Kata terakhir merupakan penutup segalanya, kebimbangan dengan segala risau terhapus sudah ketika waktu tak dapat memulainya dari awal. Bentuk semua harapan tertutup dengan kata penyelesaian. Segala macam keputusan saat itu tak pernah terpikirkan sebelumnya. Semuanya mengalir dengan aliran waktu yang tidak pernah haus dahaga. Aku hanya mengikuti semua bentuk perintah dari akal kemudian turun dari urat-uratnya nya yang tertelan oleh hati. Hati memang tidak bisa dipungkiri. Karena hati adalah semacam alat ketidak sadaran manusia. Aku sangat menyadari kalau hati memang sumber dari segala cinta dan anugrah. semenjak itu aku menemukan setitik harapan bersama dengannya. Seorang yang sebelumnya tidak bisa terlewatkan oleh mata. Mata juga tidak bisa berbohong dengan kesadaran hati. Hati yang mengatur segala macam rasa.
Entah mengapa aku dirasuki getaran-getaran kuat ketika mata melihat sosok keindahan itu. Aku menemukan dia seperti surga membawa angin siang bolong, terik panas dan menyengat kulit. Panas itu membawa sebuah keindahan waktu. Entah mengapa Dia menatap jam yang kau kenakan pada pergelangan tangan kiriku. Dia mendekat, semakin mendekat. Dag dig dug semakin terasa. Panas mendekap. Bau harum melati parfumnya tercium dari jarak paling terjauh. Aku bingung kenapa dia semakin mendekat. Berjalan terus berjalan menghampiriku. aku sembunyikan senyuman manisku dari tutupan sepuluh jari tanganku. Tiba-tiba jarak itu tersisa beberapa sentimeter saja. Saat iku aku duduk di balkon halte bis tua dekat kota. Sebelah trotoar yang kusam dan kotor.
“Mas, sekarang pukul berapa?” Tanya perempuan itu
“ouuh, sekarang pukul sebelas siang mbak” Kataku sambil menatap jam tangan di pergelangan kiriku.
“Oh ya sudah Mas, terimakasih” Ucapan perempuan itu.
Ucapan itu terakhir kalinya saat bertemu diriku kala itu. Tatapan mesranya sungguh kenangan yang berharga. Wangi parfum badannya seakan melekat pada bulu-bulu hidungku yang panjang menjulang keluar. Tubuhnya ramping tinggi sedikit berisi. Tapi itu hanya semula. Hanya sekian detik berada di hadapan seluruh tubuhku. Tak terkecuali mata. Bahkan hati pun ikut merasakannya. Semula senyuman itu aku sembunyikan, namun ketika dia berjalan di hadapanku, senyuman yang semua aku miliki keluar dengan seiring hatiku yang dihinggapi bunga-bunga mekar dan harum. Bunga-bunga itu sekan pendorong untuk aku menyapa senyumnya yang sangat manis. Kerudungnya yang tak begitu panjang. Sangatlah anggun saat mata mulai menjamah penampilan elok nya. Sebelumnya aku tidak pernah sama sekali percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Tapi itu yang aku rasakan saat menatap wajahnya.
***
Kenapa penyesalan selalu muncul di akhir peristiwa. Penyesalan itu semakin mendalam waktu aku lupa memperkenalkan diriku dan berbalik menanyakan namanya. Hari-hari selalu kulalui. Duduk-duduk di pinggiran halte sembari menengok kanan kiri melihat semua penumpang bus kota. Debu-debu menyelimuti udara yang berhembus. Harapan itu selalu muncul. Aku ingin bisa bertemu dengannya walaupun itu sesaat. Bila aku bertemu, akan aku tanya siapa namanya, rumah nya dimana. aku tatap matanya dalam-dalam. Semua bumbu-bumbu cinta yang telah merasuk dari penjuru hati akan aku kirim sinyal itu dengan benih-benih cinta paling tulus untuk memiliknya. Memang cinta itu indah. Cinta bisa sempurna. Bila saling melengkapi. Kadar serta ukuran cinta bisa di buktikan dengan ujian. Maka dari itu aku percaya, pertemuan dan perjumpaan waktu itu, ditambah lagi rasa ingin bertemu yang aku rasa saat ini itu adalah sebuah ujian.
