Malam itu tepat hari kelahiranku ke 18 tahun. Kehidupanku sehari-hari kian terus berganti. Angin hilir mudik menngisaratkan kehidupanku. Uang bergelimang kesana kemari. Hingga tak terbayang berapa kekayaan yang dimiliki orang tuaku. Bisa saja uang yang dimiliki keluargaku bisa untuk makan orang satu kabupaten di sana. Tapi ya begitu keluargaku yang tak pernah bosan mondar-mandir ke masjid, rumah yatim piatu untuk hanya sekedar bersalaman ke ketua yayasan sambil memberi sedikit hartanya. Memang dia orang orang baik dalam hal sumbang menyumbang. Mungkin itu hanya untuk sebagai formalitas saja. Tapi yang membuat keparatnya orang tuaku, mereka sering membawa teman lawan jenisnya ke rumah. Memang sih rumahku di komplek perumahan elit. Tetangga di sekeliling mungkin tak jadi masalah siapapun yang dibawa mereka. Tapi kejadian itu di rumahku. Rumah yang seharusnya dihiasi dengan iman dan ketentraman.
Saat itu pernah aku pergoki ayahku, yang seharusnya dia sebagai contoh teladan bagi keluarga. Panutan dari semua unsur kepemimpinanku. Tapi bangsat, dia sedang bercumbu dengan sekertarisnya di kursi ruang tamu. Saat itu aku baru pulang kuliah. Badan sungguh terasa enak untuk disandarkan, tetapi malah disuguhkan dengan tontonan yang bajingan. Suara mereka sampai terdengar ketika aku masih mau membuka pintu depan rumah yang berhias kaligrafi dari ukiran jati. Sungguh tontonan yang tak diduga selama ini. Mungkin kalau burung dan dedaunan bisa mendengar, mereka pastinya bisa mendengar sekaligus menonton apa yang disaksikannya. Bisa juga mereka terangsang saat melihatnya. Sama halnya dengan ku, laki-laki mana yang tidak terangsang melihat tontonan seperti itu. Aku juga masih laki-laki normal dalam hal seksual. Wajah sekertarisnya yang cantik, tubuhnya mirip gitar spanyol yang ramping tapi berisi. Tapi mirrisnya, saya melihat ada tai lalat besar di pinggangnya.
Meskipun aku pernah pacaran, tapi aku tidak bisa memperlakukan perempuan seperti itu. Perempuan adalah makhluk lembut segala yang paling lembut, dia juga sama-sama makhluk Tuhan. Selayaknya dia mempunyai hak untuk memerdekakan bagian tubuhnya yang berbeda.
Sempat saat itu aku berfikir untuk memenggal kepala mereka berdua. Aku ambil golok yang panjang kemudian aku hempaskan pada leher mereka berdua. Aku dekati mereka, lalu aku seret keluar. Aku gantung mereka pada pohon besar di depan rumah dan ku penggal mereka berdua. Biar kepala mereka tetap bergantung pada tangkai pohon beringin depan rumah. Sama halnya dengan waktu perang sampit dulu atau pembantaian masa-masa PKI. Mayat bercecran dimana-mana. Air sungai yang seharusnya jernih berubah menjadi merah karena bercampur darah-darah orang mati sia-sia.
Sontak aku terbangun dari tidur malam itu, ternyata itu hanya mimpi belaka. “Sialan, itu hanya mimpi. Tapi ngeri sekali mimpiku barusan” . langsung aku bergegas ke dapur mengambil segelas air minum, setelah mimpi yang sekejam itu, aku teringat ayah dan ibu. Aku ingin menjenguk mereka di kamarnya, biasanya orang tuaku kalau tidur tidak pernah mengunci pintunya. Karena kalau terjadi apa-apa bisa langsung keluar. Tapi aneh, pintu mereka terbuka sedikit. Aku intip mereka, ternyata mereka sedang bercumbu dengan mesranya. “Ah, mereka sedang bercumbu, aku tak mau mengganggunya. Kalau dia rukun begini kan aku jadi tenang. Berarti mimpiku tadi hanya dunia fana ”. setelah itu aku melanjutkan untuk tidur. Tidur yang melelahkan. Menelanjangi dunia fana yang tak ada ujung tombak nya.
