Langsung ke konten utama

AKTUALISASI NILAI DASAR PERGERAKAN DI ZAMAN MODERN UNTUK PMII UNESA YANG BERKEMAJUAN

Secara tidak langsung, saya terinspirasi mengenai tema yang diambil kemarin dalam pelantikan pengurus Komisariat dan pengurus dari tiga Rayon yang dinaunginya. Menurut saya, tema tersebut merupakan landasan berkembangnya PMII Unesa. Ada beberapa hubungan mengenai tema tersebut, salah satunya yaitu hubungan aktualisasi dengan pergerakan. Yang namanya bergerak pasti melakukan tindakan atau bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Bisa juga diartikan mengenai perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lebih baik. Diam dan bergerak jelas mempunyai perbedaan yang signifikan. Siapa yang bergerak dia yang terlihat. Siapa yang terlihat dia pasti ada.

Hubungan ada dan tiada ini masuk dalam indikator mengenai aktualisasi, aktualisasi merupakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada karena diada-adakan. Berbeda mengenai eksistensi, eksistensi muncul setelah aktualisasi. Jika aktualisasi sudah mantap untuk diwujudkan, baru eksistensi yang harus bisa dilaksanakan. Eksistensi tentunya bukan hanya eksistensi semata, eksistensi butuh kompetensi yang dilandaskan berdasarkan dasar-dasar PMII yaitu Alusunnah Waljama’ah, semboyan-semboyan yang dianut selama ini yaitu dzikir, fikir dan amal sholeh serta semua tujuan-tujuan yang sudah dirumuskan sejak awal oleh keputusan bersama.

Jadi PMII Unesa harus terus berusaha untuk berkembang menunjukkan aktualisasinya di kalangan para mahasiswa lainnya. Kalau masih terus berusaha berarti ada semacam hambatan yang sulit untuk diterjal dalam mewujudkan eksistensinya. PMII sudah besar, mungkin semua orang tahu apa itu PMII, bagaimana PMII, siapa PMII. Nama PMII melekat dalam jiwa dan karakter tiap-tiap anggotanya. Siapa anggota PMII, dia yang membawa nama PMII. Kalau berbicara mengenai eksistensi PMII, PMII sebenarnya bukan hanya mengaktualisasikan dirinya, tapi dia sudah menunjukkan eksistensinya di kalangan mahasiswa. Sedangkan yang menghambat perkembangan dan pertumbuhan PMII justru dari anggota PMII sendiri yang kurang berani untuk menunjukkan secara lantang kalau saya ini PMII. Bayangkan, kalau semua anggota PMII yang berjumah ratusan di Unesa mampu menunjukkan dirinya PMII, tanpa takut tidak mendapatkan SIPENA, tanpa takut tidak mendapatkan kursi di Ormawa.

Mungkin bayangan saya PMII akan melesit ke depan dengan kedaulatan berfikirnya, dengan kedaulatan jati dirinya secara utuh tanpa menjadikan anggotanya menjadi orang lain yang tidak sesuai dengan posisi kesadarannya yang sekarang. Kalau manusia bisa mempertahankan kedaulatan yang ada pada dirinya, maka kedaulatan itu akan berubah menjadi suatu perkembangan, sebab proses dan inovasi akan kamu sendiri yang merasakan, bukan orang lain atau bukan orang yang menjadikan kamu tidak menjadi diri sendiri.  Kalian boleh berproses di banyak bidang. Tapi apakah pantas kalau suatu organisasi di nomor duakan. Tidak menjadi masalah kalian berproses di banyak wilayah organisasi, tapi skala prioritas menjadi sangat penting jika semua itu terjadi.

Saya bisa katakan itu merupakan salah satu konsekuensi dari organisasi ekstra kampus. Banyak orang yang mengatakan dirinya organisatoris, tapi di satu sisi organisasi lain dijadikan sebagai alat tumpangannya untuk apa yang diinginkan. Sungguh itu tindakan tidak wajar jika ada orang yang mengatakan dirinya semacam itu. Biar saya dimusuhi banyak orang atas pernyataan ini, lebih baik saya dimusuhi dari pada saya menanggung beban yang tak bisa diungkapkan, padahal hal semacam itu butuh pembelajaran, bukan hanya kesadaran. Tulisan ini tidak mengajarkan atau menyarankan kalian. Karena dalam dimensi tersebut bukan hak saya sepenuhnya.  Biarkan tulisan ini mengalir seadanya. Jangan diada-adakan dan jangan di tiadakan. Siapa yang meniadakan, berarti dia sendiri yang membuat dirinya tiada.

Sebelum menyinggung apa itu maju, mungkin kita harus mengerti dahulu indikator apa saja yang menjadikannya suatu organisasi itu bisa mundur. Lahir dari tolok ukur kemunduran bisa menjadi salah satunya. Kalau patokan kita adalah kemjuan terus menerus, mana mungkin kita bisa bangkit, yang ada hanya ambisi untuk tidak pernah mau kalah. Dari mana ada maju, kalau dibelakngnya tidak ada mundur. Bagaimana kita baik, kalau di pikiran kita tidak ada indikator-indikator buruk mengenai sistem nilai kehidupan.

