Diskusi semalam membuat saya berfikir sangat keras,
saking kerasnya, aku sampai tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.
Semakin keras berfikir, maka kata-kata itu juga semakin memendam di semua saraf
kepala. Ya Allah, mbok ya aku ini tolong dibantu, berilah aku kemampuan meraba
keadaan sebelum saya berdiskusi, aku tidak mampu menganalisis sehebat diriMu.
Engkau segalanya tau tentang apa yang ada di semua sumber masalah di semesta
ini. Dari masalah yang terkecil sampai masalah yang menurut manusia tidak bisa
mengatasinya. Mbok ya aku ini diberi sedikit saja lah bocoran tentang semua
persoalan di negeri ini. Engkau kan maha dari segala sumber kekuatan dan
kekuasaan di dunia ini.
Aku merasa sungguh tidak mampu sendiri dalam merangkai kosa
kata yang ada di kepala. Bantuan dari sebatang rokok pun kesulitan untuk
mendukung kata-kata ku supaya keluar dari kenyamanannya. Bodohnya, dengan
kondisi dan situasi seperti itu, kok aku di suruh menjadi moderator dalam
diskusi. Apa tidak ada orang lain yang lebih bisa dari aku. Aku ini bisa apa?
bukannya saya “sok” pintar dihadapan kalian semua. Wong aku berbicara di depan
kalian saja aku masih ragu-ragu dengan omonganku sendiri. Tapi aku berusaha
“Sok” agar aku bisa. Ini kan sudah
muncul perbedaan lain, “Berusaha sok, agar aku bisa”. Kata sok biasanya identik
dengan kesombongan. Tapi apapun keadaan, asal bisa menempatkannya dengan momen
yang tepat, maka kata “Sok” tersebut bisa bermanfaat bagi pengguananya.
Aku juga kurang paham dengan istilah “Sok”. Itu merupakan
bahasa indonesia, jawa atau bahasa serapan yang diambil dari bahasa lain.
Bahkan dikalangan anak mudah kata “Sok” sudah melambung ke bahasa pergaulan
sehari-hari. Kalau saya ibaratkan “Sok” itu dengan kata “Harus Bisa”, apakah
salah?, “Harus Bisa” juga banyak penafsiran tersendiri bagi yang membaca atau
yang sudah memahami. Saya bisa menafsirkan sendiri bahwasanya “Harus Bisa”
muncul disebabkan oleh keadaan yang terpepet dan terpojokkan. Semula orang
tidak bisa, kemudian dengan keadaan terpaksa, dia “Harus Bisa”. Keadaan yang
tidak mendukungnya untuk bisa, kemampuan yang tidak dimiliki untuk bisa, tapi
dengan “Harus Bisa” apapun yang awalnya tidak bisa menjadi bisa. Dalam bahasa
jawanya biasanya bibir orang jawa berbunyi “Kudu Iso”. Kudu iso itu merupakan
do’a tau mantra terkuat dari orang-orang yang terdesak.
Kalau berbicara penilaian, nilai itu diberikan oleh orang
lain atau diri sendiri yang menilai.??? Jadi kita tahu tidaknya orang itu “Sok”
atau bukan darimana.?? Berarti “Sok” atau tidaknya orang, yang tau adalah orang
itu sendiri atau orang lain.?? Sebaik-baik penilaian yang menilai adalah diri
sendiri dengan kesadaran hati.
“Sok” itu kata ajaib, dengan kata itu, akau sedikit bisa
memimpin diskusi tersebut dengan sedikit lancar. Meskipun dengan pemikiran yang
sedikit rumit, kata-kata yang pontar-pantir dan pertanyaan yang kurang
implementasi. Sebab implementasi juga banyak membutuhkan imajinasi. Imajinasi
dan implemetasi bisa berjalan berdampingan karena implementasi nantinya akan menjadi
wujud kenyataan dari imajinasi.
Seperti salah satu simpulan diskusi kemarin, sang
pemimpin diskusi mengatakan kalau pengetahuan akan kalah dengan imajinasi.
Karena nantinya yang akan teraktualisasi adalah wujud dari imajinasi yang
melayang-layang di pikiran para imajinator. Pernyataan tersebut saya kurang
setuju, sebab disitu tidak ada kata ilmu, entah para ilmuan itu lupa atau
sengaja menghilangkannya. Ilmu dan pengetahuan bisa berjalan dengan seiring
imajinasi dalam pikiran. Ibarat ilmu dan pengetahuan adalah, ilmu itu caranya
menggunakan pengetahuan, sedangkan pengetahuan adalah hanya sekedar nama yang akan digunakan untuk
aktualisasinya. Pengetahuan tanpa ilmu juga bisa hambar. Imajinasi tanpa ilmu
juga sulit akan terwujud. Ilmu bukan hanya ilmu-ilmu yang ada di bangku
perkuliahan dan sekolah, ilmu juga bisa diperoleh dari pengalaman sehari-hari
atau jam terbang yang panjang. Imajinasi tanpa ilmu pengetahuan, nantinya akan
sulit untuk mewujudkan imajinasi tersebut. Imajinasi itu terletak di angan-angan,
sedangkan untuk menggapai angan-angan itu perlu ilmu pengetahuan.
Contohnya wujud kata “Sok” tadi, implementasi “Sok” itu
tanpa ilmu, hanya sekadar pengalaman dan niat. Katanya Tuhan akan membantu
hambanya dimana ketika dia terpepet. Ternyata imajinasi itu timbul setelah
terwujudnya kata “Sok” tersebut. Bentuk imajinasinya adalah
pertanyaan-pertanyaan beruntun yang belum tersampaikan, sedangkan
aktualisasinya adalah pertanyaan tersebut yang sudah keluar dari mulut.
Benarkan, jadi imajinasi itu belum tersampaikan. Yang tersampaikan atau
terwujud, itu adalah kenyataan. Tapi kenyataanya, imajinasi lah sumber dari
segala kenyataan. Bukan harapan yang mewujudkan kenyataan. meskipun sama-sama
di angan, tapi harapan lebih ada unsur pemaksaan dari pada imajinasi.
Kamis, 08 Agustus 2017
Komentar
Posting Komentar