Langsung ke konten utama

BERUSAHA "SOK"

Diskusi semalam membuat saya berfikir sangat keras, saking kerasnya, aku sampai tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Semakin keras berfikir, maka kata-kata itu juga semakin memendam di semua saraf kepala. Ya Allah, mbok ya aku ini tolong dibantu, berilah aku kemampuan meraba keadaan sebelum saya berdiskusi, aku tidak mampu menganalisis sehebat diriMu. Engkau segalanya tau tentang apa yang ada di semua sumber masalah di semesta ini. Dari masalah yang terkecil sampai masalah yang menurut manusia tidak bisa mengatasinya. Mbok ya aku ini diberi sedikit saja lah bocoran tentang semua persoalan di negeri ini. Engkau kan maha dari segala sumber kekuatan dan kekuasaan di dunia ini.

Aku merasa sungguh tidak mampu sendiri dalam merangkai kosa kata yang ada di kepala. Bantuan dari sebatang rokok pun kesulitan untuk mendukung kata-kata ku supaya keluar dari kenyamanannya. Bodohnya, dengan kondisi dan situasi seperti itu, kok aku di suruh menjadi moderator dalam diskusi. Apa tidak ada orang lain yang lebih bisa dari aku. Aku ini bisa apa? bukannya saya “sok” pintar dihadapan kalian semua. Wong aku berbicara di depan kalian saja aku masih ragu-ragu dengan omonganku sendiri. Tapi aku berusaha “Sok” agar aku bisa. Ini  kan sudah muncul perbedaan lain, “Berusaha sok, agar aku bisa”. Kata sok biasanya identik dengan kesombongan. Tapi apapun keadaan, asal bisa menempatkannya dengan momen yang tepat, maka kata “Sok” tersebut bisa bermanfaat bagi pengguananya.

Aku juga kurang paham dengan istilah “Sok”. Itu merupakan bahasa indonesia, jawa atau bahasa serapan yang diambil dari bahasa lain. Bahkan dikalangan anak mudah kata “Sok” sudah melambung ke bahasa pergaulan sehari-hari. Kalau saya ibaratkan “Sok” itu dengan kata “Harus Bisa”, apakah salah?, “Harus Bisa” juga banyak penafsiran tersendiri bagi yang membaca atau yang sudah memahami. Saya bisa menafsirkan sendiri bahwasanya “Harus Bisa” muncul disebabkan oleh keadaan yang terpepet dan terpojokkan. Semula orang tidak bisa, kemudian dengan keadaan terpaksa, dia “Harus Bisa”. Keadaan yang tidak mendukungnya untuk bisa, kemampuan yang tidak dimiliki untuk bisa, tapi dengan “Harus Bisa” apapun yang awalnya tidak bisa menjadi bisa. Dalam bahasa jawanya biasanya bibir orang jawa berbunyi “Kudu Iso”. Kudu iso itu merupakan do’a tau mantra terkuat dari orang-orang yang terdesak.

Kalau berbicara penilaian, nilai itu diberikan oleh orang lain atau diri sendiri yang menilai.??? Jadi kita tahu tidaknya orang itu “Sok” atau bukan darimana.?? Berarti “Sok” atau tidaknya orang, yang tau adalah orang itu sendiri atau orang lain.?? Sebaik-baik penilaian yang menilai adalah diri sendiri dengan kesadaran hati.

“Sok” itu kata ajaib, dengan kata itu, akau sedikit bisa memimpin diskusi tersebut dengan sedikit lancar. Meskipun dengan pemikiran yang sedikit rumit, kata-kata yang pontar-pantir dan pertanyaan yang kurang implementasi. Sebab implementasi juga banyak membutuhkan imajinasi. Imajinasi dan implemetasi bisa berjalan berdampingan karena implementasi nantinya akan menjadi wujud kenyataan dari imajinasi.

Seperti salah satu simpulan diskusi kemarin, sang pemimpin diskusi mengatakan kalau pengetahuan akan kalah dengan imajinasi. Karena nantinya yang akan teraktualisasi adalah wujud dari imajinasi yang melayang-layang di pikiran para imajinator. Pernyataan tersebut saya kurang setuju, sebab disitu tidak ada kata ilmu, entah para ilmuan itu lupa atau sengaja menghilangkannya. Ilmu dan pengetahuan bisa berjalan dengan seiring imajinasi dalam pikiran. Ibarat ilmu dan pengetahuan adalah, ilmu itu caranya menggunakan pengetahuan, sedangkan pengetahuan adalah  hanya sekedar nama yang akan digunakan untuk aktualisasinya. Pengetahuan tanpa ilmu juga bisa hambar. Imajinasi tanpa ilmu juga sulit akan terwujud. Ilmu bukan hanya ilmu-ilmu yang ada di bangku perkuliahan dan sekolah, ilmu juga bisa diperoleh dari pengalaman sehari-hari atau jam terbang yang panjang. Imajinasi tanpa ilmu pengetahuan, nantinya akan sulit untuk mewujudkan imajinasi tersebut. Imajinasi itu terletak di angan-angan, sedangkan untuk menggapai angan-angan itu perlu ilmu pengetahuan.

Contohnya wujud kata “Sok” tadi, implementasi “Sok” itu tanpa ilmu, hanya sekadar pengalaman dan niat. Katanya Tuhan akan membantu hambanya dimana ketika dia terpepet. Ternyata imajinasi itu timbul setelah terwujudnya kata “Sok” tersebut. Bentuk imajinasinya adalah pertanyaan-pertanyaan beruntun yang belum tersampaikan, sedangkan aktualisasinya adalah pertanyaan tersebut yang sudah keluar dari mulut. Benarkan, jadi imajinasi itu belum tersampaikan. Yang tersampaikan atau terwujud, itu adalah kenyataan. Tapi kenyataanya, imajinasi lah sumber dari segala kenyataan. Bukan harapan yang mewujudkan kenyataan. meskipun sama-sama di angan, tapi harapan lebih ada unsur pemaksaan dari pada imajinasi. 




Kamis, 08 Agustus 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...