Langsung ke konten utama

KEDUA KALINYA AKU BERBICARA, DAN KAU MEMOTONGNYA





Kalau berbicara capek, memang capek. Sebelum saya memutuskan untuk pergi ke Surabaya, siangnya saya sempatkan waktu untuk mengikuti rapat perdana TBM (Taman Baca Masyarakat), bukannya saya sebagai penggagas atau apalah, tapi setidaknya ketika ada anak yang sudah meminta sesuatu kepada bapaknya dengan menggebu-nggebu, masak tidak dilayani, kan juga kasihan. Jadi saya memutuskan, ah tidak apa-apalah, hitung-hitung biar hidup ada manfaatnya, walau itu sedikit.

Di samping memang saya ingin ke Surabaya, di sisi lain juga tidak bisa berbohong dengan diriku sendiri, jika aku sebenarnya ingin bertemu dengannya, tak ada waktu yang bisa melukiskan keadaan saat bersamanya. Entah ada rasa yang menyergap seperti apa, aku juga kurang begitu paham mengenai surat hati dan beserta ayatnya itu apa dan bagaimana, aku kurang mengerti. Seperti aliran air yang mengalir sesuai jalannya, dari tinggi ke rendah. Hatipun begitu tak sanggup menolak dengan semuanya, tapi akal logika sanggup menilai dari ketepatannya.

Tepat sekitar pukul sembilan malam, saya sudah di depan champ seperti biasanya, aku agak jengkel, bagaimana tidak, di jalan semua orang tidak bisa paham dengan situasi yang saya alami, mobil-mobil selalu berjalan di tengah, padahal di dalam tidak ramai membawa penumpang, hanya dua orang yaitu sopir dan penumpangnya. Tapi si mobil malam itu membuat mood memburuk. Waktu dibuat 
terlambat oleh kekonyolan itu. Setiap kendala memang selalu ada ketika niat sudah berusaha mencapai pada tujuannya, dan tujuanku adalah ingin melihatnya dan sedikit melempar senyum kepadanya. Itu saja. Gak lebih.

Sesimpel itu, bayangkan aku seperti lahir kembali saat ini, aku belum pernah mencintai seseorang sampai dengan perasaan ini. Bisa dikatakan itu merupakan tujuan perasaan yang sangat sulit untuk diukur tingkat logikanya. Dari awal, aku memang berharap ingin memboncengnya, karena setiap ketika aku menawarkan diri untuk mengantarnya, ada saja gangguan yang bisa membuat kesempatan itu menjadi hilang.

Malam itu sambil diwarnai lukisan hujan yang mengguyur rintik-rintik di genting, akhirnya Allah mendengarkanku dan aku berkesempatan memboncengnya, ini momen sangat langkah bagiku, jangankan untuk berkomunikasi, aku sendiri menatap wajahnya pun kurang ada keberanian berlama-lama, dan begitu juga sebaliknya. Ada semacam kesalah tingkahan pada tatapan mata kita berdua. Jadi hubungan kita sebatas pembicaraan-pembicaraan singkat yang sering terjadi di dalam proses berjalannya semi komunikasi kita.

Kesempatan yang sangat langkah itu aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya, dari laju kendaraan ada sedikit kesengajaan untuk tak perlambat, tujuannya apa, hanya satu, agar aku bisa berbicara, berkomunikasi, dan tanya-tanya tentangnya. Mungkin kalau aku pintar sedikit, dari laju percepatan udara antara pedal gas dengan angin, mungkin aku bisa mengukur dan meperlambatnya, biar kita ada waku sedikit lama saat berbicara. Kita perlu mengupas dalam-dalam, aku mengupas tentangmu dan kamu mengupas tentangku. Itu harapanku.

Yang aku rasakan, setiap kali dia bertanya apapun kepadaku, tatapan matanya semula melihat mataku, kemudian mata itu seakan-akan menunduk ke bawah. Hal semacam itu yang aku rasakan. Aku kurang begitu paham juga dengannya, betul atau tidaknya. Tapi aku cukup berdo’a, agar anggapanku bisa menjadi kenyataan, dan setiap tanda-tanda yang kau semayamkan padaku, aku juga berdo’a supaya tanda itu menjadi harapan dalam malam-malam setiap kali aku sebelum tidur sebab telah aku sempatkan waktu beberapa menit untuk memikirkanmu.

