Langsung ke konten utama

DANA DESA WA AMAL JARIYAH

Gugun dan Karjo lagi-lagi dipersulit oleh suatu keadaan. Keadaan ini sudah seringkali menjadi rutinitas di desanya. Antara tahu, tidak tau dan kurang tau, artinya tahu tapi tidak mau tau dan sama sekali tidak pernah tau. Pemikiran Karjo dan Gugun seiring berjalannya waktu terus memunculkan spekulasi perbedaan pendapat diantara keduanya. Gugun orang nya tau, tapi dia tidak mau tau, sedangkan Karjo, orangnya hanya sedikit-sedikit tau. Dengan pemikiran semacam itu memunculkan dua sifat yang berbeda. Perbedaan semacam itu serasa sulit untuk menemukan jawaban jika mereka berdiskusi berdua tanpa ada seorang pelerai. Yang satu sebenarnya mengerti tapi dia enggan untuk memberi jawaban, satunya lagi sedikit mengerti tapi mulutnya terus saja berbicara tentang apa yang kurang dia mengerti. Akibat dari kekurangannya tersebut, Karjo seringkali salah menilai sesuatu, padahal Gugun mengerti kesalahannya itu dengan dia tidak mau memberi kebenarannya yang seperti apa.

Mereka berdua merasa cukup mempunyai ilmu untuk menilai sesuatu. Sayangnya, mereka kerap kali membicarakan tentang apa yang tampak di matanya. Tapi mereka minim sekali menilai apa yang tidak tampak oleh matanya. Dalam segi struktur penilaian yang terlihat, disitu hati lah yang memiliki peran utama untuk memunculkan anggapan praduga, orang tidak bisa menilai hanya dengan kasap mata. Karena dengan kekasapan yang terasa, hati merupakan organ terpenting untuk merasakannya. Setelah hati sukses untuk berpresepsi, kemudian kedua mata melakukan perannya untuk melihat. Mata hanya bertugas melihat, bukan menilai. Nilai hanya sekadar memburuk sekaligus membaikkan suatu hal.

Kalau memang penilaian itu hanya bisa dilihat tanpa dirasakan, bagaimana dengan bunga mawar, bunga yang sangat indah dengan jajaran kelopak, daun bungah, hingga putik dan benang sarinya. Bunga yang identik dengan percintaan, macam-macam warnanya, harumnya. Bunga yang mengidentifikasi cinta kasih tulus seorang laki-laki untuk perempuannya sekaligus melambangkan keindahan bagi penerimanya. Tapi di sisi lain, bunga mawar memliki duri yang tajam. Bagaimana kalau orang hanya menilai dari segi penglihatannya, pasti mengira bahwa bunga itu indah, dengan sebelumnya orang menilai itu belum pernah mempelajari anatomi bunga mawar. Seandainya penilaian tersebut difokuskan pemikiran yang lebih banyak, seperti hati, mata, lalu indera perasanya. Akan lebih pas dari segi nilainya. ada segi indahnya dan pasti ada segi buruknya. Terkadang penilaian tak harus sama dengan kenyataan. Sebab kenyataan tak selamanya benar.

Selisih paham mereka berdua terus saja berkelanjutan. Dari bunga mawar hingga sampai ke anggaran dana desa. Anggapan mereka, orang desa identik dengan kurangnya pengetahuan. Memang ada sedikit orang yang mengerti, terutama si Gugun, tapi dengan kepahamannya, dia seakan-akan tidak bisa menyalurkan kepahamannya ke orang lain, terutama si Karjo yang kurang paham dengan anggaran dana desa itu. Masyarakat yang hanya bisa menilai dari segi penglihatannya, hanya cukup untuk menerima semuanya. Tapi di sisi lain ada sedikit keistimewaan yang dimiliki Karjo, dia mempunyai keahlian untuk menganalisis sesuatu dengan tajam. Ketajamannya tersebut, tentunya masih kalah jika dibandingkan dengan Gugun. Tapi kelemahannya, dia tidak bisa memastikan antara penilaiannya dengan kenyataan. Dia hanya bisa menganalisis secara lahiriah. Seringkali juga dia salah menyimpulkan permasalahan. Sedangkan Gugun orang yang selalu benar menurut Karjo, entah kebenaran itu memang benar tau hanya sekadar benar, karena hanya karjo yang menganggap pendapat Gugun benar. Padahal pendapat Karjo bisa memungkinkan untuk benar, sebab tidak ada orang yang menganggapnya benar, jadi Karjo kurang yakin dengan kebenarannya.

