Akhir-akhir ini soal yang dikeluhkan oleh para siswa SMA ketika ujian Nasional kemarin ternyata banyak butir soal yang di dalamnya mengandung daya nalar tinggi atau HOTS (Higher Order Thinking Skills). Tidak sedikit siswa dibuat bingung akan adanya soal tersebut, bahkan di media sosial yang para penggunanya rata-rata anak remaja, dipenuhi oleh curhatan mereka setelah ujian nasional itu berlangsung. Sebenarnya mereka mengungkapkan kekesalannya, tetapi kekesalan itu dibuat menjadi lucu sehingga para pengguna media sosial agak tertawa saat membacanya. Kesulitan itu bukan berarti siswa tidak bisa berpikir secara berkembang, namun kurangnya keseimbangan antara metode atau teknik penyampaian guru kepada siswa. Alhasil siswa kurang bisa memahami bagaimana penerapan sistem HOTS itu dalam pengerjaannya.
Perlu diketahui sebelumnya, sebenarnya yang menjadi utama di pendidikan adalah bagaimana seorang guru bisa menjadi manager untuk siswanya dengan baik. Bahwasanya semua murid pasti memiliki kemampuan dan daya berpikir yang berbeda-beda. Guru setidaknya mampu memahami karakter para siswanya, syukur-syukur mengenalnya satu per satu kondisinya. Tidak mungkin ayam dengan burung diberi makan yang sama, tidak mungkin juga diberi medan petualang yang sama. Tentu memilki perbedaan, baik dalam segi kemampuan dan kekuatan medan petualangnya. Sama halnya dengan siswa, siswa juga manusia, dalam hal perlakuan pendidikan mereka harus disamakan, tapi ketika sudah masuk perihal makanan yang disuguhkan, mereka mempunyai selera makan yang berbeda-beda.
Jika memang soal yang mengandung HOTS bisa diterapkan ketika ujian Nasional, sebelumnya perlu diinformasikan dengan baik kepada siswa. Lebih-lebih Kemendikbud memberi pelatihan kepada para guru, bagaimana dan seharusnya indikator soal yang mengandung HOTS itu diajarkan serta cara pengerjaan siswa seperti apa. Memang HOTS akhir-akhir ini gencar dipublikasikan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Indikatornya adalah agar siswa bisa berpikir maju untuk mengaplikasikan cara berpikirnya yang tinggi. Tapi apakah HOTS bisa diterapkan kepada satu per satu siswa, lantas bagaimana indikator penilaian tentang HOTS itu sendiri pun masih kurang jelas.
Kemendikbud seharusnya memiliki sikap siap yang jauh-jauh hari sudah direncanakan. Semua sistem, baik itu pendidikan atau apapun akan bisa terlaksana dengan lancar jika semuanya sudah dipersiapkan dengan matang-matang, apalagi ini menyangkut masalah pendidikan, masalah anak bangsa, generasi penerus bangsa. Tumpuan maju tidaknya suatu negara bisa dilihat dari penilaian sistem pendidikan yang digunakan. Kalau semuanya dilakukan dengan serba terburu-buru, lalu buat apa penerapan HOTS kalau itu tidak bisa dilakukan secara maksimal.
Apa itu HOTS?
Menurut Alice Thomas dan Glenda Thorne mendefinisikan HOTS dalam artikelnya yang berjudul How to increase Higher Order Thinking (2009) sebagai cara berpikir pada tingkat yang lebih tinggi dari pada menghafal, atau menceritakan kembali sesuatu yang diceritakan orang lain. Seperti halnya penulis sekaligus assosiate professor dari Dusquance University bernama Susan M Brookhart dalam bukunya, “How to Assess Higher order Thinking Skills in Your Classroom (2010)” mengatakan kalau model ini sebagai metode untuk transfer pengetahuan, berpikir kritis, dan memecahkan masalah.
Robyn Collins, dalam tulisannya berjudul ‘skills for the 21st Century : teaching higher order thinking’ yang dimuat dalam situs curriculum.edu.au (2014), mengatakan higher order thinking bertujuan mempersiapkan masyarakat memasuki abad ke-21.