Kalau ditanya, siapa orang yang puas hari ini, mungkin jawabannya adalah saya, siapa yang bahagia hari ini adalah saya. silahkan kalian berbahagia dengan cara kalian sendiri, bahagia tidak menuntut untuk memilki, namun bahagia itu hadir saat kamu bersyukur dan menikmatinya dengan sungguh-sungguh. Seperti halnya hari ini, pulang pergi, aku bersamanya. Sangat aku syukuri, memang saat pulang, dia tidak banyak tanya dan berbicara. Sempat aku pancing agar dia berbicara. Lha ketepatan waktu itu jam shubuh hampir selesai, dan dia minta mampir di masjid terdekat di pinggir jalan agar subuhannya tidak terlambat. Setiba  di masjid pun di dalam ada kami berdua, aku di depan, dia di belakang, sebenarnya kalau untuk jama’ah sih boleh-boleh saja, berhubung aku kurang berani menawarinya, jadi kita memutuskan sholat sendiri-sendiri. Dalam hal sekecil itu pun aku sudah sangat bahagia, tapi bahagia versiku sendiri, entah apakah dia bahagia juga atau bagaimana, mudah-mudahan kalau aku bahagia, dia juga bisa merasakannya.

Waktu terasa sangat lama jika bersamanya, aku sempat bertanya  ke dia, mau tak antar ke pondok atau ke Champ dulu, awalnya dia mau ke champ dulu, tapi berhubung di sana pintunya tertutup, mungkin juga terkunci. Akhirnya aku menunggu dengannya di depan champ tersebut, kalau menunggu itu kan harus ada sesuatu atau orang yang ditunggu, tapi kita ini gak jelas nunggu siapa, karena aku dan dia sudah menunggu hampir satu jam lebih tidak ada siapapun yang sampai di sana. Sebenarnya Inti dari momen hari ini adalah bertempat di wilayah itu, baru kali ini, aku bisa berbicara lama dengannya, yang awalnya dia bertanya kepadaku tentang UTS (Ujian Tengah Semester), kemudian merambat-rambat ke masalah perkuliahan, dari keunikan dosen masing-masing dan cara mengajarnya, sampai dia bertanya mengenai apa itu sastra dan sebagainya.

Tetapi ada satu yang tidak bisa saya lupa, yaitu dia sambil bercerita tidak berani menatapku, dan katanya, jika perempuan sudah berani menceritakan kisah keluarganya atau apapun lah yang menyangkut pribadinya, berarti dia sudah mempunyai rasa kenyamanan pada diriku. Dan itu aku sangat bersyukur. Dari kisah bagaimana hubungan dengan adiknya, bagaimana kisah cara mendidik bapak ibunya, kisah keluarganya, aku pun juga tidak lupa membalas ceritanya dengan mencritakan pula bagaimana kondisi keluargaku. Kalian tahu bagaimana perasaanku di dekatnya dengan begitu lama, meskipun itu kami lakukan di pinggir jalan layaknya seperti orang pacaran. Banyak lalu lalang orang-orang yang melihatnya, tapi kami tidak pernah fokus dengan penglihatan-penglihatan itu, kami hanya fokus kepada cerita kami berdua, itu saja. Kadang aku dan dia kurang fokus, sehingga aku sering memotong pembicaraannya, dan begitu juga sebaliknya. Aku fokus mendengar ketika dia bercerita dan berusaha menimpali dengan balasan kata-kata yang muncul dari mulutku, begitu juga sebaliknya, ketika aku bercerita, fokus dia hanya berfokus pada apa yang saya ceritakan.

Aku bahagia, sangat bahagia, aku berterima kasih, aku sangat berterima kasih, kepada siapa, tentu kepada Allah dan dia. Apakah aku menginginkan dia sadar seperti kesadaranku kepadanya. Tidak, itu terserah Allah, aku hanya bisa menikmati ketika Allah sudah memberinya. Bagaimana pun aku bisa berusaha menikmati itu walau ada sedikit waktu untuk menatap dan sekadar melihatnya, aku cukup senang dan bersyukur. Ketika aku menemukannya, tapi entah dia menemukanku atau belum.




Surabaya,
Minggu, 25 Maret 2018


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...