Langsung ke konten utama

IDENTITAS MAHASISWA BARU MEMBAWA PERUBAHAN BARU

Sebagian orang, ada yang mengatakan jika pada masa transisi merupakan masa yang ditunggu-tunggu. Selain itu, ada juga beberapa orang menjadi sedikit takut dengan kekhawatirannya ketika ia sedang memasuki lingkungan baru. Coba kita flashback agak jauh ke belakang. Pada saat kita anak-anak, saya ambil contoh ketika kita naik kelas satu SMP yang semula dari kelas enam SD. Betapa bahagianya ketika kita pertama kali masuk sekolah. Kalau zaman dulu mungkin sampai rebutan bangku depan sambil dibantu oleh orang tua masing-masing. Mereka percaya duduk di bangku depan bisa lebih membantu tingkat pemahaman anak menjadi lebih tinggi karena mereka langsung menghadap guru dan papan kelas, sedangkan yang belakang harus berusaha dulu agar bisa melihat gurunya. Apalagi ketika menghadapi guru yang volume suaranya kurang keras, mau tidak mau mereka harus sebisa mungkin berusaha agar dengar suara guru serta melihatnya. Itu yang mau mendengarkan, sedangkan yang tidak mau mendengarkan, bisa jadi mereka sudah malas dan akhirnya tidur di belakang.

Peristiwa simbolis yang kerap kali terjadi, artinya setiap orang yang memasuki keadaan baru dengan suasana baru, sudah pasti ada saja penyesuaian yang mereka lakukan. Contohnya lagi seperti ini, tipe-tipe orang survive biasanya mereka yang pemberani di segala bidang, mencoba hal baru yang menantang. Mayoritas dari mereka biasanya tanpa batas, maksudnya langsung terjun ke medan tanpa mencari tahu secara detail bagaimana analisis kondisi lingkungannya. Ada lagi orang yang tipenya agak ragu atau bisa dikatakan sedikit takut. Mereka biasanya melakukan pemikiran lama. Jangkah pendek dan jangkah panjang selalu menjadi pertimbangan. Ibarat mau perang, mereka biasanya harus meneliti dulu bagaimana kondisi medan perang secara lengkap. Dari prajurit musuh, luas area peperangan, bahkan sampai senjata apa saja yang digunakan musuh saat berperang. Tidak salah, tujuannya agar mereka bisa memiliki strategi yang lebih matang sekaligus lebih sangat sigap untuk mengalahkan musuhnya. Bisa dikatakan mereka orang teliti. Tapi ciri pertama juga tidak kalah bagus, semua ada kadar baik-buruknya di lapangan praktiknya.

Ada banyak simbol-simbol, tanda atau bahkan penyikapan dari masing-masing orang. Jika dilihat dari perspektif mahasiswa baru, mereka punya ciri khas tersendiri. Seperti yang sudah saya ungkapkan di awal tadi dengan beberapa ciri-ciri. Ada mahasiswa baru yang sampai takutnya mereka mencari pengetahuan sebanyak-banyaknya untuk menghadapi kegiatan PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru), entah itu browsing-browsing atau sampai bertanya-tanya pada kakak, teman, dan bahkan saudaranya. Ada juga yang berpikiran jika semakin banyak bertanya justru ia semakin takut memasuki gerbang awal perkuliahaan. Karena budayanya orang bercerita ada yang ditambah dan dikurangi. Jika dilihat dari kebiasaan, pada umumnya seperti itu.

Kita lihat lebih jauh lagi, dengan adanya judul penerbitan kali ini yang ke-206, mahasiswa dimaknai sebagai harapan baru. Mereka membawa pemaknaan masing-masing, tujuan dan target baru. Diupayakan agar harapan-harapan tersebut kian berkembang. Tidak hanya berhenti pada harapan masuk di Unesa lalu selesai, namun keberlanjutan itu yang sangat dibutuhkan. Segala macam proses yang ada, bukan hanya mahasiswa baru, tapi kita yang terhitung sebagai mahasiswa setidaknya jangan lupa menjadikan suatu inovasi perkembangan, terutama dalam diri kita sendiri menjadi sebuah harapan. Memang bersifat imajinatif atau sekadar bayang-bayang. Akan tetapi harapan harus selaras dengan perjuangan serta semangat belajar terus menerus.

Kalau kebanyakan sekarang mahasiswa akan lebih bangga ketika ia diterima di Perguruan Tinggi Negeri yang terbilang bonafide secara kualitas pendidikannya. Di sisi lain, pemikiran tersebutlah yang membuat kita semakin nyaman oleh keadaan. Jangan lupa, perjuangan dimulai tidak dengan kenyamanan, tapi dimulai dari tekanan, himpitan, keterpurukan, dan evaluasi mendalam. Dengan hal itu orang akan merasa menilai dirinya sendiri dan langsung sesegera mungkin melakukan perubahan, minimal perubahan untuk kembali pada masing-masing individunya.

Harapan ada di pundak mahasiswa. Identitas Unesa lah yang selalu kita bawa ke mana pun kita berproses. Nama baik dan citra seakan-akan sudah mendarah daging pada tiap kaki kita melangkah. Bukan kita sendiri yang melihat. Representasi serta pengaplikasiannya harus pada kebermanfaatan orang banyak. Oleh karena itu, orang lain sulit menilai diri manusia sebagai individu yang berdiri sendiri. Ketika sikap kita sudah dinilai seseorang, entah secara komunal masyarakat atau individu masyarakat itu sendiri, pasti ada benang merah yang menghubungkannya sampai pada identitas yang kita pegang.

Jika membahas harapan baru dan mahasiswa baru, dalam hal ini gambaran umum pasti merujuk pada regenerasi. Setiap generasi yang keluar dari wilayah ia berkembang, di waktu lain pasti ada generasi pendatang yang meneruskannya. Beda umur beda karakter, beda waktunya sudah jelas beda perkembangannya. Kalian para mahasiswa baru ciptakan generasi yang solid dan integritas agar menjadi generasi utuh yang mampu berkembang memenuhi segala tuntutan zaman. Bentuk karakter baru yang berkualitas. Sebab generasi pendatang akan lebih banyak belajar ke generasi sebelumnya. Belajar dari kegagalan, keburukan sampai pada keterpurukan. Bawa semua identitas yang melekat pada diri kalian, bawa ia ke jalan menuju tempatmu untuk berguna bagi orang lain. Berguna untuk merubah dari yang semula buruk menjadi baik.


Salam Mahasiswa!!!
Salam Persma!!!


Probolinggo,13 Agustus 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...