Wajahnya tidak bisa hilang dari bayanganku, aku tetap menunggu di halte tua itu. Berjam-jam, berhari-hari bahkan berbulan-bulan aku selalu setia menunggu kedatangannya meskipun itu hanya sekadar menatap wajahnya. Sama sekali tidak diduga, pada hari terakhir pada bulan romadhon. Takbir terus berkumandang di masjid-masjid. Tetap aku terus duduk di halte tua itu. Tiba-tiba aku melihat wajah perempuan itu di perkampungan dekat halte tersebut. Sengaja aku mendekatnya, aku dekati dia secara perlahan-lahan. Langkah itu semakin pelan ketika aku mulai bingung, “Dengan apa aku harus menyapa perempuan itu, kata apa yang harus akau ucapkan saat bertatap wajah dengannya?”. ada sesuatu barang yang ia bawa di tangannya, kelihatannya dia lagi perjalanan pulang, entah, mungkin dia pulang dari pasar. Kemudian dengan terpaksa aku ikuti dia dari belakang. Perlahan-lahan tapi pasti. Keadaan kampung yang ramai sekali, maklum malam takbiran. Orang-orang mengumandangkan takbir mengagung-agungkan kebesaran Allah setelah melalui bulan suci ramadhan.
***.
Aku terus saja mengikuti dia, tanpa pikir panjang, aku punya cara untuk menyapa perempuan itu, akhirnya aku berpura-pura untuk menabraknya dari belakang.
“Maaf-maaf mbak, saya tidak sengaja”
“Oh iya Mas tidak apa-apa” Kata perempuan itu.
“Lho mas yang kemarin di halte itu ya?, mas rumahnya disini?” Saut perempuan itu
“Oh tidak mbak, kebetulan tadi saya lewat sini”
“Kalau begitu mari mampir ke rumah dulu Mas” Kata perempuan itu.
“Apa saya tidak merepotkan”
“Oh tidak sama sekali, silahkan Mas..!!!”
Sungguh tidak disangka, aku diajak ke rumahnya, rumahnya tidak jauh dari tempat waktu dia sengaja aku tabrak tadi. Sejenak aku teringat kalau aku dulu pernah datang kesini ketika masih kuliah, jika saat itu aku tidak dibantu sama teman waktu SMP, mungkin aku tidak mempunyai tempat untuk PPL.
Setelah tiba dirumahnya, aku dipersilahkan untuk duduk. Rumahnya serba kayu jati, persis seperti bangunan lama. Rumahnya unik. Banyak barang-barang kuno di dalamnya. Katanya itu koleksi ayahnya. Karena memang ayahnya seorang kolektor barang antik. Tiba-tiba titik fokusku berpindah di sebuah foto. Sungguh sangat kaget waktu aku melihat foto dia bersama teman-temannya yang menempel di dinding tepat pada pojokan dan itu sangat terlihat kecil. Sepertinya aku pernah melihat foto seperti itu. Aku pernah memiliki foto itu di rumah. Saat itu juga aku langsung bertanya kepada perempuan itu.
“Itu foto apa?” Tanyaku padanya.
“Itu foto waktu saya masih SMP dulu” Jawabnya
Betul sangat kaget ketika mendengar jawaban itu.
“Berarti kamu Bunga temanku waktu SMP dulu, yang pernah aku mintai bantuan?”
“Lho, jadi kamu Fandi teman SMP ku yang waktu itu meminta bantuan untuk mencari tempat buat PPL ya?” Jawabnya dengan kaget.
“Alhamdulillah kalau kamu masih ingat” Jawabku sambil tersenyum.
