Pendidikan merupakan suatu hal yang wajib dialami oleh semua makhluk manusia di muka bumi ini. Siapapun, tidak memandang suku, budaya, umur, etnis dan hal-hal lain yang dapat membedakan golongan atau individu yang lain. Mungkin banyak orang yang berfikir kalau pendidikan adalah hubungannya dengan suatu institusi tertentu. Kalau tidak sekolah berarti dia tidak mengalami suatu skala dimana orang tersebut berproses di dalam pendidikan.
Hal yang semacam itu tentu merusak stigma, esensi, hakikat dan subtansi dari pendidikan. Pendidikan bukan pola pikir ke institusi. Bagaimana orang bisa belajar kepada sesuatu, berarti dia pernah mengalami pendidikan. Sewajar-wajarnya, hakikat dasar manusia adalah meniru apa yang dilihat, baik itu konsep, identitas atau ruang yang dimiliki oleh objek yang menjadi bahan tiruannya. Hubungan pendidikan harus bisa diiringi dengan objek, dimana esensi dari objek adalah rupa yang bernampak dan terlihat. Manusia tidak bisa harus berfokus pada sebuah materi bicara. Sesuatu yang baik kalau bisa dicontohkan, maka nilai dari kebaikan itu bisa bertambah. Oleh karenanya, pendidikan bisa berjalan dengan sempurna, jika diantara satu pihak dengan pihak lainnya harus bisa menyempurnakan kondisi kesadaran akan subtansi dari pendidikan tersebut.
Dasar suatu tindakan adalah atas dasar konsep dari niat. Kunci dari niat adalah hati. Hati lebih sempurna apabila telah tersinkron dengan pola pikir kemanusiaan. Hubungan pendidikan adalah dengan kemanusiaan. Kita harus bisa menjadi manusia terlebih dahulu sebelum menyikapi pendidikan, bukannya kita tidak manusia, tapi manusia harus bisa mengerti sejatinya manusia itu seperti apa. mulai dari karakter, sifat, penalaran, penelitian, pengucapan dan ambisius untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Kita sebagai manusia jangan sampai diperalat oleh pendidikan, jadikan pendidikan itu adalah alat untuk perkembangan kemajuan dirimu sendiri.
Kalau kita sudah membicarakan mengenai alat, maka hak kuasa penuh adalah manusianya sebagai kholifah. Sebab alat adalah materi yang konkrit untuk dikendalikan dan dilakukan, di dalam alat mungkin ada keadaan yang terusun secara tersistem untuk meloncat ke depan. Istilah ke depan adalah tujuan kehidupan yang harus tersistem, sistemis dan sistematis. Kalau boleh saya mengartikan, bahwasanya alat adalah pegangan untuk mengantarkan keadaan yang lebih baik.
Subtansi dari pendidikan adalah belajar, pemahaman, nilai dan ilmu. Tidak ada sangkut pautnya dengan instansi. Belajar bisa dimana-mana, kapan pun, dalam situasi dan segala kondisi apa saja. Pemahaman akan ilmu adalah isi dari pendidikan. Ilmu tidak mengenal batas, yang membatasi hanyalah akal manusia itu sendiri. Transformasi berfikir mungkin harus bisa diubah dari sekarang. Ilmu tidak harus mengenal instansi, di dalam pendidikan semuanya tentang ilmu. Instansi bisa menghasilkan sebuah pengakuan sosial yang berupa gelar dan ijazah kelulusan, kemudian membahagiakan orang tua.
Lantas apakah setelah lepas dari ijazah, orang tidak bisa mendapatkan ilmu. Apakah ilmu itu hanya bisa bertahan di atas pengakuan. Tentu tidak, sampai akhir hayat, ilmu tidak akan pernah habis. Apalagi sifat dari ilmu adalah sesuatu yang selalu mengalami pembaharuan-pembaruan dari kurun waktu ke waktu.
Pendidikan Santri
Santri. Dimana letak santri. Santri diibaratkan sebagai orang yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren. Apakah hanya orang yang di pesantren bisa dikatakan santri. Kalau dikaji secara antologis keberadaannya, bisa dikatakan kalau santri adalah orang yang menimba ilmu di suatu pondok pesantren. Tapi jika dilihat dari subtansinya, inti pokok yang paling dominan adalah kata sifat yang berada pada hati yaitu Kebaikan, kearifan, kebijakan yang ditunjukkan kepada perilaku sosialnya. Bukan sebagai wujud eksistensinya, melainkan sudah menjadi tanggung jawab. Beban moral yang dirasakan oleh santri memang sungguh berat, dia tidak boleh sedikitpun berbuat tercela ketika mengenyampingkan sisi kemanusiaannya yang tidak pernah berbuat salah dan lupa.
