Langsung ke konten utama

SEMOGA INI ADALAH SEMACAM DERET UKUR SAYA

/1/
Bulan september ini adalah salah satu bulan dari yang kemarin tersisa. Diharapkannya keadilan dan kesumbaran hati untuk kemanusiaan. Manusia mulai lalai atas harkat, martabat dan kehidupan cinta kasih sayang. Bahkan seekor lalat tak berdosa memakan daging mayat-mayat dalam kubur. Para tikus pun merayap-rayap, mencabik-cabik ikan di belakang dapur pakarangan. Atas segalanya, Tuhan menghendaki semua karakusan itu. Tuhan berkehandak atas baik, buruk dan rezeki semua makhluk. Tetapi, manusia hanya sebatas mengenal identitas kebaikanNya. Kita tidak diizinkan bingung atas konsep kemurahan hatiNya.

/2/
Aku, kalian, mereka, kami hanya lah hamba yang bisa menganggukkan kepala dan sungguh sulit untuk menggelengkan kepala. Meskipun di langit aku merayap, di bumi aku berkelana. Akan kah Engkau tega melihat kami bergelimang air mata dari cucuran keringat kami yang tak pernah kering. Sesulit perasaan yang tak pernah sampai. Secuil cinta apapun dariku, aku hina atas segala permintaanku kepadaMu. Aku bising oleh semua rasa kebesaranMu. Ketaklukanku bukan karena aku memintaMu. Sebab, keagunganMu tak terkalahkan oleh do'a hewan, tumbuhan sampai kedurjanaan hak makhluk hidup yang Engkau kehendaki untuk hidup.

Itu adalah dua bait puisi yang aku ciptakan kemarin pada tanggal 9 September 2017. Puisi yang sengaja aku buat untuk mengikuti lomba kepenulisan puisi di tingkat Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kenapa saya ambil dua buah bait puisi ini?, sebenarnya puisi ini terdiri dari empat bait. Karena menurut pandangan saya yang sebagai penyusun puisi ini, dalam puisi ini yang menjadi pokok utamanya adalah di dua bait tersebut. Tapi itu menurut saya. Kalau menurut para dewan juri saya kurang mengetahui, sebab puisi ini kemarin saya perlombakan, alhamdulillah mendapatkan juara dua tingkat jurusan. Pengalaman-pengalaman yang sebelumnya tidak pernah saya alami, saya banyak mengikuti berbagai perlombaan di tingkat apapun, akan tetapi kemenangan itu sangat sulit saya dapatkan. Dulu saya sering membuat puisi yang sangat terlihat sekali konotasinya, ungkapan-ungkapan dan fiksinya. Kurang tau juga, kenapa kebosanan itu sering muncul ketika membuat puisi seperti itu, justru ketika saya membuat puisi yang seakan-akan saya bercerita, di situ aku merasakan banyak hal dalam hati yang sudah aku keluarkan, sesudahnya rasa kelegaan itu pun sedikit demi sedikit muncul seperti ada barang berat yang terpendam dari dalam hati. Ini contoh pada penggalan puisi yang saya ceritakan tadi,


KELABU INDAH MERANA MERONA

Sajak roda malam berpagar tanaman
Lampu neon terukir dalam surat bahasamu
Aku berguling diruang irama senja yang berpautan
Hati menusuk waktu dalam ratapan sendu
Roda memutar pada rona bilik kesucian
Pada angin, pada hidup memandang semu pada sosok kelabu
Rumah tuhan
Balkon tuhan
Tembus angan surga
Berkelok – kelok diatas pusaran garis pandangan
Ratapan anak malang di sudut penderitaan rakyat jelata


Ini adalah penggalan puisi yang saya buat dulu waktu saya masih menjadi mahasiswa baru. Pada saat itu kurang banyak mengerti tentang apa itu puisi, yang saya ketahui hanya puisi yang bagus adalah puisi yang multitafsir, semakin sulit untuk dianalisis, justru puisi itu semakin baik. Sangat terlihat sekali perbedaan pada kedua puisi tersebut, kalau analisis dari segi keindahannya, konotasi dan ungkapanya. Dalam puisi kedua ini banyak sekali kata-kata atau kalimat yang sangat sulit untuk dipahami oleh pembaca. Makna serta diksi yang kurang mengerti  untuk dianalisis. Saya yang sebagai pencipta puisi ini pun terkadang lupa apa yang kemarin saya pikirkan. Sebab apa yang saya pikirkan sekarang sudah berbeda dengan apa yang dulu saya pikirkan. Terus ini bagaimana kondisinya, seorang penciptanya saja lupa dengan apa yang ia buat. Apalagi dengan si penganalisis. Tapi dalam segi perlombaan, kuasa penuh ada di tangan juri, analisis para juri. Padahal dari puisi yang pertama, ketika puisi itu saya cocokkan dengan tema, tidak ada kesinkronan sama sekali dengan tema. Sebab saya sebenarnya paling sulit untuk sesuai dengan tema. Saya sulit untuk terperangkap dalam stigma tema. Bagaimana tidak, Tema mengekspresikan diri dalam mewujudkan perasaan hati dengan tema Ketuhanan kan jelas tidak ada persamaannya.  Yang satu ingin mewujudkan perasaanya dalam bentuk karya, tapi satunya yaitu mendeskripsikan keagungan Tuhannya.