Keterampilan mental HOTS ini awalnya ditentukan berdasarkan Taksonomi Blomm yang mengkategorikan berbagai tingkat pemikiran, mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Konsep Benjamin S. Blomm tersebut sudah dicetuskan dalam bukunya Taxonomy of Education Objectives (1956). Ada beberapa tahapan dan tujuan dalam pembelajaran yang terbagi menjadi tiga, yaitu : kognitif (keterampilan mental dalam pengetahuan), Afektif (sisi emosi yang berlingkup pada wilayah sikap dan perasaan), dan Psikomotorik, yang berhubungan dengan kemampuan fisik atau keterampilan.
Taksonomi adalah pembelajaran yang lebih mengutamakan akhir dari sebuah proses pembelajaran, di mana siswa harus bisa menerapkan, mengadopsi, dan mengiplimentasikan dari proses pengetahuan dan pemahamannya dalam lingkup keterampilan yang lebih efisien serta terampil. Dalam lingkup proses manusia mencari pengalamannya di wilayah pengetahuan, manusia harus bisa mengetahui ciri-ciri atau karakter tentang pengetahuan yang dipelajarinya. Penemuan akan suatu pengetahuan akan berdampak lebih baik jika manusia bukan hanya mempelajarinya, melainkan juga memahaminya dengan sikap yang baik dan rasional. Pengetahuan tidak bisa berhenti hanya sebagai pengetahuan, manusia harus bisa memiliki kemampuan mengubah pengetahuan tersebut menjadi nilai ilmu, ketika pengetahuan sudah memiliki daerah penerapannya, secara tidak langsung pengetahuan tersebut sudah menjadi metode ilmu, sebab ilmu harus memilki daya guna untuk dirinya bahkan untuk orang lain, yang wilayah aplikasinya adalah kehidupan.
Penggunaan pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari yang paling menonjol adalah bagaimana kemampuan analisisnya, dalam lingkup ini, kemampuan siswa tidak bisa disamakan dalam segi analisisnya. Analisis bukan hanya tentang tinggi rendahnya, melainkan baik buruknya. Percuma sudah mencapai tingkat keanalisisan tinggi tapi kurang mengerti baik buruknya, maka tidak ada keselarasan antara nilai dan pengaplikasiannya.
Ranah kognitif ini kemudian direvisi oleh Lorin Anderson, David Krathwohl, dkk. Pada tahun 2001. Dalam urutannya mereka membagi dua konsep, yaitu berpikir rendah dan berpikir tinggi. Adapun yang memasuki berpikir tingkat rendah yaitu mengingat, memahami, dan mengaplikasikan. Sedangkan untuk berpikir tingkat tinggi yaitu menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.
Dalam analisis ujian nasionalnya, anak lebih besar ditekankan belajar pada tingkat berpikir lebih rendah, jika melihat acuan pada data di atas. Karena kebanyakan sekarang siswa lebih dibimbing supaya kuat pada daya ingat, pada memahami, dan mengaplikasikan. Bahkan untuk tingkat rendah pun kita masih belum maksimal. Apa bukti pemerintah dan para guru jika anak itu bisa mengaplikasikan pengetahuannya di kehidupan sehari-hari. Pengaplikasian HOTS dalam pendidikan juga harus diimbangi dengan kurikulum yang selaras pula, pelatihan-pelatihan untuk guru itu yang paling penting. Guru harus bisa berpikir secara HOTS juga, tidak bisa dibayangkan, siswa dipaksa untuk berpikir tingkat tinggi tapi gurunya masih belum bisa untuk berpikir tentang hal itu. Jadi keseimbangan dalam pendidikan harus bisa diwujudkan, agar tujuan Kemendikbud untuk bisa sampai pendidikan pada abad 21 bisa terealisasikan dengan baik, serta sesuai dengan tujuan bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa bisa dengan mudah terwujud.
Pendidikan Indonesia adalah pendidikan yang sangat kompleks jika dilihat dari sejarah historisnya. Tokoh pelopor pendidikan Indonesia sang Ki Hadjar Dewantara merupakan tokoh yang luar biasa merencanakan pendidikan di Indonesia. Jangan salahkan dulu Finlandia belajar pendidikan ke Indonesia, kita sebagai salah satu tiang pendidikan dunia seyogyanya mampu mengenal satu-satu karakter yang dimiliki oleh siswa, bukan mencampur menjadi satu campuran agar bisa diselaraskan. Tetapi dengan membimbing satu persatu siswa untuk mengenal karakternya sendiri-sendiri, maka siswa akan mengerti siapa jati diri dia sesungguhnya. Namun semuanya itu hanya tinggal cerita sejarah yang terpampang di buku-buku sejarah pendidikan yang tanpa ada kenyataannya saat ini. jangan salahkan juga sekarang kita menjadi berbalik arah, kita yang dulu menjadi objek belajarnya Finlandia, tetapi justru sekarang kita menjadi subjek untuk belajar ke mereka.
