Langsung ke konten utama

Berproses Dalam Bingkai PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)


(Sahabat Okta Adijaya)
(Kader PMII Rayon Sahabat, Komisariat UNESA)

Apa sih PMII? Jujur sangat asing di telinga dan baru pertama kali mendengar kata itu. Aku mendengar nama PMII pertama kali ketika kepo dengan teman satu kontrakan, Fajar dan Heri namanya, tepatnya pada awal September tahun 2018 lalu. Kok mereka pada rapat ke Ketintang sih, padahal Fajar tidak daftar Ormawa pada periode ini dan dan Heri pun sama, ia tidak diterima di HMJ jurusanku. Lantas mereka rapat organisasi apa?

Akhirnya ke-kepoanku semakin bergejolak dan meronta-ronta, ya karena kegabutanku di kontrakan, masa di Surabaya cuma ngegame dan tidak ada produktivitas sama sekali? Meskipun aku anggota HMJ tapi aku belum menemukan zona nyaman disitu, karena kebanyakan pada saat membentuk kepanitiaan, aku selalu ditaruh di Sie Dekdok. Hal yang membosankan.

Akhirnya aku coba bertanya ke Heri, kenapa dia sering ke Ketintang padahal dia masuk di kepengurusan DPM yang pastinya bertempat di Lidah Wetan. Tidak hanya itu, dia juga sering tahlilan, dzibaan maupun ziarah. Kegiatan yang belum aku laukan secara rutin pada waktu itu. Kemudian, dia menyuruhku Browsing, mencari nama PMII, hah.. PMII? Asumi pertamaku tidak lain dan tidak bukan pasti mengarah ke Palang Merah Indonesia.
Tanpa pikir panjang aku cari di google. Ternyata PMII adalah kepanjangan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, PMII adalah organisasi yang dinaungi NU untuk mewadahi kader NU di kalangan mahasiswa. Akupun tertarik dan menawarkan diri juga jika aku ingin bergabung di dalamnya. Tapi Heri menyuruhku berpikir-pikir dulu. Aku juga sempat bilang ke Fajar kalau mau ikut PMII biar ada kegiatan.

Hari Kamis aku dijemput Fajar tapi tak bilang mau kemana, hanya disuruh pakai sarung, penting sekiranya pantas. Kebetulan lagi tidak ada aktivitas di kontrakan, aku turuti dia. Duh terasa dijebak, ternyata aku dibawa ziarah ke Sunan Ampel. Bagaimana bisa aku berziarah, sedangkan aku sendiri kurang tahu di bacaan tahlil dan lain-lain. Kalau banyak cowoknya sih oke-oke saja, tapi ini kok mayoritas cewek, jadi aku cuma diem saja sambil baca apa yang aku hafal, ya meskipun sedikit-sedikit.

Setelah it, mau gak mau aku harus bia menghaf bacaan tahlil agar nantinya tidak malu-maluin. Karena sudah bisa dilihat, mayoritas PMII adalah cewek sedangkan aku cowok. Masa cowo yang nantinya jadi calon imam tidak hafal tahlil, kan agak lucu hehe. Sehabis itu aku ngopi dengan kakak tingkat, aku kagum dengan caranya berbicara yang sangat lancar, dengan kosa kata yang menurutku mahasiswa banget yang belum aku tahu sama sekali hehe. Sharing-sharing ternyata dia bisa dan berani ngomong karena sering diskusi karena katanya diskusi bisa melatih mental dan argumen.

Bulan ketiga 2019, waktunya Pemira atau pemilihan umum raya. Aku ditawari menjadi saksi paslon nomor  tiga, paslon yang diusung PMII pada saat itu. Aku di tugaskan  menjadi saksi di Fakultasku sendiri, entah kenapa aku mau diajak menjadi saksi paslon nomor urut tiga. Padahal aku paling tidak suka dengan yang namanya politik, mungkin sungkan karena yang ngajak itu mahasiswa angkatan 15. Tetapi dari situ aku kenal banyak orang mulai dari angkatan 14 sampai 18 dan akupun akhirnya tahu tentang prosedur pemilihan, menjadi saksi, bagaimana menunda TPS tidak berjalan agar suara lawan tidak dapat masuk dan lain-lain.

