Langsung ke konten utama

KIDS ZAMAN NOW TIDAK UNTUK DIBENTENGI KEBERADANNYA, TAPI HARUS DIPELAJARI SEBAGAI DIMENSI EKSISTENSINYA

Zaman memang tak selamnya sama, kalau presepsi zaman dipersamakan, zaman tidak akan pernah mengalami perubahan. Padahal zaman butuh sekali namanya perubahan. Titik tonggak keberhasilan zaman adalah bisa mengubah gejala-gejala pada sebelumnya untuk menjadi objek perubahan lebih baik. akan tetapi kadang kalah perubahan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kebanyakan orang. Salah satu kekalahan itu bisa terjadi karena sarana prasarana yang disediakan di zamannya kurang mumpuni, kalau sarana prasarana tidak terpenuhi, secara otomatis tingkat kemampuan individu pada zaman tersebut tidak mengalami perubahan dari yang sebelumnya. Antara kemampuan jelas berkorelasi dengan kebutuhan untuk menunjang berkembangnya kemampuan yang dimiliki manusia.

Saat ini banyak orang mengatakan kalau sekarang adalah zaman millenial. Zaman ini termasuk zaman yang istimewa. Semua alat informasi atau alat apapun yang bertujuan untuk mempermudah kebutuhan manusia sudah terakses secara lancar. Entah orang-orang di zaman millenial ini sudah siap atau belum menghadapinya. Artinya, dengan perpindahan atau transisi zaman sebelumnya ke zaman yang namanya millenial, tentunya sangat dibutuhkan sebuah adaptasi yang signifikan. Bukan hanya sekadar tahu, tapi harus bisa memahami. Tidak hanya memahami, tapi harus bisa mencobanya. Selain zaman millenial, muncul lagi zaman yang terbentuk di era saat ini,  yaitu kids zaman now dan generasi micin. Bukan hal baru kalau Indonesia punya banyak kosa kata dalam menafsirkan bahasa budayanya. Istilah-istilah tersebut lahir karena unsur budaya yang berdasarkan penilaian di kalangan para penghuni bangsa.

Kebanyakan istilah tersebut ditujukan untuk anak yang kurang bisa memahami sesuatu, dengan kata lain kurang cerdas dalam mengolah sesuatu yang dianggap baru. Kalau berbicara mengenai anak kurang pintar jelas dia ada sebab musabab yang bisa membuat anak tersebut menjadi kurang cerdas. Lagi-lagi anak seperti itu menjadi korban budaya, seharusnya kan dia butuh perhatian. Lebih-lebih inovasi bimbingan dan pelatihan. Orang hanya bisa mengejek tapi tidak bisa membantu. Bisa mengkritik, tapi tidak mempunyai jalan keluar. Sebenarnya yang dikatakan kids zaman now itu adalah orang yang berkata atau orang yang dikatai. Yang jelas ada keterlibatan antara generasi terdahulu dengan sekarang.  Survei membuktikan bahwasanya semakin berkembangnya zaman, tingkat kerugian orang semkin bertambah. Seharusnya tidak perlu saling mengejek, mungkin harus bisa menyadari diri sendiri-sendiri untuk kemajuan dirinya dan generasi orang banyak.

Tidak ada yang salah dengan kids zaman now, saya sebagai orang yang lahir di era tersebut marah jika ada orang yang beranggapan kalau kids zaman now itu julukan yang jelek. Memang saya anak zaman sekarang, bukan anak zaman dulu. Saya juga menyadari, tidak akan ada sekarang kalau tidak ada dulu. Jadi antara dulu dan sekarang itu menjadi sebuah hubungan timbal balik diantara keduanya. Bisa saja kids zaman now adalah akibat yang ditimbulkan oleh kids zaman old, atau generasi tua. Kalau sepenuhnya disalahkan ke kids zaman now, saya kurang berterima dengan paham seperti itu.

Di sisi lain kids zaman now ada juga yang namanya generasi micin. Jika diteliti mengenai bahasanya, generasi adalah sesuatu yang sudah tersistem secara turun temurun dari dulu hingga sekarang. Tidak mungkin generasi hanya berhenti seketika ke generasi selanjutnya, kalau sekarang dikatakan generasi micin, lantas dulu generasi apa, mungkin itu yang menjadi pertanyaan selama ini. Kalau dikatakan generasi micin, berarti dulu juga ada peran sebagaimana mestinya sekarang di generasi micin. Saya bisa mengatakan di sebuah generasi ada kaum tua dan kaum muda, Jika memungkinkan sekarang atau kaum muda dijuluki nama generasi menjadi generasi micin, lalu yang menjadi klarifikasi juga, dulu apa peran generasi tua untuk menjadikan kita generasi muda ini menjadi generasi micin.

Dalam sebuah regenerasi, kaum tua sangat berperan penting untuk menumbuh kembangkan generasi ke selanjutnya. Sebab ada timbal balik diantara keduanya. Apakah kaum tua gagal menjadikan kita selalu berkembang sesuai kebutuhan yang diperlukan. Ataukah generasi micin salah satu lemahnya antisispasi kita memasuki era kids zaman now saat ini. Bisa juga generasi micin adalah upaya untuk saling menyalah demi menutupi ketidaktahuan sistem yang berkembang pada masa ini. Itu semua bisa menjadi pertanyaan besar dan harus kita cari bersama-sama dengan segala kelemahan yang ada.

