Waktu semakin gelap, nama-nama tersebar di mana-mana. Aku percaya kau terlalu bahagia melupakan hari kemarin. Seperti doa yang lupa kau sebut dan angin yang lupa jalan kembali. Terakhir kali waktu turun mendekat tanpa kata-kata. Ia diam mengunci mulut tiap kali jendela terbuka.
Angin membuatku lebih marah, ia membawa cerita pergi dari tanganmu. Aku bingung bagaimana berjalan jika mataku setengah sadar. Dari mata, aku membuka masa yang pernah ku impikan dari kecil. Bermain mobil-mobilan sampai lututku terluka dan menangis pulang ke rumah. Aku beraharap kepulanganmu jangan ada tangis. Ku lihat doa-doaku mengalir bertamu sambil mengecup jalan yang kau lewati.
Pantai tempat favoritmu melihat kapal-kapal berlayar membuka nasib, di samping pasir pantai yang tak kau sukai warnanya. Tapi kau menyukai gambarnya. Aku sedikit hafal apa yang kau sukai dan tak kau sukai. Aku pernah ingat kau menangis di pojokan kelas di lantai satu. Kau menangisi dirimu sendiri yang tak kunjung selesai berkaca, menatap wajahmu sambil mengenakan baju seragammu dan kau jumpai pada cermin bukan dirimu tapi tangismu.
Anak kecil yang sering dibuat marah soal memilih orang baik. Tangan tak mungkin bisa memilih antara mereka. Tanah dihuni bukan rumahnya atau menjadi luas sebab negara tak punya batasan terhadap dirinya.
Orang asing yang makan di trotoar bersama kawannya. Tiap pagi ibu-ibu menyapu kotoran sisa kejahatan yang dilakukan dengan mendekapmu saat tidur. Matamu tidak bisa melihat mana yang jernih dan kotor. Urat nadimu seolah berhenti, sama seperti mereka, hatinya tertutup senyum orang asing yang mereka anggap anaknya sendiri. Sembari dipangku, aku melihat ia dikenakan baju dan dilayaninya seperti bapak yang lupa tentang apa bahasa terakhir yang sudah ia sampaikan.
Asap di langit yang tidak pernah berubah jadi doa atau hujan yang menjelma kekasih di tengah padang pasir. Aku menganggap doa adalah ibu kandung yang menyusui di tengah malam menjadi pundak paling kuat serta air laut yang tak pernah habis.
Angin membuatku lebih marah, ia membawa cerita pergi dari tanganmu. Aku bingung bagaimana berjalan jika mataku setengah sadar. Dari mata, aku membuka masa yang pernah ku impikan dari kecil. Bermain mobil-mobilan sampai lututku terluka dan menangis pulang ke rumah. Aku beraharap kepulanganmu jangan ada tangis. Ku lihat doa-doaku mengalir bertamu sambil mengecup jalan yang kau lewati.
Pantai tempat favoritmu melihat kapal-kapal berlayar membuka nasib, di samping pasir pantai yang tak kau sukai warnanya. Tapi kau menyukai gambarnya. Aku sedikit hafal apa yang kau sukai dan tak kau sukai. Aku pernah ingat kau menangis di pojokan kelas di lantai satu. Kau menangisi dirimu sendiri yang tak kunjung selesai berkaca, menatap wajahmu sambil mengenakan baju seragammu dan kau jumpai pada cermin bukan dirimu tapi tangismu.
Anak kecil yang sering dibuat marah soal memilih orang baik. Tangan tak mungkin bisa memilih antara mereka. Tanah dihuni bukan rumahnya atau menjadi luas sebab negara tak punya batasan terhadap dirinya.
Orang asing yang makan di trotoar bersama kawannya. Tiap pagi ibu-ibu menyapu kotoran sisa kejahatan yang dilakukan dengan mendekapmu saat tidur. Matamu tidak bisa melihat mana yang jernih dan kotor. Urat nadimu seolah berhenti, sama seperti mereka, hatinya tertutup senyum orang asing yang mereka anggap anaknya sendiri. Sembari dipangku, aku melihat ia dikenakan baju dan dilayaninya seperti bapak yang lupa tentang apa bahasa terakhir yang sudah ia sampaikan.
Asap di langit yang tidak pernah berubah jadi doa atau hujan yang menjelma kekasih di tengah padang pasir. Aku menganggap doa adalah ibu kandung yang menyusui di tengah malam menjadi pundak paling kuat serta air laut yang tak pernah habis.
20 Juli 2019
Komentar
Posting Komentar