan tekstur tubuh atau wajah bisa dijadikan sebagai media saat ia berbicara. Dari situ pun terkadang masih juga timbul kesalah pahaman. Apalagi informasi itu bentuk teks, dari teks hanya bisa dibaca tanpa ada ekspresi bagaimana si pembuat teks tersebut menyampaikan informasinya.

Kendati demikian, apakah bahasa bisa mewakili makna sepenuhnya. Di sisi lain padahal bahasa adalah media komunikasi yang terbatas. Artinya, media komunikasi yang pemaknaannya tidak semuanya bisa tersampaikan. Ada bentuk bahasa lain ketika bahasa itu disampaikan ke orang yang tidak sama dengan kita. Contohnya ketika berbicara kepada orang yang tidak bisa melihat atau mendengar, pasti kita harus berpikir keras lagi agar bahasa yang kita sampaikan maknanya sampai kepada orang yang kita ajak berbicara.

***

Sebenarnya kita sudah tidak asing lagi dengan kerukunan antar individu. Itu sudah mendarah daging di dalam kehidupan bermasyarakat kita. Bagaimana sikap kita terhadap tetangga yang kesusahan, bagaimana sikap kita kepada orang baru dan itu semua pasti ada penyikapannya masing-masing. Dan otomatis pasti ada metodenya sendiri-sendiri supaya diantara kita ketika menjalani suatu proses kehidupan bisa saling menjaga keamanan dan ketenangan.

Kita sudah menciptakan budaya sendiri, tujuannya untuk memperkuat tali persaudaraan. Pedesaan yang menjadi corak utamanya. Perbedaan yang siginifikan bisa dilihat antara siklus kehidupan di kota dengan pedesaan. Tak perlu terlalu jauh di kota, di dalam lingkup perumahan pun sudah bisa kita lihat perbedaannya. Antara gaya hidup tradisional dengan moderen. Bagaimana mereka berkomunikasi, bertukar informasi pembicaraan, dan saling menjaga kedekatan emosionalnya.

Di desa-desa sudah tidak dipermasalahkan hal seperti itu, ya mungkin ada beberapa masalah kecil yang sifatnya bisa dilumrahi. Tapi untuk permasalahan yang skalanya lebih besar sangat kecil kemungkinannya. Banyak kebiasaan-kebiasaan yang secara naluriah bisa memunculkan sikap positif antar warga desa. Mereka sering bertemu dalam beberapa acara, sehingga komunikasi antar muka masih bisa diperhitungkan. Sebab banyak sekali kegiatan-kegiatan yang mereka dituntut untuk bertemu. Kalau di desa-desa pada umumnya sering kita jumpai seperti yasinan (Membaca istighosah dan surat yasin), Tahlilan (Membaca tahlil), Ruwatan, kerja bakti, sedekah bumi dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, dari hal-hal kecil sangat banyak manfaatnya. Di antara yang saat ini kita butuhkan adalah saling menghargai dan toleransi. Dua hal penting tersebut sudah kita dapatkan di masyarakat-masyarakat pedesaan. Kultur budaya mereka sangat kuat. Mereka mempunyai karakter yang berbeda dengan orang pada umumnya yang tinggal di perkotaan.

Kalau ada kabar kultur itu berubah, atau sikap orang desa sudah ada perubahan yang sangat bisa diperhatikan, bisa diasumsikan itu merupakan produk media massa yang sifatnya mempengaruhi, baik fanatisme terhadap seorang tokoh sehingga cara berpikir mereka bisa diubah sedemikian rupa. Karena jarak mereka sangat jauh, tapi yang mendekatkan atau yang bisa memengaruhi hanya media massa, baik cetak ataupun online yang menjadi makanan kita sehari-hari.


Sabtu, 12 Oktober 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...