Langsung ke konten utama

KUHILANGKAN SENJA

                       Desah suara isak burung bertebangan, kepakan sayapnya seirama dengan udara yang berhembus di pelataran. Tepatnya pelataran belakang rumahku. Rumah yang tersirat akan sebuah makna kehidupan. Lantas kehidupan itu sungguh tak berarti bila tanpa adanya suatu kehidupannya mereka, entah aku juga tidak tahu siapa mereka. Kata orang mereka itu hina. Lantas sejenak aku berfikir, kenapa mereka hina?, ketika orang berkata mereka hina, seakan-akan hatiku terasa naik ke ubun-ubun kepala. Lalu, sedikit aku berfikir juga, kenapa aku harus marah?, mereka itu siapa. Lagian aku merasa tidak tahu. Keabadianku disini seakan menghilangkan semua derita lama yang ku pendam dalam sudut waktuku kala itu. Aku hidup dalam keabadian yang diiringi oleh kesunyian. Entah malam ataupun siang buatku sama saja. Hidupku seakan tiada guna. Mereka telah hilang, aku tak tau apapun tentang mereka. Yang aku tau hanya katanya-katanya yang tidak tau jelas makna dari katanya.
                       
                      Kejelekan mereka diungkit-ungkit kepada semua orang. Seperti bahan rezeki dari Tuhan, semua orang bersyukur mendapatkannya. Bagaikan memakan daging ayam yang berkepala sapi. Aku bingung, tak dapat jalan untuk bernaung. Memang kata Ustadz tempat paling cocok untuk bernaung yaitu Tuhan. Akan tetapi mengaduh kepadaNya seperti berbicara pada orang tidur. Haturanku tak pernah dihiraukan. “Ah, mungkin dia lagi tidur”, pikirku. Dari kecil kehidupanku tak pernah berubah. Sejak SD aku hidup dalam kerundungan sepi. Sepi menyelimuti nurani sampai pikiran ku berhari-hari, berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun lamanya. Seakan sepi sudah beranak jadi sunyi, sunyi berubah jadi hening tanpa suara, hanya suara reotan kayu yang menguntai pada atas bambu penyangga rumah. Dengan semua itu, aku menyadari akan kekurangan finansial diriku. Apa dayalah diriku ini, hidup sebatangkara sejak berumur lima tahun. Kehidupanku dicukupi oleh kakek yang tak mudah lagi, jalannya meronta-ronta, kakinya diselimuti luka akibat penyakit diabet yang dimilikinya.

                       Lukanya bercampur antara tanah yang tervirus oleh cacing-cacing sawah. Luka yang basah dikerubungi oleh lalat-lalat yang besar. Ingin rasanya kupindahkan luka itu ke tubuhku, biarkan lalat itu yang menggrogoti tubuhku. Biarkan aku yang menggantikan Tuhan untuk mengenyangkan lalat-lalat itu. Sampai saat ini luka itu tak kunjung sembuh, malah semakin bertambah luka yang membesar dan semakin basah. Tampak lalat-lalat itu semakin kenyang dibuatnya.

                       Setiap harinya semua pekerjaan aku yang mengerjakan, dari mengembala kedelai, sampai memberi makan ikan di tambak orang. Setelah itu aku Sejenak beristirahat sambil melupakan derita yang lama. Kuistirahatkan hatiku yang tak kunjung sembuh dari penderitaan ini. Penderitaan dari luka lama dari mereka yang menghuni rumahku dulu. Tapi sampai saat ini akau tak kunjung tahu siapa mereka itu. Dengan cerita semua itu aku mulai belajar dengan sepenuh hati inginku gembirakan kakekku. Aku tak mau tahu siapa mereka, biar orang berkata apapun tentangnya. Aku tak peduli. Biar rerumputan disana tak satupun mekar dimusimnya, aku tak peduli,  yang ku inginkan hanyalah sebutir beras dikemudian hari. Tanpa sebutir beras, untuk mencapai sekilo beras pun tak bisa.

                       Kakekku menghidupi diriku dari kecil hingga aku sampai seperti ini. Kuliahku hanya dibiayai dengan beberapa butir pohon singkong milik kakekku. Terasa sungguh tak mungkin tapi memang benar adanya. Semua orang sepertinya tak ada habisnya mengejek diriku dari yang halus sampai pada titik yang paling terhalus. Tanpa kontak fisik, tapi mereka seakan-akan menyayat struktur hatiku yang paling dalam yaitu hati kecilku. Waktu mereka berkata seperti itu, terasa hati kecilku menyeruak ingin keluar dan menghantam mulut orang-orang itu.

