Langsung ke konten utama

BAGAIMANA JILBAB JIKA TANPA PANGGUNG PEMENTASAN



Ada beberapa teman dekat sering mengelu kepada saya, perihalnya sangat sepele, kalau dikata sepele memang sepele, tapi tidak sepele juga bisa. Dia cukup jeli melihat keadaan di sekitarnya, padahal saya rasa dia bukan tipikal orang seperti itu, bahkan bisa dibilang cukup cuek terhadap perubahan-perubahan yang ada di sekitarnya. Tapi yang satu ini dia mengambil contoh yang sangat tepat, pasalnya ada yang berbeda sejak teman-temannya awal masuk kuliah dengan sekarang yang dia lakukan. Bagaimana tidak, kalau dikatakan polos, ia memang polos-polos, tapi dengan bertambahnya waktu dan usia, entah mungkin juga ada sedikit banyaknya pengaruh media sosial, bisa juga dipengaruhi keadaan ekonominya, ya biasalah biaya untuk kuliah agak lebih mahal dari pada sebelumnya, tapi bisa juga dikira-kira, yang mahal dari kuliah bukan biaya semesterannya, tapi gengsinya. Gengsi itu mahal lho kalau sudah disentuh, apalagi disinggung-singgung.

Apapun kalau sudah menyangkut pautkan masalah gengsi, bisa fatal degradasi identitas sosialnya. Bisa dibuktikan dengan pengenalan identitas seseorang jika gengsi sudah mulai dipentaskan dalam panggung sosial, tidak ada bedanya orang berduit dengan orang yang tidak berduit, dalam artian untuk dari segi perekonomiannya masih kurang. Mungkin semua sama dari segi identitas penampilannya. Tidak ada salahnya juga, karena identitas lebih berkuasa kepada tiap individunya, dia memliki hak untuk memilih identitas apa yang ingin dia kenakan yang bisa jadi menjadi sumber ciri khasnya saat dipandang banyak orang. Contohnya perempuan itu selalu memakai gelang berwarna emas dengan motif bungah mawar di tangannya, ada lagi contohnya seperti laki-laki itu selalu memakai topi koboy dan selalu duduk di teras lorong penghubung ruangan tersebut. Dengan seperti itu orang akan mudah mengenalinya, karena sudah ada ciri khas secara penampilan yang dia tunjukkan saat berinteraksi sosial.

Bukan tidak mungkin kalau identitas itu memang dibuat-buat oleh individu sesuai selera dan karakter masing-masing orang. Ada banyak pilihan untuk merubah identitas pada diri manusia. Akan tetapi jangan pernah dilihat semua itu secara spontanitas mereka, tapi bisa dilihat ada hubungan sebab akibat yang bisa merubahnya, perubahan itu pasti sebab, tidak mungkin juga perubahan menjadi akibat. Pada dasarnya setiap sebab selalu terjadi karena keadaan yang tidak bisa memungkinkan orang untuk menjadi dirinya sendiri, kalau dalam bahasa gaulnya anak sekarang pencitraan. Orang kurang bisa menerima siapa asalnya dia, dari mana dia, untuk apa dia ke sini. Kejadian-kejadian ini sangatlah banyak terjadi, seperti yang dikeluhkan oleh teman dekat saya tadi, tranformasi identitas sangat cepat melesat pada anak-anak muda, sampai ada celetusan dari teman saya itu “Kenapa perempuan sekarang sulit untuk dinilai tampilannya, masak semua orang ingin terlihat cantik di depan lawan jenisnya”, bayangkan saja ketika semua perempuan sudah berlomba-lomba dalam hal kecantikan, sampai yang cantik siapa yang jelek siapa, yang biasa-biasa siapa, hingga saat ini perihal membedakan perempuan cantik, perempuan manis itu sangat sulit, kenapa tidak, yang manis saja ingin cantik, yang biasa-biasa saja juga ingin cantik, jadi semuanya cantik. Patut disyukuri juga, berarti tidak ada orang jelek, yang ada hanya orang cantik semua.