Dunia hanya sebatas ilusi yang tak bisa sampai pada puncak kenyataannya. Hidup hanya memberi yang terbaik dan melakukannya. Aku tak habis pikir mengapa mereka bisa se mesra tadi malam. Padahal setiap hari mereka bekerja sampai lalai untuk mengurusku. Bahkan sudah terbiasa kalau mereka sering bertengkar di dalam rumah. Semua perabotan yang ada bisa melayang-layang di udara. Tanpa nahkoda dan kendali manusia. Terkadang barang itu hinggap di kepala ayah, kadang juga asbak tempat sisa rokok ayah bisa membuat bocor kepalanya. Jika saat seperti itu mana bisa aku buat, aku hanya anak kecil yang tidak tau urusan rumah tangga. Aku hanya bisa menghempaskan napas dipojokan kamar sambil menangis tersenduh dengan sendirinya. Hanya tangis air mata yang bisa aku ungkapkan sebagai do’aku pada Tuhan. Hari-hari itu semakin berlalu, keramaian demi keramaian, keributan demi keributan semakin menjadi-jadi. Kejadian itu menimbulkan efek bagi kehidupan keseharianku. Aku sering keluar malam, sering mabuk-mabukan, bahkan sampai pernah menggunakan narkoba. Karena apa?, karena aku tidak menemukan kasih sayang di dalam rumahku sendiri. Karena aku tidak menemukan keramahan yang ada di rumahku.
Malam semakin suntuk, pikiran penuh setan terkutuk. Banyak tai lalat berhinggapan di akal sehatku. Jalan semaikin buntu. Tapi uang selalu ada di genggaman. Aku sadar apa yang saya lakukan salah. Aku juga melakukan perbuatan-perbuatan bodoh itu dengan secara sadar, tanpa ada hasutan dan ajakan. Itu atas kemauanku sendiri. Saat itu ayah ibu tidak berada di rumah. “Mungkin mereka belum selesai kerja, buat apa dia pulang, kalau hanya untuk bertengkar”. Rumah semakin sepi. Sunyi yang kurasa. aku memutuskan untuk pergi ke sebuah diskotik dekat dengan perumahanku. Aku merasa punya hak untuk bersenang-senang. Aku nikmati setiap tegukan minuman alkohol yang saya pesan. Samping kana kiri di dampingi perempuan-perempuan cantik nan bahenol. Depan saya disuguhkan perempuan-perempuan erotis sedang menari dengan sampul BH dan CD yang dikenakannya. Surga dunia yang kurasakan. Setelah berjam-jam terperangkap pada dunia neraka yang hampir sama.
Semua kunikmati secara sadar dan penuh kepuasan. Setelah lama surga ku raih dan kudapati. Tepat pukul dua belas malam. Aku pulang kerumah. sampai dirumah aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Wajah samar-samar. Terperangkap hawa nafsu setan. Badanku sempoyongan tak bisa ku kendalikan. Aku membuka pintu rumah. Suara neraka itu masih saja terjadi. Pecahan gelas-gelas perabotan rumah tungga semakin dekat terdengar. Aku bingung apa yang harus akau lakukan. Aku mencoba untuk menyeimbagkan akal dan perbuatanku. Tetap aku tidak bisa.
“Tuhan, apa yang harus akau lakukan ”. sempat saat itu aku memanggil tuhan. Tuhan yang tak pernah ada, namun kasih sayangnya selalu ada. Dengan cepat aku dobrak pintu itu sekuat tenaga. Kemudian aku meneriakkan suara dengan lantang
“Diam..!!!!!!!”
“Aku bosan dengan semua ini”
“Apa yang kalian inginkan”
“Aku ini anakmu yang butuh perhatianmu”
Tanpa pikir panjang aku lari menuju dapur mengambil pisau. Pisau itu aku bawa dengan hati yang penuh dengan amarah, penuh dengan kejahiliyaan. Penuh dengan kebodohan. Aku berjalan dengan cepat, napas ku tak teratur saat dihembuskan. Sama halnya banteng yang mau menerjang kain merah saat pertunjukkan matador di negara Spanyol. Saya ibaratkan kain merah itu adalah orang tuaku, aku meneerjang mereka, tanpa olah pikir jiwa, aku tusukkan pisau itu di perut mereka berdua. Darah mengalir berceceran di lantai. Ada rasa menyesal, tapi juga ada rasa kebahagiaan tersendiri dalam benakku. Aku sudah mengubur dalam-dalam kenangan neraka yang pernah ada di rumahku. Tapi aku juga menyesal karena telah menghilangkan telapak surga di kedua orang tuaku. Waktu itu juga bertepatan aku ulang tahun ke 18. Hari dimana aku dilahirkan dibumi. Hari dimana aku mengenal wajah-wajah dunia. Tapi setitik hempasan napas dengan hujatan pisau aku lenyapkan mereka yang meng-adakan aku di dunia ini. Mimpi itu ternyata benar adanya. Kemesraan malam itu mungkin kemesraan yang diciptakan Tuhan untuk aku lihat terakhir kalinya.
Surabaya, kamis 4 Mei 2017
Komentar
Posting Komentar