Kalau berbicara capek, memang capek. Sebelum saya memutuskan untuk pergi ke
Surabaya, siangnya saya sempatkan waktu untuk mengikuti rapat perdana TBM
(Taman Baca Masyarakat), bukannya saya sebagai penggagas atau apalah, tapi
setidaknya ketika ada anak yang sudah meminta sesuatu kepada bapaknya dengan
menggebu-nggebu, masak tidak dilayani, kan juga kasihan. Jadi saya memutuskan,
ah tidak apa-apalah, hitung-hitung biar hidup ada manfaatnya, walau itu
sedikit.
Di samping memang saya ingin ke Surabaya, di sisi lain juga tidak bisa
berbohong dengan diriku sendiri, jika aku sebenarnya ingin bertemu dengannya,
tak ada waktu yang bisa melukiskan keadaan saat bersamanya. Entah ada rasa yang
menyergap seperti apa, aku juga kurang begitu paham mengenai surat hati dan
beserta ayatnya itu apa dan bagaimana, aku kurang mengerti. Seperti aliran air
yang mengalir sesuai jalannya, dari tinggi ke rendah. Hatipun begitu tak
sanggup menolak dengan semuanya, tapi akal logika sanggup menilai dari
ketepatannya.
Tepat sekitar pukul sembilan malam, saya sudah di depan champ seperti
biasanya, aku agak jengkel, bagaimana tidak, di jalan semua orang tidak bisa
paham dengan situasi yang saya alami, mobil-mobil selalu berjalan di tengah,
padahal di dalam tidak ramai membawa penumpang, hanya dua orang yaitu sopir dan
penumpangnya. Tapi si mobil malam itu membuat mood memburuk. Waktu dibuat
terlambat oleh kekonyolan itu. Setiap kendala memang selalu ada ketika niat
sudah berusaha mencapai pada tujuannya, dan tujuanku adalah ingin melihatnya
dan sedikit melempar senyum kepadanya. Itu saja. Gak lebih.
Sesimpel itu, bayangkan aku seperti lahir kembali saat ini, aku belum
pernah mencintai seseorang sampai dengan perasaan ini. Bisa dikatakan itu
merupakan tujuan perasaan yang sangat sulit untuk diukur tingkat logikanya.
Dari awal, aku memang berharap ingin memboncengnya, karena setiap ketika aku
menawarkan diri untuk mengantarnya, ada saja gangguan yang bisa membuat
kesempatan itu menjadi hilang.
Malam itu sambil diwarnai lukisan hujan yang mengguyur rintik-rintik di
genting, akhirnya Allah mendengarkanku dan aku berkesempatan memboncengnya, ini
momen sangat langkah bagiku, jangankan untuk berkomunikasi, aku sendiri menatap
wajahnya pun kurang ada keberanian berlama-lama, dan begitu juga sebaliknya. Ada
semacam kesalah tingkahan pada tatapan mata kita berdua. Jadi hubungan kita
sebatas pembicaraan-pembicaraan singkat yang sering terjadi di dalam proses
berjalannya semi komunikasi kita.
Kesempatan yang sangat langkah itu aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya,
dari laju kendaraan ada sedikit kesengajaan untuk tak perlambat, tujuannya apa,
hanya satu, agar aku bisa berbicara, berkomunikasi, dan tanya-tanya tentangnya.
Mungkin kalau aku pintar sedikit, dari laju percepatan udara antara pedal gas
dengan angin, mungkin aku bisa mengukur dan meperlambatnya, biar kita ada waku
sedikit lama saat berbicara. Kita perlu mengupas dalam-dalam, aku mengupas
tentangmu dan kamu mengupas tentangku. Itu harapanku.
Yang aku rasakan, setiap kali dia bertanya apapun kepadaku, tatapan matanya
semula melihat mataku, kemudian mata itu seakan-akan menunduk ke bawah. Hal
semacam itu yang aku rasakan. Aku kurang begitu paham juga dengannya, betul
atau tidaknya. Tapi aku cukup berdo’a, agar anggapanku bisa menjadi kenyataan,
dan setiap tanda-tanda yang kau semayamkan padaku, aku juga berdo’a supaya
tanda itu menjadi harapan dalam malam-malam setiap kali aku sebelum tidur sebab
telah aku sempatkan waktu beberapa menit untuk memikirkanmu.