Tuntutan semacam itu justru memberatkan para santri. Batasan-batasan yang dibuat oleh keadaan sosialnya secara tidak langsung memaksakan mereka selalu bahkan harus berbuat kebaikan.
Sebenarnya santri tidak mengikat pada identitasnya. Melainkan ruang yang wajib dimanfaatkan untuk orang banyak. Nilai-nilai disiplineritasnya harus jelas. Manfaatnya harus jelas. Posisi dan kadar perilakunya harus bisa menunjukkan bahwa dia sebagai seorang santri. Tidak ada orang yang tidak santri ketika dia bisa bermanfaat dan menebar kebaikan untuk umum. Santri tidak mengikat pada pondok pesantren. Tempatnya memang di pesantren, tapi follow up yang harus dilakukan dengan kearifan untuk berbagi kebaikan.
Di sub awal sudah dijelaskan kalau pendidikan tidak bisa dilakukan oleh sepihak saja, melainkan ada dua pihak yang harus bisa diajak berkonstribusi guna mewujudkan integritas pemahaman dalam pembelajaran. Guru harus bisa memahami siswa, siswa juga harus bisa mengerti keadaan guru. Hukum aksi reaksi lumrah terjadi ketika proses ini berlangsung. Ketika aksi yang dilakukan oleh guru adalah keras, keras dalam artian memberi pemahaman yang mampu mengkondisikan satu per satu siswanya, maka aksi yang seharusnya dilakukan oleh siswa-siswanya harus bisa sebanding dengan apa yang diberikan oleh guru. Semakin keras guru menyampaikan pengetahuan dan ilmunya, maka tingkat pemahaman per siswa harus bisa menyamai apa yang diberikan guru.
Kolaborsi pembelajaran bukan hanya di satuan pemahaman, tapi ada di satuan perilakunya. Di pondok pesantren, para santri harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang benar, mana yang betul dan mana yang salah. Tindakan tersebut banyak sumber yang menjadi titik acuannya. Disana mereka digembleng untuk menjadi sosial yang baik. Salah satunya dengan cara mencontoh sebuah perilaku. Pesantren sudah pasti jelas dipimpin oleh seorang ulama’. Tidak mungkin orang yang memimpin suatu pondok pesantren adalah orang sembarangan. Harus ada pengakuan sosial yang sangat kuat di dalamnya. Dalam hal kebaikan juga tidak selalu harus dengan paksaan.
Kebanyakan awal dari belajar adalah plagiasi atau mencontoh objeknya. Paksaan hanya mengakibatkan orang akan melemah tindakan berfikirnya. Maka dari itu bentuk contoh yang lebih baik adalah berupa tindakan kebaikan. Mereka para santri beruntung, salah satunya yaitu perilaku dari seorang kiyai. Kiyai tidak mungkin memberi contoh yang tidak baik. Sebab identitas yang bersemayam di dalam dirinya hanya kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Oleh sebabnya kebanyakan santri memiliki tindakan dan sikap baik yang berasal dari panutan di pondoknya yaitu para kiyainya dan kiyai tersebut turun temurun bersumber dari asal muasal panutan yaitu rosulullah Muhammad SAW.
Pendidikan tidak memandang siapa yang dididik. Tapi siapa yang mau belajar dan berusaha untuk mencari ilmu dimanapun dan kapanpun, maka orang tersebut sudah mengalami proses pendidikan di kesadaran hatinya. Pendidikan tidak memandang satu dari perbedaanya. Perbedaan itu bisa dilihat, dinilai dan dicermati untuk disatukan dalam satu pemahaman konsep nilai kebermanfaatan. Pendidikan dalam islam hanya satu panutannya yaitu Rosululloh SAW, sebab beliau adalah rosul Allah. Kebaikan dan segala proses kearifannya bersumber dari Allah. Sudah sepantasnya kita sebagai manusia wajib membaca Nabi Muhammad, dari sikap, perilaku, kebaikan, berfikir, dan dari segala tindak tanduknya.
Surabaya
05 Oktober 2017
Komentar
Posting Komentar