Langsung ke konten utama

Balada Mahasiswa Organisatoris atau Akademis


(Ahmad Baharuddin Surya)
Pimpinan Redaktur Lembaga Pers Kampus Gema Unesa

-
Jika melirik dari tema yang diusung pada malam hari ini “Balada Mahasiswa Organisatoris atau Akademisi” tentu di sepanjang perjalanan diskusi, pasti akan banyak sekali ditemukan energi-energi baru, pengetahuan baru serta pengalaman duduk bersama membicarakan gambaran pengetahuan yang idealnya sangat cocok kalian dapatkan untuk para mahasiswa baru Unesa. Kalau melihat lebih jauh lagi pada tema, di sana ada dua tawaran yang diusung sekaligus dibahas, yaitu organisatoris atau akademisi. Ketika ada dua tawaran yang dirasa cukup menarik, pasti kalian bingung memilih di antara keduanya. Maka dari itu, di diskusi ini kalian dicoba diarahkan bagaimana seharusnya menjadi seorang mahasiswa. Cara pandang mengenai mahasiswa kalian akan dibuka, diperlebar, dan dipertajam.

Tidak perlu mencari referensi terlalu muluk-muluk. Kita ambil saja saat kalian para mahasiswa baru melaksanakan kegiatan PKKMB (Pengenalan Kehidupan Mahasiswa Baru) kemarin. Tentunya kalian tidak asing dengan doktrin-doktrin yang dilakukan oleh komdis tentang peran serta letak posisi mahasiswa di mana. Ada control sosial, iron stock, kemudian agent of change dan lain sebagainya. Dari ketiga peran tersebut jika mau diambil dari segi subtansial, kalian bisa lihat banyak sekali aspek peran itu yang berbicara di wilayah sosial. Mengapa sosial? Apa yang dimaksud dengan wilayah sosial? Yang pasti pada saat berbicara bab soaial, maka cara pandang awal harus dikaitkan dengan orang banyak atau kepentingan orang banyak. Di situ mahasiswa harus bisa belajar mengambil peran. Saya tidak terlalu mejabarkan satu persatu definisi dan etimologi dari ketiga peran di atas. Tanpa dijabarkan, kalian pasti sudah mencari tahu lebih awal tentang apapun yang menyangkut mahasiswa. Di PKKMB kalian juga sudah digodok matang-matang oleh para panitia terutama komdis.

Mahasiswa tidak boleh lepas dari tanggung jawab sosial. Lingkungan sosial merupakan lingkungan yang tidak bisa berdiri sendiri dengan hanya satu individu, mereka berkumpul menjadi sebuah kelompok-kelompok, entah kecil ataupun besar. Perlu disadari juga kalian sebagai mahasiswa adalah produk dari lingkungan sosial. Ibaratnya kalian adalah sosok-sosok yang sejenak muncul dari lingkungan sosial untuk menimba ilmu di perkuliahan lalu pada akhirnya mau tidak mau kalian harus wajib kembali ke lingkungan sosial masing-masing. Tujuannya apa? Kita coba gambar pengetahuan baru dengan analogi yang sederhana. Mahasiswa bisa dikatakan para pemuda yang sedang mendaki gunung. Di sana kalian menimba ilmu apapun yang akan kalian serap. Kalian selamanya tidak berada di atas gunung, sesekali harus turun gunung agar orang-orang yang berada di kaki gunung bisa merasakan implementasi dari ilmu yang sudah kalian pelajari. Ibaratnya lagi adalah kalian berasal dari tanah dan mau tidak mau harus kembali ke tanah. Seperti itu kalau cara agak kasarnya.

Oleh karena itu tujuan mahasiswa sebagai agen perubahan letaknya di sana, di mana tempat kalian tinggal, di situ kalian harus bisa mengambil peran dan melakukan perubahan. Setiap manusia yang diberi kesempatan untuk berproses, sudah seharusnya ia wajib melakukan perubahan untuk menjadi lebih baik. Boleh saja kalian berpikir radikal, universal, dan revolusioner, namun hal yang harus diingat adalah batas kita untuk melakukan perubahan. Artinya, kita mahasiswa berada pada lapis ketiga dalam struktur sosial. Kita dekat sekali dengan rakyat, dengan masyarakat. Jangan sampai dzalim kepada mereka, mereka yang harus kita perjuangkan. Mengayomi, membackup satu sama lain. Jika di antara mereka masih ada kebenaran yang harus ditutupi, maka kita yang harus bisa membukanya. Jika ada kejahatan yang mengancam mereka, maka kita yang harus bisa menemani agar mereka merasa punya teman seperjuangan. Sebab tanggung jawab mahasiswa bukan hanya dibidang akademik, namun di sisi lain kita tidak boleh melupakan tanggung jawab sosial yang ada di pundak kita. Siapa yang membela mereka kalau bukan kita, siapa yang bisa menemani mereka kalau bukan kita. Banyak sekali bukti yang sudah tercantum, di anntaranya tragedi 98, trisakti, malari dan sebagainya. Siapa yang terlibat langsung di sana, tentu bukan kaum tua, tapi para pemuda yang bersimbol mahasiswa yang duduk di bangku perkuliahan.

