Malam adalah cerita masa silam yang cukup lalai, ku ingat sebilah rembulan dan sepotong bintang jatuh di matamu. Malam itu, kau meninggalkan kata-kata, berenang ke pemukiman air mata, menjadi tempat layu jadi mekar, embun jadi kado pesta ulang tahunmu. Sesekali aku mengingat, kau berusaha menjadi dirimu, gelas-gelas kering yang teriak nama kecil, kau seperti mereka saat bermain kelereng satu lawan satu.
Aku mencintaimu dari kado yang datang malam itu, bukan kau yang mengantarnya. Aku memungutnya bersama para kawanan tukang sampah dan anak-anak mereka. Kado itu berupa beberapa pertanyaan yang mengingatkanku di bangku anak-anak.
Ingatan tentang siang hari para tetangga yang berkumpul bercerita tentang tetangganya masing-masing. Perihal jodoh dan cita-cita anaknya mencari bulan siang hari.
Ibuku tetap di rumah, menjadi ibu paling baik dari ibu-ibu yang lain. Menjaga kesucian kata-katanya, mirip angin memelihara bunga melati, jadi putih, ranum harum bunga ketumbar.
"Cintamu, ibu harap sepi dari keramaian, agar kamu tahu, orang lain terpenjara pada puisi mereka sendiri, pada bahasa-bahasa ruang yang tertidur di sebilah tanah, mendekap air tenang yang mengangah"
Aku berani menyapamu, diiringi gelap dalam suara hening. Jalan bait-baitku yang berlarian ku tangkap. Di balik bahasa yang ku sentuh, di balik cerita yang ku sembunyikan, di balik pertanyaan yang aku samarkan. Aku memintamu jadi nama yang dimudahkan.
Aku mencintaimu dari kado yang datang malam itu, bukan kau yang mengantarnya. Aku memungutnya bersama para kawanan tukang sampah dan anak-anak mereka. Kado itu berupa beberapa pertanyaan yang mengingatkanku di bangku anak-anak.
Ingatan tentang siang hari para tetangga yang berkumpul bercerita tentang tetangganya masing-masing. Perihal jodoh dan cita-cita anaknya mencari bulan siang hari.
Ibuku tetap di rumah, menjadi ibu paling baik dari ibu-ibu yang lain. Menjaga kesucian kata-katanya, mirip angin memelihara bunga melati, jadi putih, ranum harum bunga ketumbar.
"Cintamu, ibu harap sepi dari keramaian, agar kamu tahu, orang lain terpenjara pada puisi mereka sendiri, pada bahasa-bahasa ruang yang tertidur di sebilah tanah, mendekap air tenang yang mengangah"
Aku berani menyapamu, diiringi gelap dalam suara hening. Jalan bait-baitku yang berlarian ku tangkap. Di balik bahasa yang ku sentuh, di balik cerita yang ku sembunyikan, di balik pertanyaan yang aku samarkan. Aku memintamu jadi nama yang dimudahkan.
- Surabaya, 3 Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar