Langsung ke konten utama

CERITA KOPI DALAM PELUKAN



(1)
Dari kopi tadi malam, aku banyak
tau tentang dirimu.
Rasa pahit dari kopi terasa momen
yang tepat untuk menggambarkan tentangmu.
Sebab aku tak bisa melewati seluruh
bayangmu, jika cintamu tak pernah kau
hardikkan pada semanis gula kopi masa lalu.
Bahkan Terkadang kamu lupa tentang waktu,
sehingga tak engkau sempatkan
menyelami haus dahagaku.

Tentang malam itu, suara langit
menggema dari dasar hatimu.
Terdengar bising sampai jatuh
dalam pelukanku
Kau pernah berbicara perihal awan yang pekat,
sungai yang panjang dan gunung yang menjulang tinggi.
Tapi tidak pernah kau ajarkan untuk menikmati
keindahannya lewati mesranya dirimu.

Pernah aku baca detak jantungmu yang mulai layu,
 sebab dari mataku
 ada pekat awan yang fana
Ku raba seluruh jemarimu yang halus bagai wujudku tentang rindu.


(2)
Perihal kopi, sengaja aku menutup mataku.
Barangkali aku lebih berkonsentrasi untuk
menghitung tiap sel cintamu.
Agar ampas kopi saja yang selalu pekat,
asal jangan tatapanmu.

Inilah tentang kopi, hitam manis rasa
kesungguhanmu.
Tak bisa aku bedakan perihal manis
dengan hitam,
bagiku hitam adalah nafsu.
Tapi manis adalah cinta yang
memunirkan segalanya tentang nafsu.

Tentangmu, berabad keabadianku mengenal
cinta semesta, mungkin aku sampai tersamar
kepadaNya.
Aku kau buat takjub oleh dingin malam dan cahaya rembulan.
Atau bijaknya sepasang merpati di ketinggian.
Sebab, aku terlahir dari dua rumpun kasih yang
tergerai oleh cinta.



Jum'at, 25 Agustus 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...