Ketika aku selesai pulang mengaji di musholla pojok kampung. Kok pas, waktu itu Pak Ustadz memberi materi tentang ikhlas. Tapi materi yang disampaikan tidak cukup jelas buat Bagong. Karena Bagong adalah anak kecil yang lugu tapi mencoba berfikir keras, ilmu tersebut tidak semena-mena ditangkap di otak dan lubuk hatinya Bagong yang paling dalam. Setibanya di rumah, dia seakan-akan bingung, antara hati dan pikirannya mencoba bertolakan dengan materi yang disampaikan Pak Ustadz tadi. Hati bisa saja menerima, tapi Bagong mencoba membolak-balik pikirannya, antara terima dan tidak terima.
Aku hanya melihat ekspresi dari muka Bagong, nampak bingung. Sepertinya ada sebuah pertanyaan besar yang ingin ditanyakan. Saat itu kebetulan Paimen berkunjung ke rumah Bagong.
“Saya bingung tentang materi yang disampaikan Pak Ustadz tadi, katanya ikhlas itu letaknya di hati. Lalu bagaimana cara kita tahu kalau dia ikhlas atau tidak? Apakah ikhlas itu ada caranya? Kalau memang ada caranya, bagaimana cara melatih diri untuk ikhlas?” Tanya Bagong pada Paimen.
“Kamu itu Gong, tadi Pak Ustadz menjelaskan kamu tidak mau bertanya. Kalau kamu bertanya kepadaku, lantas aku ini siapa Gong, Ustadz, Ulama’, kiyai, habib, atau Gus. Kamu itu aneh-aneh saja. Mungkin juga ilmuku lebih lebih rendah dari ilmumu Gong. Bagaimana bisa kamu bertanya kepadaku.” Jawab Bagong dengan ekspresi sedikit kesal.
”Begini Men, mungkin Bagong tidak bertanya kepadamu, dia hanya meluapkan sebuah pertanyaan besar yang ada di otaknya. Bisa jadi Bagong berbicara sendiri. Tuh, lihat saja,dia masih nampak kebingungan. Berjalan mondar mandir” Sahut saya.
“Gong, kenapa kamu sampai mempermasalahkan hal sepele seperti ini?” Paimen tanya balik ke Bagong.
“Sepele, ini bukan sepele Men, aku hanya ingin benar-benar mengerti tentang apa itu ikhlas. Aku orang bodoh yang tidak tahu kebodohanku, aku orang yang sangat kurang ilmu. Mumpung aku masih kecil, aku tidak mau menerima ilmu pengetahuan yang salah. Ilmu pengetahuan juga harus diiringi dengan cara berpikir yang baik. Suapaya aku tidak salah kaprah dalam mengartikan segala sesuatu.” Jawab Bagong dengan sedikit mikir.
“Aku mencoba mendalami tentang ikhlas ini karena aku berfikir, kalau ikhlas sangat mulia di mata Allah SWT. Hasil yang manusia peroleh dari perjuangannya yaitu ikhlas. Ikhlas adalah sifat yang berasal dari hati dan penuh dengan kesadaran, jika mau melakukannya” Tambahan dari Bagong
“Mungkin kalian lupa, kita mendapat materi ini sudah beberapa kali. Di sekolah, di tempat ngaji dan di acara-acara kampung, seperti peringatan Maulid nabi, Isro’ mi’roj dan lain sebagainya. Tapi menurut yang saya pahami dan menurut apa yang sudah saya rasakan. Jadi ikhlas itu sifat yang tidak bersumber kepada materi, melainkan kepada niat yang berasal dari hati. Sifat itu berbeda dengan sikap. Kalau sifat berasal dari hati yang mencerminkan sikap atau perilaku. Jika sifatnya baik, insyaalah perilaku pun mengikutinya dengan baik. Sedangkan sikap yaitu sama halnya dengan perilaku, orang yang bersifat buruk, pasti dia mempunyai sikap yang kurang baik. Bahkan bisa juga orang yang mempunyai sifat buruk, dia bisa mempunyai sikap yang baik.“ Jawaban saya
“Kalau itu sih namanya sandiwara. Persis seperti para koruptor-koruptor di Negara ini. Dulu waktu mencuri uang rakyat, mereka dengan sadar mengambilnya, tanpa ada pikir panjang, tanpa ada analisis yang lebih jauh, tanpa pertimbangan matang-matang dan mereka pun tidak mempermasalahkan dirinya. Akhlak mereka pun yang menjadi taruhannya. Dengan seperti itu, lalu apa bedanya koruptor dengan pencuri. Tetapi lucunya, ketika sudah ditetapkan bersalah, mereka seperti ulama’ yang kemana-mana membawa tasbih dan berkopyah.” Paimen ikut nimbrung.
“Oh ya memang, dan juga Betul apa yang dikatakan Bagong tadi, ikhlas adalah sifat yang menentukan hasil kita dalam berjuang. Perjuangan diiringi dengan keikhlasan, maka hasil yang kita dapat akan menjadi berkah. Dalam suatu tindakan, yang menjadi sumber utama landasan berfikir adalah keikhlasan. Keikhlasan merupakan sifat yang cara follow up nya berupa tindakan atau perbuatan. Untuk ibadah sekalipun, yang menjadi landasan kita saat ini masih bukan karena Allah, melainkan masih karena Pahala bahkan surga. Padahal surga itu surganya Allah. Analoginya, seperti ini, kalau kita meminta buah mangga ke tetangga, apakah kita harus langsung mengambil buahnya, bukankah kita meminta izin terlebih dahulu kepada pemiliknya. Jadi Ikhlas berada diantara dirimu, hati dan Allah SWT” Jawaban saya.
Saya menjawab bukan karena saya pintar, ini berasal dari Allah, apa yang saya ucap berasal dari Allah.
Tapi kelihatannya Bagong masih bingung, kepalanya masih beribu-ribu pertanyaan.
Senin, 7 Agustus 2017
Komentar
Posting Komentar