Langsung ke konten utama

SETELAH LAMA RUMPUT TAK TUMBUH DI SABANA


/1/
Setelah lama rumput tak tumbuh di sabana.
Kini dia tumbuh subur di tempatnya.
Sekian lama akarnya hilang, sekarang tumbuh dengan sendirinya.

/2/
Kalau memang akar kebodohanmu adalah kebohongan Diatas kejujuran.
Bukan kerelaan hati untuk mengabdi.
Kalau memang kebutuhanmu adalah mengharap rembulan datang pada sinar kegelapan, ketika itu kau ditikam nafsumu sendiri.
Begitu pula ketika kau melihat mentari lari dari kegelapan, dan seketika itu pula tubuhmu jauh dari bising keramaian.

/3/
Mereka kau sangkarkan pada wajah kepolosan.
Sedang kau tidur seakan sunyi pendengaran.
Keramaian tak kau acuhkan.
Dengan segelintir sunyi di pikiran.

/4/
Mata kami kau tidurkan.
Telinga kami kau sumpal atas nama Tuhan.
Bukannya kerelaan hati untuk merundingkan titik temu.
Tapi seakan kau lupa dengan jiwamu yang tak pernah bersatu.

/5/
Jiwamu rusak terhempas nafsumu sendiri.
Akalmu cacat tersayat atas jalanmu sendiri.
Kami rindu bebas meluncur di awan.
Dengan angan-angan kebahagiaan.

/6/
Anak-anak kecil hanya kau bimbing untuk bermimpi.
Sampai tak bisa bermimpi lagi.
Janjimu memikat nafsu di alat pejantan mereka saat tidur.
Lalu menghasilkan setetes air mani yang jatuh saat dia mimpi basah.
Tapi itu semua hasil kepribadianmu.
Yang sekental mani.


Ahmad Baharuddin Surya
Surabaya 17 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...