Langsung ke konten utama

ORIGAMI DEMOKRASI MENANG KALAH

Ketika berbicara mengenai Demokrasi memang tak ada habisnya. Dari prespektif manapun, baik dan salah, semuanya bisa dikendalikan menurut keinginan orang melihatnya. Baik salah merupakan kata nilai yang digunakan merapoti suatu hasil yang sebelumnya sudah dilakukan pengamatan berlanjut. Jangankan baik dan salah, kebenaran bisa salah jika kebenaran tidak pada tempatnya.

Sebaliknya, kesalahan bisa menjadi benar jika kesalahan itu dibutuhkan. Bahkan juga dilihat dari siapa yang membawa kebenaran itu. Contohnya seorang yang mempunyai bawahan, kelompok, umat, dan pengikut. Ketika kebenaran sudah tidak pada tempatnya, akibatnya kesalahan menjadi sesuka hati ditempatkan pada posisi manapun, lebih kejam saat dia mampu menunggangi kebenaran itu sendiri. Di tutup-tutupi oleh tipu daya, seolah-olah membenarkan yang seharusnya tidak perlu adanya pembenaran.

Demokrasi menjadi bagian paling benar dalam menjunjung tinggi tiang keadilan bersosial dan bermasyarakat. Baik di negara, masyarakat, komunitas, kampus dan sebagainya. Wujud subtansial rasa demokrasi paling dalam seringkali tak terlihat, sehingga banyak kesalahan menggunakannya. Tata perilaku demokrasi bisa dilihat menggunakan kaca mata prespektif bercabang dan dari manapun. Cabang itu bersumber dari pancaran demokrasi itu sendiri.

Di antaranya keadilan, moral, ilmu, politik dan segala macam tindakannya. Alhasil demokrasi hanya sebuah nama yang diagung-agungkan, dikerek setinggi mungkin atau bahkan hanya menjadi simbol topeng untuk menutupi wajah yang semula romantis menjadi tambah necis. Sangat menarik untuk dilihat, namun sukar diinterpretasikan.
Demokrasi merupakan keputusan final yang sudah disepakati bersama oleh para begawan-begawan terdahulu.

Keputusan yang menjadi dasar berjalannya sistem pemerintahan di Indonesia, bahkan bukan hanya sistem pemerintahan. Demokrasi pun sudah menjadi legalitas dari nilai-nilai yang terkadnung dalam dasar negara Indonesia. Maka sudah seharusnya setiap insan atau masyarakat yang mendiami negara ini sepatutnya bisa mencerminkan nilai dari Demokrasi terebut.

Ibarat Demokrasi adalah lem lengket yang terus menempel di hati dan jiwa manusia Indonesia. Meskipun kita sendiri terkadang masih belum paham asal mula produk demokrasi dari mana, tapi sejak kecil kita disisipi pengetahuan jika demokrasi berasal dari Yunani kuno, bermula dari abad ke-5 Masehi. Kita mengenal Demokrasi berasal dari dua kata, demos dan kratos, rakyat dan pemerintahan. Dua kata menjadi acuan dasar Demokrasi yang saling berkaitan dan berkomponen menjadi satu tanpa ada batas yang sengaja disembunyikan.

Produk baru yang kita kenal dengan sedikit melupakan bagaimana Pra Demokrasi, di mana didiami oleh sistem kerajaan yang sangat begitu mapan. Bagaimana kuatnya Kalingga, bagaimana besarnya Majapahit, Bagaimana gagahnya Pajang dengan Mas krebetnya, bagaimana beraninya Mataram dengan Panembahan Senopatinya. Sejarah yang semakin hari digerus oleh peradaban moderen, kehilangan sejarah sama saja kehilangan identitas sejati yang dimililki negara ini.

***

Apakah kita betul-betul paham dengan Demokrasi. Saya di sini menulis hanya sekadar ingin menulis. Saya tidak ada unsur politik atau apapun yang sekiranya membuat saya lebih eksis di kampus. Sebagai mahasiswa yang katanya seorang akademik, cendikiawan, ilmuwan dan sebagainya. Bukan berarti kita tidak harus mengingat serta belajar. Kecakapan dalam bertindak harus diiringi dengan kategori simbol yang sudah disemayamkan pada kita. Kampus sebagai bahan pembelajaran yang sangat efisien. Mengingat kita sudah bukan lagi seorang anak kecil. Pikiran-pikiran kita, rasional-rasional kita bertindak terus melangkah ke depan. Harapan-harapan serta kemajuan berjalan untuk menitih masa depan itu lebih baik.

Ibarat negara ada di genggaman. Miniatur kita buat dengan segala bentuk permainannya. Bahan pembelajaran kita yang mengatur dengan segala metodenya. Media-media menjadi pendukung untuk kemjuan negara nanti sepenuhnya ada di tangan, di jari-jari yang terus ingin melakukan suatu perubahan. Tidak jauh jarak yang dihasilkan oleh kampus dengan negara. Hanya butuh rentan waktu untuk melangkah ke sana.

