PLP (Pengenalan Lapangan Persekolahan) merupakan program kegiatan wajib yang dilakukan mahasiswa pendidikan di lingkungan kampus manapun. Entah dengan nama yang sama atau ada penamaan berbeda, tapi di kerja praktiknya sama. Di dalam PLP idealnya seorang mahasiswa sebelum diajarkan, mereka dikenalkan terlebih dahulu atmosfer di lingkungan sekolah, baik pembelajaran, administrasi guru atau apapun yang menyangkut dunia persekolahan. Di sana para mahasiswa tidak hanya melakukan pengamatan, namun mereka harus bisa terjun langsung mengajar dalam kelas. Itu menjadi tantangan terberat bagi mahasiswa PLP.
Berhubung saya jurusan Bahasa Indonesia, jadi mau tidak mau saya harus mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Ibarat mahasiswa adalah seorang pemikir akademik yang sedang menimba ilmu di atas gunung, jauh dari peradaban, serta jauh dari rimbunan masyarakat. Maka dari itu sesekali ia harus turun gunung mengamalkan ilmu yang dipelajarinya di atas gunung tadi. Kondisinya berjalan turun saja susah, melewati bebatuan terjal di lereng gunung sambil membawa beban ilmu di pundaknya. Turun gunung bukan hanya sekadar turun, sesampainya di dasar gunung, ia harus benar-benar siap, benar-benar bersedia menerima tantangan, baik fisik maupun psikologis.
Anehnya, terkadang jalan tidaklah satu, jalan gunung biasanya bercabang banyak. Ada yang lulus sampai ke dasar gunung, ada juga yang masih berputar-putar mencari di mana jalan yang benar. Bahkan ketika sudah sampai di dasar gunung pun terkadang ia masih bingung, masih merasa belum mempunyai kecakapan dalam mengimplementasikan ilmu yang dimilikinya. Itu merupakan salah satu gambaran terberat yang tercermin pada saat PLP.
Perumpamaannya, siswa adalah sekelompok masyarakat yang berada dalam satu wilayah tertentu. Pasti membawa karakter yang berbeda sesuai tempat ia berkembang. Ilmu dipundak terapannya adalah harus sesuai kondisi budaya masyarakat tersebut. Ilmu tidak bisa langsung disesuaikan, sebab ilmu adalah nilai proses pada mahasiswa. Nilai akan bisa berkembang apabila ia sudah melakukan perkembangan dari pengalaman-pengalaman.
Tentunya ada peluang besar ilmu bisa berinovasi sesuai budaya tempat ia dikembangkan. Ia akan menjadi berhenti stagnan bila ia berhenti tanpa melakukan sesuatu dan belajar. Oleh karena itu PLP merupakan tempat surveive bagi para mahasiswa pendidikan. Ketika di bangku perkuliahan dirasa sudah cukup, maka ia harus turun menjelajahi hutan bernama sekolahan.
Representasi mahasiswa pendidikan memang di dunia persekolahan. Istilahnya sebelum orang bekerja di suatu tempat, setidaknya ia harus bisa mengerti ada apa saja di dunia persekolahan. Jika disamakan dengan siswa baru, kegiatan PLP ini bisa dikatakan sebagai masa orientasinya. Ada banyak hal-hal baru yang akan ditemui. Tentunya pengalaman. Dengan pengalaman orang akan bisa berevaluasi, bisa belajar menjadi pribadi baru karena di masa itu kebanyakan kita akan dikenalkan dengan suasana baru dengan berbagai karakteristik orang yang berbeda-beda.
Awal mula saya memasuki kegiatan PLP dengan gambaran jelas, mengapa? Karena saya bertepatan dengan sekolah SMK negeri di Kota Probolinggo. Sekolahnya cukup bonafit. Jelasnya mungkin sangat berkaitan dengan masa masih sekolah dahulu, di mana saya juga berproses di SMK NU-1 Bustanul Ulum. Jadi gambaran awalnya tidak terlalu rumit dengan ciri khasnya anak SMK seperti apa. Tercermin di bentuk karakter mereka yang notabennya didiami siswa laki-laki. Jadi perbandingannya tidak terlalu melesat jauh dari gambaran awal di kepala.
Rasa grogi pasti ada, setiap tempat baru pasti membawa suasana baru juga. Namun pada saat itu belum terpikirkan jika saya bertempat di wilayah berbeda. Di Probolinggo pastinya. Sangat lah jauh berbeda karakternya dengan orang Lamongan maupun Surabaya sendiri dan itu berdampak pada kondisi siswanya. Ternyata dugaan saya sedikit berbeda, bisa dibayangkan juga bagaimana perbandingannya antara letak sosial kotanya, kultur sekolahnya, dan para warga sekolahnya.