***
Apakah ini yang namanya jodoh, betul kata Tuhan kalau jodoh tida akan kemana. Bunga adalah temen sekalasku. Dia sangat cantik. Dia menjadi bahan taruhan ketika saya dan teman sekelas laki-laki bermain apapun. Dan setiap permainan itu saya selalu ikut dan memenangkannya. Sempat dulu bermain cinta monyet dengannya, tapi waktu bertemu dirumahnya, dia mungkin malu untuk mengatakan kalau saya adalah mantannya. Cinta monyetnya saat SMP. Mantan yang pendiam. Romantis juga bukan. Ah, apalagi ganteng.
Sejak dari rumah itu, aku selalu menghubunginya, beberapa kali dia mau aku ajak untuk bertemu berdua denganku. Dalam setiap pertemuan itu, ternyata dia saat ini sedikit masih menyimpan rasa yang dulu pernah ada. Berhari-hari, ber bulan-bulan bahkan sekitar satu setengah tahun lamanya perjalanan yang menyenangkan itu kita lalui bersama. Tidak ada hari yang tidak kita lalui, tidak ada musim yang tidak kita lalui. “terakhir kali” rasa itu ada ketika SMP. Entah mengapa rasa itu hadir kembali dalam pelukan setiap malam menjelang tidur. Selama ini sosok yang akau inginkan tidak pernah hadir dalam anaganku. Tapi dengan kaget sosok itu hadir di halte bus kota yang penuh kenangan siang itu. Dia menawarkan senyuman kemudain senyuman itu akau beli dengan cintaku yang ada. Setelah beberaa bulan akhirnya aku memutuskan untuk menikahinya dengan segenap jiwaku yang penuh dengan keniatan untuk menjadikannya saudara tidurku sepanjang hayatku. Setiap bayangku, aku selelu berpikir bahwasanya Tuhan tidak pernah menyembunyikan kasih sayangnya kepada hambanya yang dia cintai. Cinta dan jarak tidak akan pernah lupa. Rasa dengan cinta bagaikan ikan dengan air yang selelu menghidupinya. Terakhir adalah keputusan. Keindahan selelu hidup disampingnya. Baik buruk bergantung siapa yang menjalaninya, siapa yang menilainya. Ingatlah bahwasanya Tuhan selalu bersama orang yang senantiasa mengingatnya. Bulan kemenangan selalu aku ingat dalam perjalanannya.
Entah mengapa aku dirasuki getaran-getaran kuat ketika mata melihat sosok keindahan itu. Aku menemukan dia seperti surga membawa angin siang bolong, terik panas dan menyengat kulit. Panas itu membawa sebuah keindahan waktu. Entah mengapa Dia menatap jam yang kau kenakan pada pergelangan tangan kiriku. Dia mendekat, semakin mendekat. Dag dig dug semakin terasa. Panas mendekap. Bau harum melati parfumnya tercium dari jarak paling terjauh. Aku bingung kenapa dia semakin mendekat. Berjalan terus berjalan menghampiriku. aku sembunyikan senyuman manisku dari tutupan sepuluh jari tanganku. Tiba-tiba jarak itu tersisa beberapa sentimeter saja. Saat iku aku duduk di balkon halte bis tua dekat kota. Sebelah trotoar yang kusam dan kotor.
“Mas, sekarang pukul berapa?” Tanya perempuan itu
“ouuh, sekarang pukul sebelas siang mbak” Kataku sambil menatap jam tangan di pergelangan kiriku.
“Oh ya sudah Mas, terimakasih” Ucapan perempuan itu.