Suatu malam, mereka berdua sengaja saling mengajak berdiskusi. Perihal dana desa tersebut. Mereka ingin mencari jalan keluar bagaimana yang baik. Sebab, penduduk desanya kurang mengerti tentang hal-hal yang menyangkut pemerintahan. Kebenaran dan solusi itu mereka cari sendiri, sebatas kebenarannya mereka berdua. Toh, apapun yang mereka katakan juga tidak berpengaruh terhadap penduduk desa. Amggapannya hanya angin sepoi-sepoi yang lewat, tugasnya hanya menyejukkan dalam sekejap kemudian hilang.

“Gun, apa kamu tidak melihat di Balai Desa tadi terpampang jelas anggaran pembelanjaan desa, kenapa hanya tahun ini ada, sebelumnya aku tidak pernah melihat anggaran itu?” Tanya Karjo.

“Kamu kira aku Kepala Desa, tanyamu kok ngawur gitu” Jawaban Gugun seolah tidak tau.

“Kamu kan penganalisis yang hebat Gun, pasti tau lah” Lanjut Karjo dengan sedikit senyum lebar mulutnya.

“Kamu jadi orang itu yang husnudzon dong, mungkin saja Bapak Kades merasa kasihan dengan warganya ”

“Sudah tiga tahun dia kurang terbuka dengan dana transparasi desa, anehnya para warga juga tidak bertanya dengan Pak Kades. Apa perlu penduduk desa diberi pelajaran tentang pemerintahan, sehingga dia bisa kritis dengan keadaan pemerintahan yang ada di desanya” Penjelasan Gugun sambil memandang Karjo yang mempunyai wajah linglung, antara tau atau tidak tau tentang apa yang Gugun omongkan.

“Lantas apa Gun solusinya?” Karjo bertanya lagi.

“Kamu ini ada-ada saja yang dipertanyakan, apakah dengan pertanyaanmu bisa merubah segalanya. Minim Jo, Aku tidak punya hak apapun disini. Maka dari itu, dari dulu aku selalu diam, aku tidak mau tau urusan mereka. Yang terpenting semua penduduk desa merasa tidak dirugikan dengan pemahaman mereka, yang mana antara tidak tau dan tidak paham. Lebih baik mereka tidak paham dari pada mereka tidak bisa tidur karena mikir uang negara.”

“Kalau aku punya pandangan begini, di desa yang paling jelas tentang kelola uang adalah di masjid. Dari pemasukan orang yang ingin disebutkan namnya hingga yang tak ingin disebutkan namanya, semua jama’ah pasti mengetahuinya. Sebab setelah selesai sholat Maghrib, pasti Imam masjid mengumumkannya. Bagaimana kalau kita meminta kerjasama antara Pak Kades dan Imam masjid untuk mengumumkan uang anggaran desa juga di masjid.” Jawaban Gugun tentang pertanyaan Karjo. Karjo juga bingung antara percaya dan tidak percaya, seorang Gugun mau berbicara seperti itu.

Setelah mereka berdiskusi, mulailah mereka mau menemui Pak Kades dan Imam masjid setempat. Entah pendapatnya di dengar atau tidak oleh Pak Kades. Kalau menurut Imam masjid, dia setuju-setuju saja, asalkan niatnya baik dan tidak merugikan. Sedangkan mereka melihat ekspresi dari Pak Kades belum tentu jelas. Mereka juga tidak paham dengan raut mukanya. Antara setuju dengan tidak setuju.

Adzan maghrib menjelang, semua penduduk desa menuju ke masjid untuk melaksanakan sholat. Tapi Karjo dan gugun tidak berjama’ah ke masjid, dia sholat dirumah masing-masing. Setelah para jama’ah menunaikan sholat maghrib, suara mic diketuk oleh imam masjid, dug dug dug, suara itu terdengar tiga kali. Mereka berdua mengira imam masjid mengumumkan sumbangan untuk masjid. Tapi ternyata dia mengumumkan orang meninggal.





Rabu, 16 Agustus 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...