Langsung ke konten utama

MANUSIA RADIKAL DAN INTOLERAN

Kejadian tragedi Bom Surabaya kemarin sangat membuat sok para rakyat Indonesia, khususnya warga Kota Surabaya. Dengan adanya kepanikan tersebut tidak semata-mata hanya sebagai tindakan reflek yang lumrah terjadi. Akan tetapi berkat adanya kepanikan tersebut bisa membuat kami sebagai mahasiswa pergerakan turut andil dalam menilai, menemukan, dan menganalisis serta memilah-milah seluk beluk secara subtansial tragedi Bom tersebut.

Berpikir secara subtansial berarti pemahaman kita sebagai kaum pergerakan jangan hanya sebatas cara pandang lewat permukaan, tapi di dalam permukaan masih ada inti yang mendominasi suatu masalah bisa terjadi, bahkan di dalam inti ada struktur inti yang membentuk cabang-cabang secara rapi dan tersusun dengan samar-samar agar orang hanya bisa menitik beratkan fokus cara pandangnya pada sisi yang terdapat di permukaannya.

Moment ini sangat tepat jika dibuat kajian untuk bagaimana mendalami dan menyikapi masalah ini. PMII Rayon Sahabat Komisariat Unesa berusaha mengadakan diskusi dengan mengambil inti fokus dari tragedi tersebut yaitu Intoleran, Radikalisme, dan Terorisme yang menciderai HAM.
Kata intoleran, radikalisme dan teorisme adalah satu hubungan prinsip ideologi manusia yang ditanamkan secara penuh pada tata cara bertindak, bersikap, dan bersosialisasi kepada manusia lainnya. Tetapi dari ketiga kata subtansial tersebut sangat lebih banyak menciderai dan menyimpang dari segi sifat kemanusiaannya. Degradasi rasa sayang kepada manusia semakin hari semakin hilang. Sesama manusia saling membunuh, saling meneror serta mengancam satu sama lain.

Padahal manusia hidup adalah untuk mencari rasa aman, dan sesungguhnya yang menciptakan rasa aman itu adalah manusianya sendiri, jika manusia tidak bisa memberi rasa aman kepada manusia lain, maka mustahil rasa aman itu dapat tercipta. Akibatnya kita akan selalu dihantui oleh rasa takut yang berkepanjangan, yang disebabkan oleh manusia itu sendiri.
 Penempatan suatu idiom apapun, baik itu bahasa atau materi, merupakan sangat penting jika dilihat penempatannya.

Umpamanya Intoleran dan radikalisme. Apakah semua intoleran dan radikalisme itu bersifat negatif. Apakah orang salah jika berpikir secara radikal. Jika melihat secara bahasa, radikal berasal dari kata Radik, yang berarti mengakar, menyeluruh. Salahkah orang apabila berpikir seperti itu. Bukannya suatu ilmu akan bisa ditelaah secara mendalam jika dianalisis secara radikal, fundamental, dan universal. Maka sekali lagi penempatan suatu bahasa itu bisa memengaruhi makna dari bahasa itu sendiri.

Dengan adanya tragedi Bom kemarin ada yang disayangkan mengenai kendali sikap di berbagai elemen masyarakat. Semua masyarakat bersepaham bersama-sama menolak radikalisme. Institusi, lembaga-lembaga bersepakat yakin menolak radikalisme. Padahal itu hanya salah penempatan tindakan, bukan bahasanya yang salah. Radikalisme seperti apa yang salah juga harus dijelaskan. Radikalisme yang bersifat teror, kekerasan atau bagaimana.

Rakyat Indonesia semakin miskin makna. Sehari-hari kita ditempatkan pada posisi cara berpikir yang cetek, ciut, dan cekak. Alhasil sampai kapanpun kita tidak ada bimbingan umum untuk berpikir secara rasional dan berpikir meluas. Seharusnya media ini sebagai pilar karena relatifitas tontonan rakyat lebih condong ke media, apapun, baik cetak, televisi atau online.

Radikalis dan intoleran tidak bisa berdiri sendiri, sama halnya dengan kalian tidak bisa berbicara kalau “Babi itu haram” Memang babi itu haram, tapi kalian tidak bisa berbicara haram begitu saja. Haram dalam artian dipelihara atau dimakan. Kalau dipelihara jelas tidak apa-apa, kalau dimakan baru kalian bisa ngomong haram. Itulah yang dinamakan ketepatan bahasa pada tempat dan waktunya.

Jika tuduhan intoleran dan radikal di limpahkan tanpa berpikir sebab akibatnya, maka yang terjadi hanya ada pertengkaran membodohkan dan memalukan yang terjadi dalam lingkungan manusia. Seakan-akan pertengkaran itu bukan terjadi pada daerah manusia, bahkan para jin dan setan pun tidak sebodoh itu.
Apabila kita sebagai manusia ditekan terus menerus, apakah kita tidak boleh bersikap radikal. Radikal memang bahaya, tapi ketika dibutuhkan radikal justru setidaknya harus ditunjukkan. Contohnya ketika masa reformasi, suatu rezim Soeharto yang sulit untuk diruntuhkan.

Apakah mahasiswa harus bersikap lemah lembut dan diam. Buktinya dengan sikap radikalnya para mahasiswa melawan sistem akhirnya kepemerintahan soeharto pun bisa diruntuhkan dengan perlahan-lahan.
Setiap manusia pasti berpeluang menjadi radikal. Setiap radikalisme tentu ada indikator sebab akibat orang itu bisa dikatakan radikal. Radikal dan intoleran tentunya tidak bisa berdiri sendiri. Ada sebab dibalik itu semua. Bergantung pemahaman dan keyakinan masing-masing manusia. Apapun itu ketika suatu “isme” sudah tertancap berakar-akar di dalam diri manusianya, maka isme tersebut cenderung memengaruhi setiap tindakan, dan cara berpikir manusia.


Selasa 5 Juni 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...