Ucapan itu terakhir kalinya saat bertemu diriku kala itu. Tatapan mesranya sungguh kenangan yang berharga. Wangi parfum badannya seakan melekat pada bulu-bulu hidungku yang panjang menjulang keluar. Tubuhnya ramping tinggi sedikit berisi. Tapi itu hanya semula. Hanya sekian detik berada di hadapan seluruh tubuhku. Tak terkecuali mata. Bahkan hati pun ikut merasakannya. Semula senyuman itu aku sembunyikan, namun ketika dia berjalan di hadapanku, senyuman yang semua aku miliki keluar dengan seiring hatiku yang dihinggapi bunga-bunga mekar dan harum. Bunga-bunga itu sekan pendorong untuk aku menyapa senyumnya yang sangat manis. Kerudungnya yang tak begitu panjang. Sangatlah anggun saat mata mulai menjamah penampilan elok nya. Sebelumnya aku tidak pernah sama sekali percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Tapi itu yang aku rasakan saat menatap wajahnya.
***
Kenapa penyesalan selalu muncul di akhir peristiwa. Penyesalan itu semakin mendalam waktu aku lupa memperkenalkan diriku dan berbalik menanyakan namanya. Hari-hari selalu kulalui. Duduk-duduk di pinggiran halte sembari menengok kanan kiri melihat semua penumpang bus kota. Debu-debu menyelimuti udara yang berhembus. Harapan itu selalu muncul. Aku ingin bisa bertemu dengannya walaupun itu sesaat. Bila aku bertemu, akan aku tanya siapa namanya, rumah nya dimana. aku tatap matanya dalam-dalam. Semua bumbu-bumbu cinta yang telah merasuk dari penjuru hati akan aku kirim sinyal itu dengan benih-benih cinta paling tulus untuk memiliknya. Memang cinta itu indah. Cinta bisa sempurna. Bila saling melengkapi. Kadar serta ukuran cinta bisa di buktikan dengan ujian. Maka dari itu aku percaya, pertemuan dan perjumpaan waktu itu, ditambah lagi rasa ingin bertemu yang aku rasa saat ini itu adalah sebuah ujian.
Wajahnya tidak bisa hilang dari bayanganku, aku tetap menunggu di halte tua itu. Berjam-jam, berhari-hari bahkan berbulan-bulan aku selalu setia menunggu kedatangannya meskipun itu hanya sekadar menatap wajahnya. Sama sekali tidak diduga, pada hari terakhir pada bulan romadhon. Takbir terus berkumandang di masjid-masjid. Tetap aku terus duduk di halte tua itu. Tiba-tiba aku melihat wajah perempuan itu di perkampungan dekat halte tersebut. Sengaja aku mendekatnya, aku dekati dia secara perlahan-lahan. Langkah itu semakin pelan ketika aku mulai bingung, “Dengan apa aku harus menyapa perempuan itu, kata apa yang harus akau ucapkan saat bertatap wajah dengannya?”. ada sesuatu barang yang ia bawa di tangannya, kelihatannya dia lagi perjalanan pulang, entah, mungkin dia pulang dari pasar. Kemudian dengan terpaksa aku ikuti dia dari belakang. Perlahan-lahan tapi pasti. Keadaan kampung yang ramai sekali, maklum malam takbiran. Orang-orang mengumandangkan takbir mengagung-agungkan kebesaran Allah setelah melalui bulan suci ramadhan.
***.
Aku terus saja mengikuti dia, tanpa pikir panjang, aku punya cara untuk menyapa perempuan itu, akhirnya aku berpura-pura untuk menabraknya dari belakang.
“Maaf-maaf mbak, saya tidak sengaja”
“Oh iya Mas tidak apa-apa” Kata perempuan itu.
“Lho mas yang kemarin di halte itu ya?, mas rumahnya disini?” Saut perempuan itu
“Oh tidak mbak, kebetulan tadi saya lewat sini”
“Kalau begitu mari mampir ke rumah dulu Mas” Kata perempuan itu.
“Apa saya tidak merepotkan”
“Oh tidak sama sekali, silahkan Mas..!!!”