Pentransferan energi perubahan yang saya alami adalah merupakan hal yang lumrah dalam seorang anak yang baru saja belajar. Kadang ingin membuat ini, kadang ingin membuat itu. Kekonsistensiannya itu sangat multi subjektif. Untuk pengalihan dari segi bentuk puisi tersebut saya alami ketika sedikit membaca puisi-puisi Aan Mansyur, seorang penulis yang terkenal. Di dalam kumpulan puisinya, banyak terdapat puisi-puisi yang berbentuk naratif. Saya seketika membaca puisi tersebut terasa dibawa untuk masuk dalam ceritanya. Ternyata puisi yang berbentuk cerita itu menarik untuk ditiru dan saya kok merasa nyaman dengan membuat puisi yang semacam itu. Sebelum mengenal puisi Aan Mansyur, saya sering membaca puisi-puisi Emha ainun Najib dan dosen sastra saya bernama Pak Tengsoe Tjahjono,  dimana puisi beliau yang terkadang sangat banyak dan panjang, bahkan bisa berbetuk sebuah syair. Bahkan puisinya seakan-akan beliau-beliau itu bercerita di dalamnya. Hebatnya lagi, ketika membaca puisi beliau terasa muncul getaran-getaran jiwa untuk memberontak dan menekan suatu keadaan yang ingin berubah. Saya juga sering menjumpai banyak pusi itu enak ketika dideklamasikan dan ada juga sekian puisi yang kurang enak untuk dideklamasikan. Kesesuaian itu adalah rasa yang menentukan, ada orang yang bagus dalam membaca puisi perlawanan atau kritikan, tetapi untuk membaca puisi yang dengan irama dan rima lembut dia kurang menguasai. Ada juga orang itu bagus membaca puisi lembut, tapi untuk puisi yang keras, dia kurang menguasai.

Memang bercerita itu menyenangkan, apalagi bercerita dengan menulis. Membuat puisi dengan menulis pun kalau bercerita itu menyenangkan. Karena tidak ada manusia yang di dalam hidupnya tidak bercerita. Bercerita juga bisa dalam bentuk apapun. Terkadang saat bercerita, untuk menjedah itu sangat berat rasanya. Pernah saya membaca proses kreatif dari seorang cerpenis yang saya lupa namanya. Beliau berkata kalau malam hari adalah waktu yang tepat untuk menulis. Sebab di waktu malam adalah waktu yang tidak ada jeda. Sampai-sampai istrinya berkata dengan bercanda jangan sampai menikah dengan penulis. Karena pada malam hari si istri akan sulit mendapatkan waktu dari suami. Hari malamnya dibuat untuk menulis terus. Sangat sedikit waktu yang diluangan untuk sang istri. Entah itu rasa kekecewaan atau kah rasa yang berharap ingin dimanjakan oleh suami.

Keistiqomahan seorang penulis itu harus di lakukan. Keteraturan dan keuletan adalah sebuah proses untuk pengembangan diri. Deret ukur semacam itu pasti ada ketika saat melakukan istiqomah. Dari yang tidak bisa menjadi bisa. Dari yang sulit menjadi mudah. Dari deret ukur tersebut pastinya ada beberapa tahap yang capai seorang penulis. Tapi untuk mencapai target, manusia tidak akan ada yang bisa menganalisis target yang dicapai dalam perkembangannya. Kalau orang terus mengamalkan keistiqomahan dan usahanya, orang itu sulit menemukan target keberhasilannya, yang ditemukan hanyalah usaha dan berjuangnya. Istiqomah harus terus menerus dilakukan. Keberhentian dalam suatu titik akan menemukan hasil yang kurang memuaskan, tapi istiqomah harus terus menerus berjalan maka hasil tidak akan didapat, sebab keberhasilan sudah ada pada keistiqomahannya.


Surabaya

Kamis, 28 September 2017

Komentar

  1. Berat, berat, berat.
    Pemaknaan terhadap puisi anda cukup sulit mas, perlu membalikkan otak dan keadaan. Atau mungkin horison harapan yang saya miliki kurang sehingga merasa sulit untuk memaknainya. Tapi tulisan sampean sangar mas, saya suka.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...