Ada hal yang perlu diingat, contohnya begini, jangan sampai kita mempunyai pemikiran seperti ini, mahasiswa pertanian lebih ahli dari pada orang yang setiap pagi membawa cangkul bertani di sawah. Kemudian mahasiswa kelautan merasa lebih ahli dari pada orang yang setiap harinya berlayar menggunakan perahu mencari ikan di laut. Jangan sampai ketika sudah merasa berilmu lalu saat kembali kalian merasa sudah ahli dan menyalahkan semuanya. Kalau kita hanya sebatas mengerti di masa perkuliahan dan ditambah lagi mendengar informasi dari teori-teori pada umumnya, secara tidak langsung yang kalian pahami selama ini hanya mencangkup dalam bidang pengetahuan. Pengetahuan akan selamanya menjadi pengetahuan apabila ia merasa berhenti stagnan tanpa adanya tindakan. Justru dengan adanya tindakan perubahan itu lah, pengetahuan akan dengan mudah menjadi ilmu karena kita sudah melakukannya.

Kembali lagi ke tema, cara berpikir sederhananya adalah, hubungan antara organisatoris dengan akademik meruapakan sebuah tali panjang yang tidak ada ujungnya. Mereka terus selalu bersamaan dengan seiring berjalannya proses pembelajaran. Bumi perkuliahan adalah bumi manusia dengan segala percobannya. Kalian bebas bereksperimen ke sana ke mari. Mencoba hal-hal baru di dalamnya. Bumi perkuliahan juga merupakan bumi pembelajaran bagi kalian. Kesempatan tidak datang dua kali. Kalian adalah insan-insan yang bisa berkesempatan mecicipi proses dunia perkuliahan. Di luar sana banyak sekali teman-teman kalian yang ingin berkuliah tapi tidak bisa. Ada yang kurang biaya, ada yang sudah malas belajar lagi, dan alasan-alasan lainnya. Tidak perlu bingung memikirkan akademik atau organisasi. Ketika kalian sudah disimbolkan menjadi mahasiswa, maka secara langsung kalian sudah menjadi manusia-manusia berakademik, berintelektual, berwawasan luas dan sebagainya. Sedangkan organisasi untuk apa? Organisasi gunanya sebagai media atau alat yang digunakan untuk menunjang itu semua. Caranya adalah kalian bisa mencari pengalaman lebih di organisasi.

Pengalaman tidak datang sekian kali, ia perlu dijemput seperti hidayah. Tidak ada namanya pengalaman yang menjemput kalian. Tapi dengan pengalaman itulah kalian sebagai mahasiswa baru bisa menjadi lebih paham hakikat mahasiswa, subtansi, atau pemahaman inti dari mahasiswa itu seperti apa. Secara identitas kalian ke mana-mana sudah sangat jelas membawa idiom mahasiswa yang harus tahu segalanya sesuai tuntutan zaman, sesuai era yang saat ini terus semakin berkembang. Antara perilaku, sikap, dan etika harus selaras dengan identitas yang diemban oleh masing-masing individu. Apalagi era saat ini, generasi milenial dengan diikuti oleh revolusi industri 4.0. Sudah kewajiban sebagai pemuda mengambil banyak peran untuk perubahan yang signifikan. Kita akhir-akhir ini sedang mengejar kereta cepat, kaki kita selalu dituntut kuat supaya bisa lari terus menerus. Jangan hanya menjadi konsumen zaman, tapi kita harus terus berusaha sebagaimana mungkin agar diri kita sendiri yang menciptakan perubahan inovasi baru di bidang apapun sesuai keahlian kita masing-masing.

Jadi balada adalah bentuk representasi kegelisahan sebab tidak bisa memilih karena bentuk pemahaman yang kurang serta penilaian yang tidak sejalan dengan langkah ke depan. Sudah banyak mahasiswa berprestasi di organisasi. Karena di organisasi kalian akan dibenturkan berkali-kali lalu dibentuk menjadi pribadi yang lebih baik. Prestasi tidak bisa beridiri sendiri. Di belakang itu ada banyak sokongan dari relasi-relasi yang kita punya. Berproses pun harus punya wadah, mengembangkan minat juga pun harus punya lingkungan yang memadahi. Di mana lagi kalau bukan di organisasi. Dan di organisasi lah kalian akan dibentuk menjadi mahasiswa unggul di bidang kalian masing-masing. Kalian akan paham bagaimana menjadi mahasiswa yang seutuhnya.

Salam Pergerakan...!!!!!




Probolinggo, 20 Agustus 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...