Dengan adanya nilai dasar pergerakan yang menjadi dasar kita bergerak, itu salah satu alat yang membekali kita untuk berkembang melihat ke depan. Menyinggung mengenai nilai dasar pergerakan PMII yang menghunbungkan adanya hubungan dengan Tuhan, manusia dan alam. Saya rasa hal itu merupakan sudah masuk dalam nilai-nilai yang ada di demokrasi (saya mengambil inti dari orasi pergerakan oleh ketua bidang dua PKC PMII Jawa Timur yaitu mengenai demokrasi). Demokrasi bukan hanya berhubungan dengan manusia dengan manusia, tapi pertanggung jawaban atas demokrasi adalah dengan Tuhan dan alam. Karena alam lebih tua dari pada kita, maka setidaknya alam juga berhubungan dengan kuasa Tuhan kepada manusia. Entah saat ini demokrasi benar-benar demokrasi atau hanya sebuatan atas nama demokrasi. Yang namanya demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Rakyat di sini memegang penuh kekuasaan di suatu negara demokrasi, baik kekuasaan memilih, menentukan dan sebagainya. Tapi tanpa disadari, rakyat hanya sebatas dipilihkan, bukan memilih yang sesuai dengan apa yang dia mau, tentunya atas pertimbangan partai politik yang memengaruhi perjalanannya sistem demokrasi.

Ibarat ada mutiara di tumpukan bebatuan, jelas mutiara itu tidak akan terlihat jika mutiara tersebut tidak muncul di permukaan bebatuan. Artinya, kemunculan mutiara dalam batu adalah orang yang dikatakan mutiara tidak akan pernah terlihat jika dia tidak masuk ke dalam ranah partai politik. Karena dengan partai politik, orang akan bisa lebih diusung untuk menunjukkan eksistensinya di kalangan masyarakat. Bagaimana mungkin, saat ini orang mempertengkarkan sesuatu yang sebenarnya sama-sama mereka tidak tahu. Perpecahan diakibatkan oleh masalah yang sama-sama tidak tau sebenarnya. Mungkin lebih baik menjadi orang introvet dari pada orang yang berbicara banyak hal tapi justru sedikit tahu tentang banyak hal. Memang kita mengetahui banyak hal, tapi hanya sedikit saja yang kita ketahui atas kenyataan mengenai banyak hal.

Zaman memang tak bisa selamnya sama, kalau presepsi zaman dipersamakan, zaman tidak akan pernah mengalami perubahan. Padahal zaman butuh sekali namanya perubahan. Zaman butuh sekali revolusi dari sebelumnya. Titik tonggak keberhasilan zaman adalah bisa mengubah gejala-gejala kurang baik dari sebelumnya untuk menjadi objek perubahan yang lebih baik. Akan tetapi kadang kalah perubahan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kebanyakan orang pelaku zaman. Salah satu kelemahan itu bisa terjadi karena penyediaan sarana prasarana yang disediakan di zamannya kurang mumpuni atau bisa jadi dari aspek-aspek lainnya. Kalau sarana prasarana tidak terpenuhi, secara otomatis tingkat kemampuan individu tidak mengalami perubahan dari yang sebelumnya. Antara kemampuan jelas berkorelasi dengan kebutuhan dan kebutuhan butuh inovasi dan kreatifitas bermacam-macam  untuk menunjang berkembangnya kemampuan yang dimiliki pelaku zaman di masanya.
Kalau ditanya bagaimana mengaktualisasikan nilai dasar pergerakan di zaman modern, secara otomatis ha tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi.

Jika dilihat dari prespektif PMII Unesa, mungkin yang harus dilakukan adalah mampu dengan ikhlas melihat kekurangan-kekurangan yang dialami PMII Unesa saat ini. Semua anggota pasti mempunyai pandangan kekurangan sendiri-sendiri mengenai PMII Unesa. intinya PMII adalah wadah, sedangkan anggota adalah isinya. Tidak mungkin suatu wadah itu ada jika tanpa isi. Kalau isi tidak ada, mana mungkin wadah diciptakan. Tidak mungkin pula wadah diciptakan tanpa kegunaan. Suatu objek ada karena ada sistem nilai di dalamnya. Jadi manfaatkan semua nilai yang ada di PMII, pelajari strukturnya, pelajari sistemnya. Jika orang sudah masuk  ke internal sistem nilai, maka kebermanfaatan nilai akan mudah didapatkan.

Eksistensi suatu masalah adalah sikap kita sebagai pelaku yang harus bijak mengambil garis merahnya. Keadaan akan berubah jika pelakunya bisa belajar memahami konteks dari eksistensi tersebut. Eksistensi bukan alat untuk saling menghindar, tapi eksistensi butuh ilmu pengetahuan yang kompeten, inovasi, serta kreatif, dan kalau kita menyadari, kompeten memiliki hubungan kuat dengan perkembangan zaman. Setiap perkembangan zaman, kompetensi selalu menyelaraskan kebutuhan di belakangnya. Kompetensi adalah kemampuan yang harus bisa berkembang dan berderet ukur. Eksistensi tidak bisa dibiarkan begitu saja, perlu adanya kajian-kajian dari sudut pandang mengenai apa yang dieksistensikan.

Kebanyakan eksistensi justru dibuat-buat atau memang sengaja dimunculkan supaya pelaku yang dikenai masalah tersebut bisa belajar, berkembang dan berinovasi. Sedangkan pelaku yang memunculkan eksistensi, memang menguji batas kemampuan dalam menghadapi hal tersebut. Siapa yang tidak bisa memahami dirinya sendiri, kelemahannya sendiri, maka kita akan terus menerus tertinggal dibelakang. Kita hanya bisa mengejar. Bukan menjadi penyongsong. Sedangkan yang dikejar tidak pernah mengalami kelelahan. Justru kita semakin mengejar dan terus mengejar, kita sendiri yang kelelahan. Mari sadarkan untuk mengerti eksistensi diri kita dan kompetensi sesuai dengan kemampuan kita. Kalau orang sudah mengalami masa-masa kelemahannya, maka untuk mengeksistensikan kompetensinya cukup mudah, tidak menutup kemungkinan kelemahan itu akan menjadi kelebihan.



Surabaya, 18 Desember 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...