Apesnya pada hari H jam lima pagi aku tidak mendapati motorku di parkiran, aku tanya ke temen-temen kos tidak ada yang tahu dan aku langsung ke warkop tempat temen-temen timses kumpul, aku minta tolong untuk kirim BCan di grup story dan lain-lain.. Semua pada bingung tergesa untuk mengantarku ke polsek. Mulai disini aku belajar gimana arti prioritas, disatu sisi aku di beri amanah untuk menjadi saksi dan, disisi lain motorku hilang, akhirnya kuputuskan untuk menjadi saksi karena aku takut nanti dikira tidak bisa menjadi amanah. Tapi aku di suruh untuk mengurusi motorku dulu habis itu langsung jadi saksi. Oke deh aku ngurus surat kehilangan sampai jam dua belas siang tidak tidur dari kemarin ditemeni kakak tingkat.

Setelah selesai, aku langsung ke TPS menjalankan amanah menjadi saksi, aku tanya gimana kondisi pada saat ini, ternyata TPS baru dimulai sekitar pukul sepuluh. Padahal dalam surat ketetapan yang aku pegang, TPS dibuka pukul 08.00. Aneh banget, akhirnya aku bertanya ke KPPS dan Banwaslu, ternyata ada perubahan pada poin tertentu dan diumumkan di akun IG KPU, kok bisanya ketetapan diubah pada hari H. Aku gugat KPPS pada waktu itu, soalnya KPU sewenang-wenang dalam mengubah ketetapan. Lagi-lagi ada alasan lain, karena logistik tidak ada, aku permasalahkan lagi karena ada poin yang tertulis bahwa pemungutan suara akan selesai pada jam yang telah di tetapkan meski ada kemunduran jam maupun masalah logistik.

Waktu telah menunjukkan jam 2, tanda sudah selesainya pemungutan suara, akhirnya aku dan temanku menutup lubang perhitungan suara, saat itu keadaan TPS sangat tidak kondusif dan terjadi adu argumen antara kami saksi paslon 3, kpps, dan saksi dari paslon lain selama 30 menit lebih, sampai-sampai cawapres nomor 1 ikut turun ke TPS untuk melawan argumen kita, setelah bicara dengan banwaslu TPS pun berjalan kembali, lumayan lah buat mencegah suara masuk dari paslon nomor 1. Meski timses nomor 3 membuat rancangan strategi sedemikian rupa sampai membuat gugatan ke banwaslu dan tidak ada yang diterima, akhirnya pun kita kalah dengan yang memegang sistem hehe, dan selisih sekian ratus suara. Memang tidak terima, tapi mau gimana lagi namanya juga politik.

Aku disuruh berangkat Mapaba atau Masa Penerimaan Anggota Baru setelah Pemira selesai, sempat beberapa kali aku mau ikut mapaba tapi selalu ada halangan. Mulai dari mapaba raya, mapaba raysa, dan mapaba cemara. Banyak temen yang nyuruh segera ikut mapaba, tapi ada beberapa senior yang menyarankan jangan ikut mapaba dulu karena aku juga ikut Ormawa, dan kalau ingin maju jadi calon, setidaknya harus terlihat netral kalau melihat kondisi fakultasku sekarang ini. Setelah menyaring saran teman dan senior akhirnya aku putuskan ikut mapaba sosial, tapi ada aja halangannya.
Saat temenku minta tolong untuk memotret dia dan temannya Wisuda, kebetulan dompet tipis, ya aku terima dan ternyata acara wisuda pada hari Sabtu dan Mapaba hari Jum'at sama Minggu.

