Alhamdulillah, saya kurang setuju dengan korek terbakar kemudian menyulukan api, semakin disulut koreknya, semakin besar apinya. Tetapi bergantung pada kobaran api, besar kecilnya massa api. Sulutannya juga sangat memengaruhi kebesaran api. Harus lebih diteliti dengan detail, sulutan yang digunakan untuk menyulut api itu pantas tidak, sesuai tidak, seimbang tidak dengan apa yang diminta oleh api. Ya percuma juga kalau sulutan itu menggunakan air, itu bukan sulutan melainkan pemadaman.
Manusia harus bisa mempunyai analisis yang hebat, Sebab pada dasarnya manusia dilahirkan untuk meneliti, mengapresiasi, dan mengatur jati dirinya sendiri. Hak Sebagai analisator harus mempunyai ke-pekaan tinggi. Seorang analisis, pengkondisian dalam penempatan diri itu sangat penting, dia harus bisa dimana, kapan harus menampakkan dirinya, lalu yang paling penting adalah bisa mengkondisikan struktur presepsinya, andaikan saja nantinya banyak sulutan disamping kanan kirinya.
Idiom tentang sulutan memang sering terjadi di kalangan hubungan sosial, kasus-kasus yang terjadi adalah kapasitas permasalahan yang sebenarnya kecil berubah menjadi besar. Kapasitas merupakan berat muatan yang terkandung di permasalahan tersebut. Kecil besarnya suatu permasalahan bergantung pada pengaruh-pengaruh luar maupun dalam. Tentunya skala berbahayanya pasti lebih parah pengaruh dari luar, tapi bisa juga pengaruh dari luar tersebut memasuki sumber pengaruh yang dari dalam. Dari dalam kemungkinan kecil bisa jadi besar dan dari luar kemungkinan besar bisa menjadi melebar-lebar.
Variabel lebar berbeda dengan variabel melebar, kalau melebar sudah pasti keluar dari batas masalah yang sudah ditentukan. Mengenai batasan masalah, yang bisa mempengaruhi suatu masalah bisa dibatasi atau tidaknya adalah sikap untuk mengkondisikan masalah tersebut. Manusia harus bisa menjadi subjek dari masalahnya sendiri, bukan masalahnya yang menjadi subjek. Jadi manusia jangan mau dibuat semena-mena dengan masalah. Buatlah masalah itu takluk kepada subjek. Sebab objek adalah bahan yang memengaruhi kehidupan subjeknya. Tepat atau tidak tepat yang paling tepat adalah sikap manusianya. Perkembangan masalah bergantung kepada sikap. Dia mau mengambil posisi yang mana. Kalau jadi objek, berarti manusia yang harus di sikapi, bukan masalahnya yang disikapi. Tapi kalau manusia yang menjadi subjek atau yang mengendalikan, maka berhenti dan lanjutnya masalah bisa diminimalisir atas dasar sikap yang sudah diputuskan.
Masalah tidak akan mungkin bisa dicegah. Lumrahnya, masalah bisa ada karena akibat yang ditimbulkan oleh sebab. Sebab itulah sumber dari permasalahan. Kalau manusia bisa mencari sebab dan menghilangkan sejenak akibat, maka subtansi yang menjadi pokok masalah itu perlahan-lahan bisa ditemukan jalan keluarnya. Tidak ada orang yang luput dari masalah, masalah pun timbul karena pengaruh bermacam-macam. Ada masalah pribadi, masalah negara, masalah keluarga dan masih banyak lagi jenis masalah yang disebabkan oleh sumbernya. Jika masalah dikaji keberadaanya, sisi esensi (keberadaan), subtansi (pokok), aktualisasi (menampakkan), eksistensi (Mengada). Insyaalah masalah itu mudah diselesaikan dan juga dimanfaatkan. Jadikan masalah itu ilmu dalam kesehiran, supaya setelah diberi cobaan-cobaan permasalahan setingkat apapun itu, nantinya bisa menjadi sumber pembelajaran untuk pembekalan di setiap tindak tanduk kita sebagai manusia dan makhluk sosial. Itu yang menjadi kebermanfaatan suatu masalah.
