Langsung ke konten utama

TIDAK BISA BERFIKIR DAN BERKATA-KATA

Aku tidak bisa berkata apa-apa, tidak bisa berfikir apa-apa, sampai aku tidak bisa mengartikan sisi pengalamanku ketika itu. Kehidupan yang tak terbiasa aku lakukan. Ketika kecil pun mungkin hal semacam itu tidak terjadi di kalangan kehidupan sosialku. Kalau pun orang yang bisa menduga-duga apa yang menjadi sebab akibat yang ditimbulkan anak-anak itu, bisa jadi hanyalah analisis praduga. Karena manusia hanya bisa mengira sampai pada batas tertentu. Sedangkan untuk kepastiannya, manusia tidak berhak melakukannya. Kehidupan sosial mempunyai peran penting disetiap perkembangan individu manusia. Kata guru saya “Orang yang bergaul dengan minyak wangi, maka orang itu akan ketularan wangi. Jika ada orang yang bergaul dengan kotoran, maka orang itu juga akan ikut kotor.” Tapi jika dilihat dari sudut pandang berbeda, saya tidak bisa membedakan mana kotor dan bersih. Ada orang yang dianggap kotor, tapi di lain perilakunya, dia mempunyai hati yang besar. Penuh ketoleransian, kedermawanan dan kearifan. Di sisi perilakunya yang tak begitu baik mungkin dia menyembunyikan hatinya tersebut. Banyak juga orang yang dianggap bersih, dilihat dari perilakunya sudah terlihat kalau dia mencirikan orang  yang baik. Tapi tanpa banyak orang tau kalau di hatinya selalu terbesit untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan perilaku pencitraannya ke orang lain. Saya betul-betul bingung dengan sistem penilaian yang bersifat subjektif seperti itu. Kalau ingin mencoba menilai seseorang dengan objektif, harus betul-betul dinilai dengan teliti. Selain dari perilakunya, alangkah baiknya dicoba beberapa hari tidur dirumahnya atau menjadi asisten pribadinya dengan suka rela.

Saya tidak habis pikir, tetangga saya kemarin mengalami pencurian dengan teknik penggendaman, bayangkan mau mencuri saja ada tekniknya. Dia seorang juragan ikan tambak, apapun hasil ikan yang dipanen petani tambak, selalu di jual kepadanya. Tiap pagi dia menunggu jemputan sambil berdiri di pojokan desa pinggir jalan, entah saat itu kenapa orang yang ditunggu lama sekali, oh ya, tiap hari dia selalu ke pasar ikan untuk menjual panen ikan para petani. Pakaiannya terlihat mewah, kalung dan gelang yang dikenakannya dari emas. Tidak terlihat kecil, melainkan besar-besar. Memang dandanan para juragan ikan di tempat saya seperti itu. Tapi Mungkin hari itu adalah hari sialnya. Setelah lama menunggu, akhirnya ada mobil yang menghampirinya, mobil bagus berwarna merah, sopirnya menawari dia untuk naik di mobilnya. Tanpa pikir panjang dia langsung masuk ke mobil tersebut, berhubung sudah dikejar watu. Karena kalau terlalu siang, pasar ikan itu segera tutup. Ternyata di dalamnya tiga orang laki-laki berjubah putih-putih, ditangannya selalu menggerakkan tasbih, mulutnya tiada henti mengucap kalimat dzikir.bahkan katanya, mereka bertiga tersebut ketika perjalanan sering menasihatinya. Mirip sekali dengan para ulama’-ulama’. Tapi apa, sekejap saja dia langsung terkena gendam, seluruh uang yang ada di dompetnya diambil, semua perhiasan yang dikenakannya raip di curi mereka. Tragisnya dia diturunkan tidak di tempat tujuannya dengan tidak sadar.
          
Dari kejadian itu, saya tidak bisa memandang orang lain dengan sebelah mata, sebab orang baik belum tentu baik, orang jelek pun belum tentu jelek. Baik dan jelek hanya Allah yang mengetahuinya. Meskipun kalau kamu menganggap orang baik, apakah kamu tau kesehariannya dirumah, bagaimana cara dia bersikap terhadap diri sendiri.  Orang biasanya mempunyai prinsip kehidupan sendiri-sendiri. Pikiran orang-orang pun bisa bercabang-cabang. Ada yang berpikiran kalau sebisa mungkin dia harus menyembunyikan kebaikannya seperti dia menyembunyikan aibnya sendiri, lebih baik orang menilai dengan keburukan, biar Tuhan saja yang menilai saya dengan kebaikan melalui hatiku.