Setelah ngomong ke ketua rayon, ternyata gak apa ninggal tapi tidak boleh sampai tiga materi, ya udah aku berangkat mapaba, sebelum berangkat aku dipesani temen kalau nanti aku harus berani ngomong dan nentang pemateri kalau gak sepemikiran. Ternyata dari fakultasku ada 4 anak yang ikut termasuk aku dan salah satunya adalah adek tingkatku yang ikut mapaba tanpa sepengetahuanku,
Pas waktu materi akupun menuruti kata temenku dan aktif  menanggapi materi, tapi di situ juga ada yang sangat aktif dan pertanyaannya lebih mempunyai dasar daripada pertanyaanku yang terkesan ngawur. Dari situ aku bisa membedakan mana yang berilmu dan tidak seperti aku, akhirnya aku memutuskan meningkatkan literasiku. Aku suka membaca buku karena temenku sekelas menyodori 1 buku buat mengubah cara berfikirku, oke aku terima dan ternyata setelah membaca buku aku tahu kosakata dan pengetahuan yang tidak aku ketahui.

Besoknya setelah ishoma dhuhur aku balik ke kampus untuk sesi foto, sedangkan tempat mapabaku bertempat di MWC NU Candi Sidoarjo. Aku izin untuk tidak mengikuti materi karena jadi fotografer, dan Alhamdulillah diizini. Aku dipinjami temanku hp agar gampang di hubungi, karena saat itu hpku sedang rusak dan aku chat WhatsApp menggunakan laptop, itupun online kalau posisi di warkop, udah motor hilang hp rusak hmm... Aku kembali lagi ke mapaba di MWC Candi Sidoarjo, ternyata aku sudah meninggalkan 4 materi,  aku takut gak lulus soalnya semua administrasi di tanggung ketua rayon, ya udah gak apa deh yang penting dapat ilmunya. Setelah materi selesai semua diarahkan untuk tidur karena baiat pada pukul 2 pagi. Tepat jam 2 pagi semua dibangunkan dan diarahkan ke aula untuk selanjutnya diarahkan lagi untuk baiat. Disini aku baru ngerti apa itu istilah baiat, ternyata baiat adalah sumpah sakral dengan menyebut nama Allah, disini kita bersumpah bahwa kita  harus setia dalam organisasi, sungguh sakral dan bikin merinding.

Sahabat, ya itu lah sebutan dalam lingkup PMII, tidak ada adek, senior maupun yang lain, semua setara. Setelah mapaba aku dijadikan anggota pada biro INFOKOM, posisi yang sama  dengan posisiku di HMJ, sangat membosankan. Tapi semua itu aku coba lawan dan ternyata aku patah semangat di tengah jalan di karenakan memang jenuh ketika pada saat bersamaan aku di suruh design pamflet dengan deadline yang sama, sampai-sampai aku berfikiran untuk hengkang dari salah satu organisasi tersebut karena tidak bisa bertanggung jawab. Masa aku menjabat INFOKOM pada periode yang sama? Aku juga pengen belajar yang lain. Mungkin yang gak sesuai ekspektasiku adalah kader PMII, mahasiswa luar mengenal kader PMII itu kader berintelek, yang aku dapatkan di periode itu gak sesuai dengan yang mereka bicarakan, sebenernya banyak, tapi kenapa waktu acara cuma beberapa yang datang padahal kader rayon sahabat ada 100 lebih kader. Disitu aku berfikir mungkin di PMII gak ada yang namanya keluarga, jadi mereka tidak menemukan zona nyaman di rayon, akupun berfikir seperti itu. Aku bukan alumni pondok, jadi masalah agama pun aku gak sepenuhnya mengerti. Tapi yang selalu di tonjolkan PMII lebih ke kanan, katanya PMII itu moderat? Mana kirinya?

