Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

APA SEBUTAN UNTUK MARINA

Kesepian adalah keheningan yang bingung tanpa sandaran. Hilir mudik, kanan ke kiri, melingkari seluruh kenangan Marina saat dia duduk di tepian sungai sebelah rumahnya. Tepian itu tak seluas hamparan Pantai Pandawa. Di semak rerumputan, dijadikan ulat untuk menyambung kehidupan kelompoknya.  Mariana kelihatan geli ketika dia berjalan mengitari tepian sawah itu. Marina sudah bosan dengan keheningan. Sudah bosan dengan kesunyian. Dia ingin keramaian yang tak pernah dialami semasa hidupnya. Kesunyian itu terakhir kali dialami Mariana ketika dia ditinggal mati oleh suaminya. Tragis memang, Rumah terletak di hamparan sungai yang luas. Sangat sedikit tetangganya. Hiruk pikuk malam hari sangat tak terasa. Saat jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam, sunyi itu semakin menjadi-jadi. Marina bingung ketakutan, dia tinggal sendirian, hanya ditemani beberapa ayam peninggalan suaminya. Tubuhnya dipojokkan dalam kamar. Dia sangat benci dengan kesunyian. Sunyi yang menjadikannya...

SEJARAH DAN KEABADIAN MBAH BEKEL

Cerita ini berasal dari sebuah kota yang penuh dengan banyak sejarah, sejarah merupakan titik tombak peradaban kemajuan suatu daerah. Sama halnya dengan Bung Karno yang pernah berkata, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Barang siapa yang lupa dengan sejarah, maka dia akan lupa dengan jati dirinya sendiri. Itu merupakan pentingnya sebuah sejarah, pentingnya untuk mempelajari sejarah. Cerita ini yang semula ada dan diadakan di kota Lamongan, sebelah timur dari kota Lamongan terdapat sebuah desa yang bernama Bapuh Bandung. Jarak antara desa ke Kota Lamongan kira-kira 20 Km. Sedangkan jarak antara desa ke Kota Gresik Cuma 10 Km. Maka dari itu penduduk Timur dari Kota Lamongan ini lebih banyak menghabiskan waktunya di Kota Gresik dari pada ke Kota Lamongan. Desa Bapuh Bandung merupakan desa yang lumayan banyak penduduknya. Desa yang terdiri dari tiga dusun yaitu Dusun Bapuh, Dusun Bandung, dan Dusun Dukuh Rejo. Tapi cerita yang saya ung...

AKU SANGKA BESOK KABUT MELAYAP

Dalam susah besok ku sangka kabut melayap. Musim kemarau berhilir ke dekapan pelabuhan. Suara nyanyian burung-burung silau pada hujan. Hujan berdayung duri. Sengaja aku berdiri dengan gelombang. Membuat boneka dari puisi. Apa saja yang ku dapat saat bernyanyi. Menghitari seluk pantai di ujung pandawa. Hanya pandai tatapan matanya. Seutas itu bersuara nyaris membuat dahaga. Dayung kapal selam di kemudian. Menyelam dari biru ke haluan. Apa daya diriku berjalan. Sama halnya ombak di tengah lautan. Salam sayang bila tak karuan. Suara diujung titik pusar laut. Pasir berdebu melihat rona penjual. Dia penjual nurani dalam jiwa. Aku berharap tak jadi penjual. Karena penjual hanya menjajakan. Bukan mengikhlaskan. Tak disangka, payung berdiri. Menutupi duka waktu senang. Bila harus bimbang, aku tak sangka waktu memang gelap. Apa bedanya laut dalam sangkar. Bila tak bisa keluar. Keyakinan adalah bagaimana memandang. Kepercayaan adalah bagaimana menguatk...

TAMPAK BAJU KUSUT

Baju tampak kusut Meninggal dalam kasih seputung rokok. Membungkus asap ketika berantakan. Tolong.!!, sampaikan dahaga ku pada dasar telaga. Untuk kertas yang mengusap air mataku. Carilah dia dan mengapa tidak berani. Sejenak malam itu. Banyak kutemui manusia dalam sarung. Menangis dengan petang, bercanda dengan alam. Kebahagiaan tergantung saat rerumputan bergoyang. Dalam catatan perumpamaan. Dia adalah seorang hak dan kewajiban. Gambaran musafir coba untuk aku pahami. Ibadah atau kesenangan. Mungkin kecurangan. Bahkan sambungan hegomoni yang tak dapat dikenang. Bulan datang saat gerhana. Langit cerah bermain saat mendung. Hujan datang saat kemarau. Tapi dirimu ada sebab simbol anjing lapar. Kabut-kabut harimau beraujud kepadamu. Kau disalah sangkakan dengan keTuhanan dari arti kebijaksanaan. Senin, 15 Mei 2017

TERBAYAR DI HARI ULANG TAHUNKU

Malam itu tepat hari kelahiranku ke 18 tahun. Kehidupanku sehari-hari kian terus berganti. Angin hilir mudik menngisaratkan kehidupanku. Uang bergelimang kesana kemari. Hingga tak terbayang berapa kekayaan yang dimiliki orang tuaku. Bisa saja uang yang dimiliki keluargaku bisa untuk makan orang satu kabupaten di sana. Tapi ya begitu keluargaku yang tak pernah bosan mondar-mandir ke masjid, rumah yatim piatu untuk hanya sekedar bersalaman ke ketua yayasan sambil memberi sedikit hartanya. Memang dia orang orang baik dalam hal sumbang menyumbang. Mungkin itu hanya untuk sebagai formalitas saja. Tapi yang membuat keparatnya orang tuaku, mereka sering membawa teman lawan jenisnya ke rumah. Memang sih rumahku di komplek perumahan elit. Tetangga di sekeliling mungkin tak jadi masalah siapapun yang dibawa mereka. Tapi kejadian itu di rumahku. Rumah yang seharusnya dihiasi dengan iman dan ketentraman. Saat itu pernah aku pergoki ayahku, yang seharusnya dia sebagai contoh tel...