Akhir-akhir ini, masalah yang menimpa Indonesia sangat banyak. Penonjolan masalah yang paling terlihat adalah di bulan ini. isu-isu yang beredar dikalangan masyarakat adalah mengenai masalah G30S/PKI. Luka lama yang berusaha dibuka kembali oleh beberapa pihak tertentu. Bertepatan bulan ini karena inti dari permasalahannya terletak pada bulan September. Semua isu ditayangkan, semua argumen dikeluarkan, semua pernyataan-pernyataan baik itu memihak ini dan memihak itu, semua keluar. Dan anehnya, isu itu terus saja berbau baru. Tiap tahun ke tahun pasti ada pembaharuan-pembaharuan mengenai sejarah tersebut. Dalam sikap saya tidak bisa berkata dan berbuat apa-apa. Meskipun aku sudah melihat tiga film yang berhubungan dengan kejadian itu dan saya berusaha menyimpulkannya sendiri, aku bukan siapa-siapa, aku juga masyarakat awam yang pada zaman itu belum lahir, bahkan aku belum dibuat oleh ayah dan ibu. Aku bisa apa, aku hanya diam saja.
Yang satu memihak pada si A, satunya lagi memihak pada si B. Mengenai film tersebut, film satu produksi dari negara, film kedua terlihat memihak si A dan film ke tiga memihak pada si B. Sungguh trgais menurut saya, masyarakat disuguhkan sejarah yang terlihat sekali perbedaanya. Siapa yang benar dan siapa yang salah hanya Allah yang mengetahuinya. Mungkin aku hanya bisa menilai dari estetikanya dalam film tersebut, kehebatannya dan kelihaiannya untuk menarik penonton. Yang sedikit saya ambil hanya satu sebenarnya, yaitu kehebatan orang Indonesia. Tragedi semacam itu kok bisa sampai terjadi di Indonesia. Sebagai masyarakat awam, tentunya harus bisa menilai dengan bijak permasalahan tersebut, masalah itu sumber dari produk dalam negeri atau luar negeri. Pengaruhnya dari mana, kita sebagai masyarakat Indonesia harus punya pegangan tersendiri mengenai hal itu. kalau takut untuk mempublikasikan ke khalayak umum, ya semestinya tidak perlu di publikasikan. Biar itu menjadi pengetahuan masing-masing individu manusianya. Benar salah tidak perlu dinilai, dan untuk orang yang tidak hidup pada zaman itu, tidak menguasai medan masalah itu, seharusnya tidak penting menyalah benarkan suatu kaum tertentu.
Ketika saya telusuri, ternyata dulu dalam keluargaku ada salah satu yang menjadi algojo untuk penumpasan orang-orang PKI. Cerita itu saya ketahui dari ibu, karena orang itu masih dalam keturunan dari sang ibu. Katanya, beliau pernah pulang membawa sehelai kuping orang yang sudah dipotong dengan pedangnya. Beliau juga pernah bercerita kepada Ibu, kalau sehabis membunuh, darah yang ada di pedangnya itu di minum dengan tujuan supaya masih ada keberanian untuk tindakan-tindakan semacam itu di lain hari. Dan sampai sekarang kata Ibu, kuburan beliau dari pihak keluarga tidak ada yang tau. Itu sedikit pengantar yang saya ketahui dari keluarga.
Jadi sejarah itu hanya diam, diam ditempat, tidak bergeser sedikitpun. Meskipun banyak orang yang mencoba menggesernya kemana-mana. Mengombang-ambingkan ke kanan kiri. Dalam menyikapi hal semacam itu, kita harus bisa menyesuaikan diri kita sebagai manusia terlebih dahulu. Sejarah minim untuk sebuah pengungkapan. Benar tidak nya pengugkapan itu juga relativ. Sebab masalah dan pengungkapnya sumbernya hanya satu, yaitu manusia. Apa yang menjadi sumber data dari manusia itu hanya relativ kebenaranya. Maka dari itu, saya dan orang yang sebagai penilai, tidak perlu menyalah benarkan kejadian ini. tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, manusia perlu menyadari jati dirinya dulu sebagai manusia. Karena manusia tidak bisa lepas dari suatu unsur kepemihakan dan pembelaan. Lebih baik sulutan dari korek api itu kita padamkan dengan air yang jernih dan murni. Tidak perlu membuang koreknya, hanya memadamkan unsur api yang ada pada koreknya.
Surabaya, 24 September 2017
Komentar
Posting Komentar