Hari Jum'at aku sholat Jum'at di masjid Agung, disitu aku bertemu senior yang baru lulus tahun 2019 dan kebetulan juga dia rumahnya jombang tetangga kecamatanku. Sebenarnya sering aku lihat dan menyalami dia tetapi aku belum tahu siapa namanya, akupun diajak ngopi dan dia ngopi dengan pengurus IPNU daerah Lakar Santri. Siapa sih sebenarnya orang ini, rumahnya Jombang tapi ada anak IPNU Lakar Santri yang konsul dengan dia. Mereka membahas panjang lebar tentang IPNU, aku gak paham banget dengan yang mereka bahas, jadi aku cuma dengerin yang mereka bincangkan. Oh ternyata gini, dari situ aku mulai mengenal IPNU tanpa aku terjun didalamnya. Pengurus IPNU itupun pergi terlebih dahulu dan akhirnya kami membincangkan tentang PMII, oh ternyata PMII gini, yang aku kagum dari dia adalah sangat militan dengan PMII.

Jadi teringat sahabat dari fakultasku pernah bilang kalau coba dekatin orang ini, soalnya keluarga dia orang-orang besar di Jombang. Tetap aku gak sebegitu tertarik dengan politik, tapi untuk belajar apa salahnya? Sampai-sampai aku di ajak ngopi dengan pamannya di daerah jombang, beliau adalah Tim TKN jokowi sekaligus Alumni PMII IPB sebagai ketua Komisariat pada masanya. Aku bertanya apa yang paling mudah untuk pengkaderan maba, dan ternyata jawabannya simple yaitu pelatihan makalah. Tidak usah menaruh embel-embel PMII, jadi cuma pelatihan biasa nanti kalau udah selesai baru bilang kalau pelatihan ini adalah yang menyelenggarakan PMII, dan pastinya buat maba kepo, gak terpikirkan banget.

Aku mengenal istilah NU tapi tidak mengerti sama sekali apa itu NU, karena aku adalah kader NU kultur dan keluargakupun cuma jalani kewajiban dan sunnah-sunnahnya. Tapi di PMII aku dikenalkan dengan apa itu NU, Perjuangan NU. Mungkin disini aku mulai mendapatkan zona nyaman karena yang aku pandang bukan keberadaan seseorang tapi kebersamaan. Kita memperjuangkan bersama di dalam PMII, tetapi tetap aku dengan keliaran dan ke berandalanku. Entah apa yang membuatku cinta dengan PMII, apakah senior? Aku gak suka dengan senioritas, apa dengan sahabatinya? Hehe ya mungkin itu sedikit  faktor tambahan. Ada hal lain yang membuatku betah di PMII yaitu aku harus berkualitas, aku harus bersaing di dalam rayon terlebih dahulu sebelum aku di luar, karena aku punya banyak teman dari ormek-ormek lain dan aku mengikuti diskusi dengan mereka, ternyata pengetahuan dan retorikaku jauh di bawah mereka, aku sangat mengakui bahwa argumen mereka bagus, tapi sebagai kader PMII aku tidak bisa hanya menerima, aku juga harus meningkatkan pengetahuan dan mental untuk beradu argumen.

Sedikit demi sedikit aku mulai dikenalkam dengan apa itu aksi, dalam aksi ada tahap-tahap yang harus dilalui. Mulai dari kajian, disini kita mengkaji kondisi dan apa solusi yang akan di tempuh. Sehabis itu ada audiensi. disini kita mengadakan pertemuan antara koordinator aksi dan pimpinan birokrasi, setelah itu jika tidak di temui hasil, jalam terakhir adalah aksi dimana kita mengumpulkan masa untuk menuntut agar pimpinan bisa dapat menemui kita. Ini yang harus kita garis bawahi, aksi bukan perilaku barbat yang selama ini aku bayangkan, kita adalah kaum intelektual dan tidak seharusnya beradu kekerasan apalagi memulai dengan pihak aparat. Toh apa bedanya kita dengan mereka kalau sedikit-sedikit dikaitkan dengan kekerasan.
Aku menuntut rayon karena menurutku gak ada pengabdian masyarakat, pada dasarnya kita tetap mahasiswa yang nantinya juga akan terjun ke masyarakat, itu argumen yang selalu aku bicaran pada saat forum, tapi dengan mudahnya di patahkan kalau pengabdian masyarakat sudah ada bulan-bulan kemarin, memang benar toh aku juga anggota reshuffle. Sampai akhirnya rapat RTAR, ternyata banyak sekali pengurus-pengurus periode lama yang datang pada saat itu, di situ juga aku juga mengasah argumenku dengan dalih yang bertentangan, karena menurutku ini belajar dan salah benar urusan belakang.