Surabaya, 2016
Perlu diketahui sebelumnya, sebenarnya yang menjadi utama di pendidikan adalah bagaimana seorang guru bisa menjadi manager untuk siswanya dengan baik. Bahwasanya semua murid pasti memiliki kemampuan dan daya berpikir yang berbeda-beda. Guru setidaknya mampu memahami karakter para siswanya, syukur-syukur mengenalnya satu per satu kondisinya. Tidak mungkin ayam dengan burung diberi makan yang sama, tidak mungkin juga diberi medan petualang yang sama. Tentu memilki perbedaan, baik dalam segi kemampuan dan kekuatan medan petualangnya. Sama halnya dengan siswa, siswa juga manusia, dalam hal perlakuan pendidikan mereka harus disamakan, tapi ketika sudah masuk perihal makanan yang disuguhkan, mereka mempunyai selera makan yang berbeda-beda.
Jika memang soal yang mengandung HOTS bisa diterapkan ketika ujian Nasional, sebelumnya perlu diinformasikan dengan baik kepada siswa. Lebih-lebih Kemendikbud memberi pelatihan kepada para guru, bagaimana dan seharusnya indikator soal yang mengandung HOTS itu diajarkan serta cara pengerjaan siswa seperti apa. Memang HOTS akhir-akhir ini gencar dipublikasikan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Indikatornya adalah agar siswa bisa berpikir maju untuk mengaplikasikan cara berpikirnya yang tinggi. Tapi apakah HOTS bisa diterapkan kepada satu per satu siswa, lantas bagaimana indikator penilaian tentang HOTS itu sendiri pun masih kurang jelas.
Kemendikbud seharusnya memiliki sikap siap yang jauh-jauh hari sudah direncanakan. Semua sistem, baik itu pendidikan atau apapun akan bisa terlaksana dengan lancar jika semuanya sudah dipersiapkan dengan matang-matang, apalagi ini menyangkut masalah pendidikan, masalah anak bangsa, generasi penerus bangsa. Tumpuan maju tidaknya suatu negara bisa dilihat dari penilaian sistem pendidikan yang digunakan. Kalau semuanya dilakukan dengan serba terburu-buru, lalu buat apa penerapan HOTS kalau itu tidak bisa dilakukan secara maksimal.
Apa itu HOTS?
Menurut Alice Thomas dan Glenda Thorne mendefinisikan HOTS dalam artikelnya yang berjudul How to increase Higher Order Thinking (2009) sebagai cara berpikir pada tingkat yang lebih tinggi dari pada menghafal, atau menceritakan kembali sesuatu yang diceritakan orang lain. Seperti halnya penulis sekaligus assosiate professor dari Dusquance University bernama Susan M Brookhart dalam bukunya, “How to Assess Higher order Thinking Skills in Your Classroom (2010)” mengatakan kalau model ini sebagai metode untuk transfer pengetahuan, berpikir kritis, dan memecahkan masalah.
Robyn Collins, dalam tulisannya berjudul ‘skills for the 21st Century : teaching higher order thinking’ yang dimuat dalam situs curriculum.edu.au (2014), mengatakan higher order thinking bertujuan mempersiapkan masyarakat memasuki abad ke-21.
Keterampilan mental HOTS ini awalnya ditentukan berdasarkan Taksonomi Blomm yang mengkategorikan berbagai tingkat pemikiran, mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Konsep Benjamin S. Blomm tersebut sudah dicetuskan dalam bukunya Taxonomy of Education Objectives (1956). Ada beberapa tahapan dan tujuan dalam pembelajaran yang terbagi menjadi tiga, yaitu : kognitif (keterampilan mental dalam pengetahuan), Afektif (sisi emosi yang berlingkup pada wilayah sikap dan perasaan), dan Psikomotorik, yang berhubungan dengan kemampuan fisik atau keterampilan.