Miniatur merupakan tiruan dari wujud aslinya. Duplikasi yang hampir mirip pelaksanaannya sebelum melangkah ke bentuk wujud sebenarnya. Dengan hal itu seharusnya pembelajaran bisa sangat dimaksimalkan. Akan tetapi jika miniatur semula diisi dengan para penggerak, pendobrak, dan penerus dibuat menjadi hal sepele terus-menerus, dengan kata lain sebagai dalih bahan pembelajaran tapi tanpa mengevaluasi diri sepanjang setelah melakukan sesuatu. Maka realitas asli dari miniatur tersebut selamanya sulit bisa berkembang ke kemajuan. Bisa jadi berhenti stagnan di tempat yang tidak seharusnya.

Demokrasi dijunjung setinggi-tingginya di tiang bendera. Dia sendirian berada di puncak tiang. teman-temannya membiarkannya sendiri sambil dilihat dengan jelas kedua matanya. Dia bisa menjadi ibu untuk anak-anaknya berupa hukum, keadilan, moral, undang-undang dan sebagainya. Antara ibu dan anak merupakan hubungan batin yang terjadi dalam diri manusia. Sedangkan demokrasi dengan jiwa negara dan manusianya adalah hubungan pokok yang saling berkaitan kuat. Mereka tidak bisa diputuskan oleh keadaan apapun.

Ketika demokrasi sudah diputuskan menjadi sikap dasar baik dalam menjalankan sistem pemerintahan. Lebih-lebih di kampus yang menjadi rumah mainan perjuangan mahasiswa.
Kita tidak diperkenankan berdosa jika kurang tahu akan sesuatu hal. Jadi kesalahn-kesalahan yang ditibulkan oleh demokrasi tidak sepenuhnya dosa. Bahkan kita menjadi bingung apakah selamanya dosa itu menjadi produk baru atau dosa penerus dan pengekor. Apakah sebobrok ini peradabannya.

Lalu bagaimana dengan kuatnya Kerajaan Kalingga dengan dipimpin oleh Ratu Sima hingga semua rakyatnya menjadi manusia-manusia jujur. Tidak ada yang namanya pencuri, pembohong bahkan sampai adanya pembunuhan. Ratu Sima merasa dilema. Alhasil suatu ide muncul, dia ingin mengetes rakyatnya dengan menaruh sepeti emas di tengah-tengah pasar. Dibiarkan emas itu sampai berbulan-bulan. Akhirnya emas hilang. Pencuri emas tersebut bukan dari kalangan rakyatnya, melainkan dari anaknya sendiri.

Lantas kepercayaan yang selama ini dipendam-pendam oleh Rtu Sima jatuh terlalu dalam, sampai akhirnya Ratu Sima tetap menghukum anaknya demi menegakkan keadilan yang sudah diucapkan dirinya sendiri. Apakah perlu demokrasi diuji coba seperti itu sampai mengerti mana adil mana yang dzalim. Demokrasi sebisa mungkin mencapai pada titik adil, artinya harus ditempatkan pada tempat semestinya. Manfaatnya nanti Demokrasi akan berperan juga sebagaimana mestinya, tanpa dilebih-lebihkan, dikurangi, dan ditutupi keadilannya. Seperti nyawa dari Demokrasi yang terletak pada rakyat. Rakyat sebagai bendera, sedangkan yang bertugas mengereknya adalah pemerintah beserta perangkat-perangkatnya.

Lalu apa parameter sehingga Demokrasi bisa dikatakan berhasil. Apakah dengan kemenangan seorang ketua atau pemimpin bisa dikatakan kemenangan berdemokrasi, sedangkan apakah kekalahan dengan tidak menjadi pemimpin bisa dikatakan juga kekalahan demokrasi. Lantas apa bedanya Demokrasi dengan ambisi. Sebuah pertanyaan besar, apakah Demokrasi masih berhubungan erat dengan kekalahan dan kemenangan. Lantas apa bedanya Demokrasi dengan pertarungan. Sesempit itu kah makna yang bisa diambil.

Seringkali Demokrasi dibawa oleh beberapa kelompok, di belakang itu ada kebenarannya sendiri-sendiri dengan kesepakatan bahwa ada pembagian kekuasaan yang dibagikannya nanti setelah menang. Sebenarnya ini peradaban penerus atau kita menciptakan peradaban baru. Apakah memang sepert itu arti kelompok dalam kememenangan Demokrasi. Tidak menutup kemungkinan Demokrasi adalah asas berkelompok, siapa menang pasti dari kelompok tersebut terbagi kemenangannya. Lalu apa arti kemenangan jika untuk mengalahkan. Lalu apa arti kekayaan jika hanya untuk memiskinkan yang lain, lalu apa arti kepintaran jika hanya untuk menutupi kelicikan.