Banyak sekali gambar-gambar di pinggir jalan, bahkan acara-acara besar di suatu organisasi yang saya jumpai, mereka justru menyalahkan kids zaman now. Entah mereka memahami kids zaman now seperti apa. Seperti contohnya pada tema sebuah acara di organisasi “Bagaimana upaya untuk membentengi diri dari kids zaman now”, kalimat tersebut jelas mengalami kontradiksi yang cukup terlihat. Kids zaman now itu sekarang, tidak diperjelas juga, kids zaman now anggapan mereka seperti apa. kalau mereka membentengi, secara otomatis mereka menolak kedatangan era yang namanya kids zaman now. Padahal kids zaman now tidak bisa dielakkan, memang secara nama dibuat oleh oknum masyarakat, tapi secara tidak langsung kita harus bisa menyadari, sekarang itu ya kita kids zaman now. Kalau membentengi, berarti jangan hidup di zaman sekarang, hiduplah di zaman dahulu.

Kids zaman now itu adalah sebuah idiom sifat, timbulnya dari kultur etika sosial masyarakat. Yang harus dibentengi adalah sifatnya, bukan menolak zamannya. Zaman tidak bisa ditolak, generasi tidak bisa ditolak. Jika memang kita sudah memasuki suatu zaman seperti apapun, hal yang paling harus dilakukan adalah belajar, bukan saling menyalahkan. Kita harus bisa menetralisir segala bentuk resiko-resiko yang memungkinkan bisa menjerumuskan kita ke hal yang lebih negatif. Jadikan kids zaman now adalah sebuah dialektika kehidupan, jika tidak ada kids zaman now, para generasi micin tidak mungkin bisa belajar bagaimana untuk menjadi lebih baik. karena dialektika adalah suatu bahan yang digunakan dalam perubahan.

Tanpa dialektika dan persinggungan, perubahan untuk menjadi lebih baik akan menjadi sulit. Sebab tidak ada bahan pembelajaran yang harus kita hadapi. Semakin mudah lawan kita, maka semakin sulit perubahan yang kita dapatkan, akan tetapi jika lawan yang kita hadapi semakin sulit dan menjadi deret ukur berkembang kesulitannya, maka kesulitan itu bisa menjadi pembelajaran yang lebih komprehensif untuk menjadi lebih baik.

Eksistensi suatu masalah adalah sikap kita sebagai pelaku yang harus bijak mengambil garis merahnya. Keadaan akan berubah jika pelakunya bisa belajar memahami konteks dari eksistensi tersebut. Eksistensi bukan alat untuk saling menghindar, tapi eksistensi butuh ilmu pengetahuan yang kompeten, inovasi, serta kreatif, dan kalau kita menyadari, kompeten memiliki hubungan kuat dengan perkembangan zaman. Setiap perkembangan zaman, kompetensi selalu menyelaraskan kebutuhan di belakangnya. Kompetensi adalah kemampuan yang harus bisa berkembang dan berderet ukur.

Eksistensi tidak bisa dibiarkan begitu saja, perlu adanya kajian-kajian dari sudut pandang mengenai apa yang dieksistensikan. Kebanyakan eksistensi justru dibuat-buat atau memang sengaja dimunculkan supaya pelaku yang dikenai masalah tersebut bisa belajar, berkembang dan berinovasi. Sedangkan pelaku yang memunculkan eksistensi, memang menguji batas kemampuan dalam menghadapi hal tersebut. Siapa yang tidak bisa memahami dirinya sendiri, kelemahannya sendiri, maka kita akan terus menerus tertinggal dibelakang. Kita hanya bisa mengejar.

Bukan menjadi penyongsong. Sedangkan yang dikejar tidak pernah mengalami kelelahan. Justru kita semakin mengejar dan terus mengejar, kita sendiri yang kelelahan. Mari sadarkan untuk mengerti eksistensi diri kita dan kompetensi sesuai dengan kemampuan kita. Kalau orang sudah mengalami masa-masa kelemahannya, maka untuk mengeksistensikan kompetensinya cukup mudah, tidak menutup kemungkinan kelemahan itu akan menjadi kelebihan.

Karena micin tidak selamanya merusak, orang bilang micin membodohkan, tapi terkadang mereka masih membutuhkannya. Orang tidak bisa menilai dari segi paradok suatu objek yang digunakan. Tidak selama-lamanya micin menjadi micin, jika micin bisa mengerti dirinya micin, maka dia akan tetap konsisten dengan keutuhan untuk berdaulat menjadi dirinya sendiri. Sebab micin berbeda dengan gula, micin berbeda dengan garam, yang dia tahu adalah micin hanya bisa menjadi dirinya yaitu seorang micin. Tidak pernah menengok ke gula dan garam, karena dia mengerti, dari ke tiga unsur tersebut saling melengkapi dan memberikan rasa kompleks ke suatu zat makanan.


Surabaya, 12 Desember 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...