Tidak begitu penting apa hubungan cantik dengan jelek, tapi apa yang dikenakan individu supaya agar tetap cantik itu yang penting. Mempertahankan suatu identitas jika tidak memliki daya tahan mental, psikis yang kuat, bisa jadi lemah secara moral, akibat-akibat yang ditimbulkan itu tadi, mengenai gengsi, dan persinggungan budaya sosial yang seharusnya tidak ada menjadi ada. Yang paling menjadi sorotan teman saya tadi adalah tentang budayanya perempuan muslim mengenakan jilbab. Entah, jilbab itu nama pokok atau bagaimana saya kurang tahu, yang saya ketahui dulu waktu kecil di desa, ibu sering mengungkapkan dengan nama jilbab. Maklum juga, budayanya di desa saya dulu waktu sore hari anak-anak berbusana rapi, ada yang bercelana tapi kebanyakan menggunakan sarung. Biasanya mereka mengaji atau bahkan hanya sekadar terbawa suasana ngaji tersebut, sehingga anak yang tidak sempat mengaji pun mengenakan sarung dan berpeci. Saya mengakui ini sebuah kehebatan tersendiri, senakal-nakalnya anak di desa, coba tanya punya peci berwarna putih, pasti rata-rata anak di sana mempunyainya, meskipun itu seringkali hanya dipakai waktu sholat jum’at. Hal terebut bisa menandakan pengaruh budaya sangat signifikan besar.

Setelah jilbab dipentaskan sebagai komersil identitas perempuan, nama-nama jilbab ini semakin banyak, ada yang hijab, ada yang kerudung dan lainnya. Kalau kerudung mungkin dulu sudah ada. Barang-barang ini sebenarnya mempunyai subtansi penggunaa yang sama, yakni menutup rambut kepala perempuan. Tapi seringkali dibandingkan dalam wacana sosial, nama-nama itu semakin berkembang dengan berbagai model dan tipe. Jilbab semkin komersil di kalangan para perempuan. Salah satunya seperti di atas, ada banyak objek secara materi yang digunakan dalam hal kecantikan, salah satunya jilbab.

Kalau berbicara mengenai komersil, tentunya banyak wilayah yang harus dianalisis konteks sosialnya. Karena jilbab ini sudah menyinggung tentang nilai ekonomi budaya. Indikator penutup kepala dari jilbab, hijab sampai kerudung ada tingkat ekonominya, jelas itu. Yang berduit pasti akan tampak bagus hijabnya. Lha ini yang biasa menjadi sumber permasalahan gengsi itu muncul. Semua perempuan secara tidak langsung pasti mengakui kalau dirinya cantik, ia memang kodrat perempuan cantik semua, tapi apakah ketika dilihat lawan jenisnya, mereka juga mengatakan kalau dia cantik, tentu tidak semuanya. Oleh karena itu produk-produk jilbab semakin berinovasi, berkreasi untuk mengambangkan bentuk produknya semakin indah. Sehingga para perempuan selalu mengejar-ngejar identitas kecantikannya semaksimal mungkin dihadapan sesama perempuan atau di antara lawan jenisnya.

Ini masalah etika sosial yang bisa dicermati secara mudah, jilbab dipentaskan, perempuan dipentaskan setinggi-tinggi mungkin, akibatnya tidak ada yang lebih tinggi jika seorang perempuan dibilang cantik atau sebagainya. Kecantikan dipersamakan dengan materi yang menunjang perempuan itu cantik, padahal cantik bukan urusan dengan materi, melainkan apa apapun yang itu mengandung unsur positif dari perempuan bahkan yang lain, itu bisa dikatakan cantik. Seorang pemain bola ketika menendang dengan bagus pun komentator bilangnya tendangan itu cantik. Jadi sebenarnya cantik itu bisa dibilang bahasa budaya yang penempatannya bisa berbeda-beda sesuai dengan konteks yang terjadi. Intinya untuk membangun identitas apalagi sebuah penampilan, semua jalan bisa dibuka dengan sendirinya, tanpa memikirkan jalan itu terjal atau tidak, yang penting jika jalan sudah dibuka, apapun yang melewatinya bisa, entah kecil atau besar, entah rusak atau baik, tanpa memikirkan apa yang terjadi di kedepannya.....”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...