***

Apa yang bisa dikatakan sang Mas Karebet ketika mengalahkan Raden Mas Arya Jipang atau Arya Penangsang. Ketika Usaha itu sejatinya tidak hanya dilakukan sendiri olehnya, beliau dibantu oleh kerabat sela, di mana sela adalah gurunya, Ki Ageng Sela. Sedangkan yang menjadi komandan strateginya adalah Ki Pamenahan. Barang siapa bisa mengalahkan Arya Penangsang maka Mas Karebet akan memberi Hutan Mataram. Bahkan ketika beliau sudah menang, maka seluruhnya kerabat Sela akan dijadikannya kadipaten di Kasultanan Pajang.

Selepas menang pun Mas Karebet masih berat melepaskan hutan Mataram ke Ki Pamenahan sebab Mas Karebet tahu jika nanti suatu saat aka muncul sosok seperti dirinya di Hutan Mataram. Kekhawatiran itu muncul karena Mas Karebet tak rela jika Kasultanan Pajang runtuh dan ada sosok orang yang menggantikannya. Meskipun runtuh juga dan digantikan anak angkatnya atau anak kandung dari Ki Pamenahan. Lalu bagaimana dengan Ratu Kalinyamat yang merupakan saudara dari Sultan Prawata, keluarganya dihabisi oleh Arya Penangsang sampai Ratu Kalinyamat bersemedi menyerahkan diri melakukan tapa telanjang di Bukit Drajana.

Kekecewaan yang diakibatkan oleh balas dendam dan rakusnya Arya Penangsang ingin menjadi penguasa Kasultanan Demak membuat dirinya sendiri hancur dikalahkan oleh anak kecil bernama Jebeng Sutawijaya, anak angkat dari Mas Karebet. Sejatinya kemenangan adalah mengalahkan dan menyingkirkan semuanya. Mempertahankan dan saling takut untuk mengalah Apa yang bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan jika persaingan dalam demokrasi saat ini tidak bisa dijadikan acuan untuk berpikir sehat. Persaingan di mana-mana, jargon kememangan seakan-akan dijual murah demi memenuhi harapan. Kenyataan yang sudah biasa terjadi. Lantas bagaimana letak perjuangan dalam demokrasi. Letak pemimpin mengayomi seluruh rakyatnya. Semakin di atas terkadang melihat ke bawah semakin kecil, padahal yang kecil melihat ke atas sebenarnya sama-sama kecil. Perbedaan hanya terletak di dimensi tempatnya saja.

***

Pemimpin adalah puncak tertinggi dari seseorang untuk berani memerintah. Dia punya kelas di atas anak buahnya. Sebuah tanggung jawab serta bahan untuk belajarnya lebih besar. Ada beberapa indikator pemimpin itu bisa diciptakan. Bisa karena pemimpin itu dikader sebelumnya dan memang sengaja dijadikan sebagai pemimpin kedepannya, atau bisa juga pemimpin tercipta dari suatu keadaan di mana dia tidak bisa menolak, maka mau tidak mau dia harus bisa jadi pemimpin. Ada lagi pemimpin terbentuk dari proses alam, dan mengikuti pelatihan-pelatihan kepemimpinan sebagai bekal agar dia mampu memanajemen dirinya dengan baik.

Saya menulis ini pun sebagai pemimpin. Pemimpin untuk diri sendiri, pikiran, dan alat yang saya gunakan untuk menulis. Keeksistensian diri sangat berpengaruh soal pemimpin. Bahkan demokrasi bisa dikatakan wujud dari eksistensi seseorang untuk memenangkan ambisi kekuasaannya. Aplikasi dari demokrasi adalah keterbukaan dan musyawarah bersama. Itu yang menjadi dua perahu di atas aliran sungai yang bernama rakyat dan pemerintah.

Batas antara rakyat dan pemerintah harus bisa dijelaskan sejelas mungkin karena di antara mereka wajib tidak ada senggang. Sehingga segala ketertutupan harus bisa dibuka agar kebutuhan bisa saling mengerti. Origami itu jangan dilipat terus menerus, apalagi di tiap sudut sisinya. Biarkan dia membuka dengan bermacam-macam warna yang menjadikannya lebih bisa belajar berpikir mengambil keputusan arif dan bijaksana.

Saya menulis bukan sebagai seorang mahasiswa akademik ataupun organisatoris atau apapun yang melekat dalam diri mahasiswa hingga menjadikannya hal tersebut seolah menunjukkan eksistensinya. Saya hanya mahasiswa biasa dan tak pintar juga. Saya hanya ingin sekadar menulis apapun yang sekiranya ingin saya tulis. Perihal salah ataupun benar, itu bukan masalah, kembali ke diri kita masing-masing. Baca saja, andai ada yang salah, tolong betulkan sendiri di hati dan jiwa kalian. Kalau memang ada yang benar, mari sama-sama bersyukur.


Surabaya, 18 Februari 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...