Sungguh tidak disangka, aku diajak ke rumahnya, rumahnya tidak jauh dari tempat waktu dia sengaja aku tabrak tadi. Sejenak aku teringat kalau aku dulu pernah datang kesini ketika masih kuliah, jika saat itu aku tidak dibantu sama teman waktu SMP, mungkin aku tidak mempunyai tempat untuk PPL.
Setelah tiba dirumahnya, aku dipersilahkan untuk duduk. Rumahnya serba kayu jati, persis seperti bangunan lama. Rumahnya unik. Banyak barang-barang kuno di dalamnya. Katanya itu koleksi ayahnya. Karena memang ayahnya seorang kolektor barang antik. Tiba-tiba titik fokusku berpindah di sebuah foto. Sungguh sangat kaget waktu aku melihat foto dia bersama teman-temannya yang menempel di dinding tepat pada pojokan dan itu sangat terlihat kecil. Sepertinya aku pernah melihat foto seperti itu. Aku pernah memiliki foto itu di rumah. Saat itu juga aku langsung bertanya kepada perempuan itu.
“Itu foto apa?” Tanyaku padanya.
“Itu foto waktu saya masih SMP dulu” Jawabnya
Betul sangat kaget ketika mendengar jawaban itu.
“Berarti kamu Bunga temanku waktu SMP dulu, yang pernah aku mintai bantuan?”
“Lho, jadi kamu Fandi teman SMP ku yang waktu itu meminta bantuan untuk mencari tempat buat PPL ya?” Jawabnya dengan kaget.
“Alhamdulillah kalau kamu masih ingat” Jawabku sambil tersenyum.
***
Apakah ini yang namanya jodoh, betul kata Tuhan kalau jodoh tida akan kemana. Bunga adalah temen sekalasku. Dia sangat cantik. Dia menjadi bahan taruhan ketika saya dan teman sekelas laki-laki bermain apapun. Dan setiap permainan itu saya selalu ikut dan memenangkannya. Sempat dulu bermain cinta monyet dengannya, tapi waktu bertemu dirumahnya, dia mungkin malu untuk mengatakan kalau saya adalah mantannya. Cinta monyetnya saat SMP. Mantan yang pendiam. Romantis juga bukan. Ah, apalagi ganteng.
Sejak dari rumah itu, aku selalu menghubunginya, beberapa kali dia mau aku ajak untuk bertemu berdua denganku. Dalam setiap pertemuan itu, ternyata dia saat ini sedikit masih menyimpan rasa yang dulu pernah ada. Berhari-hari, ber bulan-bulan bahkan sekitar satu setengah tahun lamanya perjalanan yang menyenangkan itu kita lalui bersama. Tidak ada hari yang tidak kita lalui, tidak ada musim yang tidak kita lalui. “terakhir kali” rasa itu ada ketika SMP. Entah mengapa rasa itu hadir kembali dalam pelukan setiap malam menjelang tidur. Selama ini sosok yang akau inginkan tidak pernah hadir dalam anaganku. Tapi dengan kaget sosok itu hadir di halte bus kota yang penuh kenangan siang itu. Dia menawarkan senyuman kemudain senyuman itu akau beli dengan cintaku yang ada. Setelah beberaa bulan akhirnya aku memutuskan untuk menikahinya dengan segenap jiwaku yang penuh dengan keniatan untuk menjadikannya saudara tidurku sepanjang hayatku. Setiap bayangku, aku selelu berpikir bahwasanya Tuhan tidak pernah menyembunyikan kasih sayangnya kepada hambanya yang dia cintai. Cinta dan jarak tidak akan pernah lupa. Rasa dengan cinta bagaikan ikan dengan air yang selelu menghidupinya. Terakhir adalah keputusan. Keindahan selelu hidup disampingnya. Baik buruk bergantung siapa yang menjalaninya, siapa yang menilainya. Ingatlah bahwasanya Tuhan selalu bersama orang yang senantiasa mengingatnya. Bulan kemenangan selalu aku ingat dalam perjalanannya.
Komentar
Posting Komentar