Setelah RTAR dan ditetapkannya ketua rayon, aku di tunjuk sebagai tim formatur. Aku menginginkan posisi intelektual karena yang aku dapati anggota rayon jarang ada yang berani bicara di forum, dan akupun ingin mengubah itu tapi tidak di setujui, aku di taruh pada Komjar/Infokom. Akupun tidak mau, bukan idealis lagi tapi apatis, aku menolak omongan senior-senior yang memintaku untuk berada pada posisi Komjar. Sampai-sampai aku di tuduh di PMII hanya untuk ajang cari jodoh dan mencari relasi dengan senior, akupun tidak terima dengan itu, tapi akhirnya aku sadari bahwa itu adalah dinamika organisasi, selalu ada pro kontra meski dalam organisasi.
Akhirnya aku mencoba terima apa adanya karena semua itu proses, meski agak membangkang tapi aku tetap berupaya untuk kemajuan rayon.

Sampai-sampai aku melupakan tanggung jawabku di ormawa  sangking terlenanya aku di rayon, dan hampir di resuffle. Aku mendapat kabar itu dari temen dekatku, meskipun berbeda organisasi ekstra tetapi dia ingin mempertemukan aku dengan salah satu pemimpin HMJ. Katanya aku gak aktif di HMJ di karenakan faktor eksternal yaitu PMII, duh cerobohnya aku. Makanya waktu aku ngajak ngomong dengan salah satu pemimpin HMJ kaya agak canggung gitu jawabnya. Yah bendera tidak menjadi batasan untuk berinteraksi sosial, itu tidak berlaku padaku dan temanku. Aku menyadari kalau yang aku lakuin itu sangat fatal banget, aku menceritakan ke kakak tingkat satu kontrakan yang kebetulan juga kader PMII rayonku. Dia memarahiku karena aku di HMJ mrmbawa nama PMII dan jangan sampai malu-maluin dia terutama PMII, dan disini aku mulai belajar lagi apa itu tanggung jawab, kalau kita sudah terjun ya sekalian tenggelam, tapi yang aku lakukan itu malah naik lagi ke daratan karena takut dengan kedalamannya. Aku pun coba aktif kembali dan Alhamdulillah hubungan kami kembali seperti dulu lagi.

Sekarang baru aku sadari kalau aku telah mendapatkan banyak ilmu dengan dinamika dan konflik batin di PMII. Gak hanya ilmu tapi relasi, banyak teman kenalan dari rayon maupun komisariat lain dan bagaimana kita memegang amanah dan bertanggung jawab serta dapat menghadapi dinamika dengan tetap berfikir rasional. Sampai temanku dari ormek lain bilang kalau aku udah banyak berubah sejak gabung PMII, udah mau baca, nulis dll, dan aku pun gak merasakan itu semua. Memang perubahan mungkin tidak dapat kita rasakan secara langsung, tapi orang lain yang dapat merasakan. Bercermin harus ada media kaca, dari situ kita dapat melihat sekiranya apa yang pantas dan kurang dari diri kita. Persepektif orang selalu berbeda dan kebanyakan hanya melihat kurang, tapi itu harusnya membuat semakin semangat untuk memperbaiki diri, tidak ada batas untuk berproses. Tumbuh Subur Pegerakanku, tangan terkepal maju kemuka, mundur satu langkah adalah bentuk dari penghianatan, Salam Pergerakan ✊.


Kamis, 10 Oktober 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...