Namun kalian semua pasti tahu, sifat-sifat dan sikap para gurunya di sana, tidak jauh berbeda dengan dulu saya bersekolah. Di mulai dengan kedisiplinannya, ketegasannya, dan kewibawaannya. Bisa dikatakan semua hampir sama kondisinya di SMK yang didominasi oleh siswa laki-laki.
Ada beberapa hal menarik ketika mengajar para siswa SMK, perbandingannya sangat jauh dengan cara belajar mengajar di SMA pada umumnya. Namun perbandingan tersebut bukanlah perbandingan dari sisi jelek, tapi di sisi lain perbedaan itu justru nampak ciri khas pembelajaran yang ada di sana. Baik pendekatan, metode, dan model dalam pembeljaran harus bisa menyesuaikan atmosfer pembelajaran yang ada di sana.
Perkuliahan hanya memberikan teori-teori serta strategi-strategi pembelajaran secara umum, bukan khusus atau menjuru. Saya banyak mendapat metode-metode pembelajaran serta beberapa modelnya, namun sekali lagi penerapan tidak selalu tepat sasaran, harus menyesuaikan dengan kondisi siswa, keadaan kelas, dan jam ke berapa pembelajaran di mulai. Sangat berbeda kondisinya, antara jam pertama dengan jam terakhir. Jam pertama ia keluar dari rumah dengan pikiran yang bisa dibilang fresh habis makan, sedangkan di jam terakhir mereka sudah mulai kendur berharap menunggu kapan cepat pulang.
Pengkodisian kelas dan siswa serta perencanaan bisa menjadi subtansial dalam pembelajaran. Namun kebanyakan ketika perencanaan sudah dicangangkan matang-matang, pasti ada saja yang masih belum sesuai di praktiknya. Antara dua jam pelajaran dengan tiga jam pelajaran di kelas bisa berubah tidak sesuai pada perencanaan bahkan pada targetnya. Terkadang untuk membuat kelompok, hanya membuat dan membagi kelompok, itu bisa membutuhkan waktu satu jam pelajaran. Sangat jauh berbeda dengan kondisi di SMA.
Oleh karenanya, itu pun hanya cooperative, belum yang lain. Belum lagi setelah pembagian kelompok ada penjelasan sedikit, setelah itu pengerjaannya, kemudian presentasi. Sangat tidak memungkinkan kalau dengan dua jam pembelajaran itu cukup. Kemungkinan bisa cukup tapi tidak efektik. Pembelajaran katanya harus disesuaikan dengan kurikulum serta RPP yang ada. Kenyataannya di lapangan terkdang praktiknya di lapangan justru tidak sesuai pada apa yang tercantum di RPP. Jika hal tersebut selalu terjadi, lantas saya pikir apa gunanya perangkat RPP kalau kondisi realnya berbeda.
Ada sedikit kebingungan awal ketika masuk di kelas pertama. Kenapa? Jika kita simak baik-baik, pembelajaran bahasa Indonesia merupakan pembelajaran berbesis teks. Semua materi yang diajarkan menggunakan media teks, dari kebahasaannya, struktur, definisi, dan sebagainya. Semua menggunakan banyak teks. Ini yang salah terletak pada kurikulum di sekolah apa di dunia kampus. Saya ambil contoh di kampus, di kampus tidak diajarkan materi dari berbagai macam teks, sedangkan teks di dunia pendidikan bahasa menjadi unsur penting di dalamnya.
Okelah kita dijarakan kaidah-kaidah bahasa dan macamnya, tapi untuk bagian-bagian teks yang harus disampaikan ke siswa tidak semua guru bisa menguasainya dengan baik dan benar. Kemudian di sekolahan, anak sulit paham dengan bahasa secara komprehensif. Jika bahasa menggunakan teks sebagai media pembahasaan, berarti tujuan pembelajaran bahasa indonesia secara umum adalah tujuan atau targernya siswa dituntut bisa membuat teks dengan benar. Di samping hal tersebut, kenapa tidak diselingi materi utama unsur kebahasaan, kenapa hal yang dianggap pokok justru seolah-olah dijadikan sebagai materi tambahan.
Padahal ini soal pendidikan yang lompatannya ke generasi mudah, generasi-generasi harapan penerus bangsa. Saya rasa jurus-jurus guru pada zaman dahulu seperti merasa paling benar, suka mengeles, yang tua yang benar dan lain-lainnya mulai sekarang jangan terlalu dibudayakan. Siswa sekolah tujuannya ingin mengerti, bukan malah dibodohi bahkan sampai dimanipulasi
Probolinggo, 04 Agustus 2019
Komentar
Posting Komentar