Itulah salah satu ciri kehidupan sosial, banyak kaca mata yang digunakan dalam menilai. Sama halnya dengan orang-orang yang saya temukan di pinggiran kota Surabaya, tepatnya di terminal Joyoboyo. Miris, ketika saya tiap tahun merayakan kemerdekaan bangsa Indonesia, bahkan seringkali menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tapi ketika melihat mereka berkehidupan, terasa sedih dan bersyukur di hati. Bagaimana kalau aku yang dilahirkan di tempat seperti ini?, Pasti aku akan tidak menjadi yang saat ini. perilaku dan kebiasaanku pasti sangatlah berbeda. Kesedihanku terasa sangat mendalam ketika saya berpikir kalau seberapa dosanya, para teman-teman yang diatas sana seakan melupakan sisi lain dari kehidupan sosial yang seperti ini. Peristiwa itu saya ketahui saat aku mencoba mengikuti komunitas sosial yang bernama Lentera Kota, komunitas ini berdomisili di Kampus UNESA, karena kebanyakan pendiri dan para anggotanya berkuliah di UNESA. Di situ saya mulai sadar. Tidak ada apa-apanya orang kaya kalau bukan karena mereka, tidak ada apa-apanya para pejabat yang duduk di kursi bagus, berfasilitas mewah, kalau bukan karena mereka semua.

Katika saya tanya “Apakah mereka sekolah?”, dan jawabannya adalah ternyata mereka sekolah. Kemudian, apakah dengan mereka sekolah sikap dan perilakunya tidak bisa berubah. Apakah sebegitu kuatnya peran sosial mempengaruhi mereka. Kenapa saya bisa ngomong seperti itu, karena saya tau dan pernah berkecimpung disana. Saya tidak mau menceritakan sikap mereka, kelakukan serta bagaimana cara mereka beraul. Kalau mau tau silahkan datang sendiri kesana. Analisis serta coba menilai sikap mereka dengan sesama dan bergaul terhadap temannya.

Apakah mereka termasuk orang yang teraniaya? Kalau memang teraniaya, lantas mereka dianiaya oleh siapa?. Sedangkan di hadapan Tuhan, lebih dikabulkan mana do’a ora yang teraniaya atau orang yang tidak teraniaya. Menurut saya, percuma kalau orang-orang yang sedang memanifestsikan politiknya untuk Indonesia ini tanpa do’a dan dukungan mereka. Do’a mereka lah yang lebih terkabul dibandingkan dengan do’a-do’a orang yang biasa. Negara tidak bisa berhasil tanpa do’a orang-orang seperti mereka. Tugas negara adalah membesarkan hati mereka, mengayomi mereka dan mengasihi mereka. Itu adalah rakyat Indonesia. Do’a dari kejayaan bangsa adalah berasal dari mereka semua.

Para ulama’, kiyai, dan orang-orang pintar tidak pernah tau, do’a siapa yang dikabulkan oleh Allah. Do’a terkabul adalah bisa dari mana saja, bisa dari orang yang mendo’akan, bisa dari orang yang dido’akan. Bahkan biasanya disuatu acara pengajian yang sampai ratusan bahkan ribuan penontonnya, ada yang paling pojok di bawah pepohonan dengan ikhlas mendengarkan kiyainya berceramah, ada yang menonton dari yang paling jauh dari panggung. Mungkin itu yang dikabulkan do’anya oleh Allah. Kita tidak tau siapa dan kapan do’a kita dikabulkan oleh Allah.

Harapan dari Lentera Kota adalah tentunya dengan hati yang ikhlas, tanpa ada rasa pamrih untuk mendapatkan sesuatu. Mereka berupaya sedikitnya bisa mengubah sikap dan perilaku mereka dalam bergaul. Semua anggota di lentera kota tidak bisa merubah keadaan disana, mereka hanya bisa berusaha dan berjuang. Selebihnya hanya Allah yang bisa menentukan atas izin dan kuasanya.

Mereka sama sekali tidak bisa disalahkan, mereka kelihatan kotor secara kasap mata, tapi secara hati, mereka lebih kuat dibandingkan kita semua, mereka terbiasa terlatih dalam kondisi seperti itu. Kuat secara mental dan hati, mereka bisa lebih tangguh dalam menghadapi kondisi apapun. Sebab mereka sudah terbiasanya dengan ancaman, desakan, dan kesusahan Semoga mereka adalah orang-orang yang disayang oleh Allah, semoga Allah mau memajukan negara Indonesia ini karena mereka semua. Mereka adalah orang yang harus diingat, tapi seakan dilupakan.




Minggu, 20 Agustus 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...