Langsung ke konten utama

PERTANYAAN YANG MENGUJI

Membahas masa lalu itu memang ada sebuah kenikmatan tersendiri. Entah dari unsur ceritanya atau dari unsur orang yang menceritakannya. Sebenarnya Seberapa penting sih, masa lalu itu. Saya menganalogikan seperti ini, manusia adalah makhluk yang dalam hidupnya selalu berproses, selalu mengalami perubahan-perubahan. Perubahan yang bisa dilihat orang lain atau perubahan yang bisa dirasakan oleh diri sendiri. Perubahan juga bila dikaji secara esensinya terdapat pandangan bermacam-macam, dapat berupa perubahan dari buruk ke baik dan perubahan dari baik ke buruk. Sebab keadaan lah yang bisa memilih manusia itu bisa berbuat baik atau pun buruk. Istilah sosialnya, setiap manusia dibekali Tuhan dengan dua moral, moral baik dan buruk. Bukankah moral itu hanya menyangkut tentang kebaikan.? Dulu, Sempat di sesi mata kuliah yang saya pelajari, teman saya bernama Bagong bertanya kepada dosen yang mengajar kami,

“Bagaimana moral itu bisa buruk, sedangkan moral itu sudah menyangkut dengan kebaikan, kalau keburukan berarti tidak ada hubungannya dengan moral. “ Tanya Bagong.

“Moral itu tentang nilai dan sikap Gong. Manusia itu besifat fleksibel, kadang baik, kadang buruk, kadang juga keburukan diwarnai dengan kekhilafan. Disamping keburukan pasti ada setitik kebaikan, atas hidayah Allah, titik itu mungkin saja bisa melebar dari yang titik menjadi sebuah lingkaran penuh. Begitu juga sebaliknya, kebaikan itu bisa berubah menjadi keburukan disebabkan karena niatnya, ibarat kebaikan yang terselubung. Jadi sebagai manusia kita harus bisa berbaik sangka dan pintar-pintarnya mengolah kebaikan. Allah menciptakan manusia sangatlah komplit, setiap harinya manusia disuruh untuk selalu berfikir “ Jawab Pak dosen.

“Mengapa manusia setiap harinya selalu berfikir Pak?” Sahut Bagong dengan nada menguji.

“Kamu kalau diberi orang sesuatu berupa kenikmatan, apakah kamu tidak bersyukur kepada Allah? Semua ragamu baik batiniah atau lahiriah, itu anugerah dari Allah, setiap nafas yang kau hirup dan kau buang, setiap biji beras itu anugerah dari Allah. Nikmati dan syukuri dengan cara memanfaatkannya dengan baik. Sama halnya dengan Akalmu, buat apa Allah menciptkan akal kalau tidak untuk berfikir.“ Jawab Pak Dosen agak sedikit kesal.

“Kamu itu bertanya atau menguji Gong, pertanyaanmu kalau saya lihat sepertinya agak menguji kesabaran.“ Paimen ikut nimbrung.

“Saya ini orang yang kurang ilmu, jadi maklum kalau saya selalu bertanya, toh hidup itu kan pertanyaan ” Jawab Bagong dengan lembut.

“Lha dengan moral yang buruk itu, manusia bisa belajar dan berfikir. Karena keburukan menghantarkan orang pada kebaikan. Jangan kalian anggap keburukan itu hina. Tanpa keburukan, orang tidak akan menemui kebaikan. Kemudian Allah memberi hidayah kepada orang yang bermoral buruk supaya dia berfikir dari keburukan masa lalu.” Lanjut Pak Dosen.

“Jadi keburukan itu sangat penting ya Pak, berarti baik buruk itu iturelatif. Entah itu melalui buruk dulu atau baik dulu. Yang penting manusia itu berproses untuk menuju ke Allah, bukan begitu Pak?” Simpulan dari Bagong.






Jum’at, 4 Agustus 2017


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...