Taksonomi adalah pembelajaran yang lebih mengutamakan akhir dari sebuah proses pembelajaran, di mana siswa harus bisa menerapkan, mengadopsi, dan mengiplimentasikan dari proses pengetahuan dan pemahamannya dalam lingkup keterampilan yang lebih efisien serta terampil. Dalam lingkup proses manusia mencari pengalamannya di wilayah pengetahuan, manusia harus bisa mengetahui ciri-ciri atau karakter tentang pengetahuan yang dipelajarinya. Penemuan akan suatu pengetahuan akan berdampak lebih baik jika manusia bukan hanya mempelajarinya, melainkan juga memahaminya dengan sikap yang baik dan rasional. Pengetahuan tidak bisa berhenti hanya sebagai pengetahuan, manusia harus bisa memiliki kemampuan mengubah pengetahuan tersebut menjadi nilai ilmu, ketika pengetahuan sudah memiliki daerah penerapannya, secara tidak langsung pengetahuan tersebut sudah menjadi metode ilmu, sebab ilmu harus memilki daya guna untuk dirinya bahkan untuk orang lain, yang wilayah aplikasinya adalah kehidupan.
Penggunaan pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari yang paling menonjol adalah bagaimana kemampuan analisisnya, dalam lingkup ini, kemampuan siswa tidak bisa disamakan dalam segi analisisnya. Analisis bukan hanya tentang tinggi rendahnya, melainkan baik buruknya. Percuma sudah mencapai tingkat keanalisisan tinggi tapi kurang mengerti baik buruknya, maka tidak ada keselarasan antara nilai dan pengaplikasiannya.
Ranah kognitif ini kemudian direvisi oleh Lorin Anderson, David Krathwohl, dkk. Pada tahun 2001. Dalam urutannya mereka membagi dua konsep, yaitu berpikir rendah dan berpikir tinggi. Adapun yang memasuki berpikir tingkat rendah yaitu mengingat, memahami, dan mengaplikasikan. Sedangkan untuk berpikir tingkat tinggi yaitu menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.
Dalam analisis ujian nasionalnya, anak lebih besar ditekankan belajar pada tingkat berpikir lebih rendah, jika melihat acuan pada data di atas. Karena kebanyakan sekarang siswa lebih dibimbing supaya kuat pada daya ingat, pada memahami, dan mengaplikasikan. Bahkan untuk tingkat rendah pun kita masih belum maksimal. Apa bukti pemerintah dan para guru jika anak itu bisa mengaplikasikan pengetahuannya di kehidupan sehari-hari. Pengaplikasian HOTS dalam pendidikan juga harus diimbangi dengan kurikulum yang selaras pula, pelatihan-pelatihan untuk guru itu yang paling penting. Guru harus bisa berpikir secara HOTS juga, tidak bisa dibayangkan, siswa dipaksa untuk berpikir tingkat tinggi tapi gurunya masih belum bisa untuk berpikir tentang hal itu. Jadi keseimbangan dalam pendidikan harus bisa diwujudkan, agar tujuan Kemendikbud untuk bisa sampai pendidikan pada abad 21 bisa terealisasikan dengan baik, serta sesuai dengan tujuan bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa bisa dengan mudah terwujud.
Pendidikan Indonesia adalah pendidikan yang sangat kompleks jika dilihat dari sejarah historisnya. Tokoh pelopor pendidikan Indonesia sang Ki Hadjar Dewantara merupakan tokoh yang luar biasa merencanakan pendidikan di Indonesia. Jangan salahkan dulu Finlandia belajar pendidikan ke Indonesia, kita sebagai salah satu tiang pendidikan dunia seyogyanya mampu mengenal satu-satu karakter yang dimiliki oleh siswa, bukan mencampur menjadi satu campuran agar bisa diselaraskan. Tetapi dengan membimbing satu persatu siswa untuk mengenal karakternya sendiri-sendiri, maka siswa akan mengerti siapa jati diri dia sesungguhnya. Namun semuanya itu hanya tinggal cerita sejarah yang terpampang di buku-buku sejarah pendidikan yang tanpa ada kenyataannya saat ini. jangan salahkan juga sekarang kita menjadi berbalik arah, kita yang dulu menjadi objek belajarnya Finlandia, tetapi justru sekarang kita menjadi subjek untuk belajar ke mereka.
Surabaya, 2016
Komentar
Posting Komentar