Kalau ditanya, siapa orang yang puas hari ini, mungkin jawabannya adalah
saya, siapa yang bahagia hari ini adalah saya. silahkan kalian berbahagia
dengan cara kalian sendiri, bahagia tidak menuntut untuk memilki, namun bahagia
itu hadir saat kamu bersyukur dan menikmatinya dengan sungguh-sungguh. Seperti
halnya hari ini, pulang pergi, aku bersamanya. Sangat aku syukuri, memang saat
pulang, dia tidak banyak tanya dan berbicara. Sempat aku pancing agar dia
berbicara. Lha ketepatan waktu itu jam shubuh hampir selesai, dan dia minta
mampir di masjid terdekat di pinggir jalan agar subuhannya tidak terlambat.
Setiba di masjid pun di dalam ada kami
berdua, aku di depan, dia di belakang, sebenarnya kalau untuk jama’ah sih
boleh-boleh saja, berhubung aku kurang berani menawarinya, jadi kita memutuskan
sholat sendiri-sendiri. Dalam hal sekecil itu pun aku sudah sangat bahagia, tapi
bahagia versiku sendiri, entah apakah dia bahagia juga atau bagaimana,
mudah-mudahan kalau aku bahagia, dia juga bisa merasakannya.
Waktu terasa sangat lama jika bersamanya, aku sempat bertanya ke dia, mau tak antar ke pondok atau ke Champ
dulu, awalnya dia mau ke champ dulu, tapi berhubung di sana pintunya tertutup,
mungkin juga terkunci. Akhirnya aku menunggu dengannya di depan champ tersebut,
kalau menunggu itu kan harus ada sesuatu atau orang yang ditunggu, tapi kita
ini gak jelas nunggu siapa, karena aku dan dia sudah menunggu hampir satu jam
lebih tidak ada siapapun yang sampai di sana. Sebenarnya Inti dari momen hari
ini adalah bertempat di wilayah itu, baru kali ini, aku bisa berbicara lama
dengannya, yang awalnya dia bertanya kepadaku tentang UTS (Ujian Tengah
Semester), kemudian merambat-rambat ke masalah perkuliahan, dari keunikan dosen
masing-masing dan cara mengajarnya, sampai dia bertanya mengenai apa itu sastra
dan sebagainya.
Tetapi ada satu yang tidak bisa saya lupa, yaitu dia sambil bercerita tidak
berani menatapku, dan katanya, jika perempuan sudah berani menceritakan kisah
keluarganya atau apapun lah yang menyangkut pribadinya, berarti dia sudah
mempunyai rasa kenyamanan pada diriku. Dan itu aku sangat bersyukur. Dari kisah
bagaimana hubungan dengan adiknya, bagaimana kisah cara mendidik bapak ibunya, kisah
keluarganya, aku pun juga tidak lupa membalas ceritanya dengan mencritakan pula
bagaimana kondisi keluargaku. Kalian tahu bagaimana perasaanku di dekatnya
dengan begitu lama, meskipun itu kami lakukan di pinggir jalan layaknya seperti
orang pacaran. Banyak lalu lalang orang-orang yang melihatnya, tapi kami tidak
pernah fokus dengan penglihatan-penglihatan itu, kami hanya fokus kepada cerita
kami berdua, itu saja. Kadang aku dan dia kurang fokus, sehingga aku sering
memotong pembicaraannya, dan begitu juga sebaliknya. Aku fokus mendengar ketika
dia bercerita dan berusaha menimpali dengan balasan kata-kata yang muncul dari
mulutku, begitu juga sebaliknya, ketika aku bercerita, fokus dia hanya berfokus
pada apa yang saya ceritakan.
Aku bahagia, sangat bahagia, aku berterima kasih, aku sangat berterima
kasih, kepada siapa, tentu kepada Allah dan dia. Apakah aku menginginkan dia
sadar seperti kesadaranku kepadanya. Tidak, itu terserah Allah, aku hanya bisa
menikmati ketika Allah sudah memberinya. Bagaimana pun aku bisa berusaha menikmati
itu walau ada sedikit waktu untuk menatap dan sekadar melihatnya, aku cukup
senang dan bersyukur. Ketika aku menemukannya, tapi entah dia menemukanku atau
belum.
Surabaya,
Minggu, 25 Maret 2018
Komentar
Posting Komentar