                       “Aku harus bangkit dan membawa perubahan”, setelah lulus dari S1 di Jakarta, aku kembali ke desa. Rencana selanjutnya, aku ingin membangun sebuah sekolah desa yang berguna bagi anak-anak disana. Kasihan mereka, aku tidak mau mereka seperti aku dulu. Hidupku diselimuti mereka yang masih misteri yang tak kunjung dibuka oleh kakekku.

                       Malam itu, dalam kesenjangan waktu. Tak pernah kunjung usai, membawaku pergi melayang keawan. Membawa perubahan ke segala penjuru masa. Inginku putar roda kehidupan ini, supaya desaku ini terbebas dari kebodohn yang sangat kental dengan anggapan-anggapan. Aku berusaha belajar dari masa lalu. Masa-masa dimana akau berada dalam kekerdilan, berada dalam pengucilan rindu kedua orang tua. Setiap malam rambutku dibelai dengan kedua tangan yang sudah keriput tanda mulai memuai sel-sel otot dan saraf tubuhnya yaitu  kakekku. Kelembutannya membuat diriku hinggap di burung garuda yang sesungguhnya tak pernah kulihat. Namun ketika sekolah terlihat burung garuda yang sayapnya melebar luas. Seakan lembut bila di buat tidur, karena di sanggah oleh 17 inti kenegaraan Indonesia. Sungguh terlihat bermakna tapi tak pernah ku ketahui makna itu.

                       Semua anak di desa ini desa pedalaman sangatlah istimewa, tanpa sekolah tapi cara berfikrnya sangatlah masuk akal. Meskipun tanpa didukung sebuah pelajaran formalitas, mereka bisa hidup dengan kelaparan, mungkin sikap sopan santunnya kepada orang tuanya, atau kah memang takdir Tuhan. “Padahal mereka kan tidak percaya Tuhan”. Mungin juga itu sudah takdir. Namun seperti aku ini hanya kakek yang sanggup aku santuni. Dia yang menghantar dan membimbingku ke sebuah senja tanpa ada rupa, namun bisa dilihat dengan menggunkan mata keindahan yang ikhlas untuk menyapa senja itu. Padahal senja itu tak kunjung sempurna, tiba-tiba tersempurnakan oleh harapan-harapan cinta yang tertuju padanya.

                       Kulihat mata kakek sayup-sayup berlinangan air mata di sudut kamar itu. Kaki yang terselonjor dengan luka yang tak perna usai kesembuhannya. Tapi kesayupan itu setitik terlihat kegembiraan yang tak pernah tersirat. Bahkan tersirat pun itu tak pernah tersembunyi dari rona wajah yang penuh kegembiraan yang abadi. Keabadian itu tak terlihat dari kesehariannya, melainkan dari keniatannya untuk mengorbankan hidupnya demi diriku.

                       Semula aku berada dalam kesendirian dalam proses mengembangkan revolusiku demi kemajuan asalku. Pertama aku bangun gubuk kecil-kecilan tempat untuk mengumpulkan semua anak-anak di desaku. Mereka antusias mengikuti proses pembelajaranku yang sedikit demi sedikit mulai merasuk di pikiran mereka. Anak-anak disana sangatlah bermacam bentuk pemikiran dan sikap dalam menanggapi pembelajaranku. Yang pada intinya aku belajar memanusiakan manusia. Lama kelamaan sangatlah banyak donatur yang ingin menyumbangkan baik berupa buku ataupun sumbangan-sumbangan do’a. Dan ku sadari itu sangatlah membantu.

                       Pada mulanya hanya aku sendiri yang mengajar disitu, namun pada akhirnya banyak relawan-relawan yang ingin mengajar. Karena waktu kuliah aku sedikit belajar tentang teknologi. Dan program-program yang aku lakukan di desa, kegiatan demi kegiatan aku posting di media sosial. Program pembelajaran itu, aku beri nama Gubuk Revolusi. Dan sekarang terdiri dari beberapa kelas sesuai dengan umur dan tingkat belajarnya.

                       Dengan dibantu teman-teman semasa kuliah, sekarang sudah berdiri Gubuk Revolusi di berbagai pelosok Indonesia yang sangat minim pendidikan. Pada intinya, program ini aku lakukan dengan keikhlasan hati. Biar pemerintah tau bahwa di pelosok-pelosok Negeri ini masih ada rakyatnya yang peduli dengan generasi bangsa.

                       Banayak sekali dermawan-dermawan yang menyumbang kegiatanku kali ini. Besar harapanku yaitu, supaya anak-anak bangsa ini tidak terkucilkan dalam kependidikan.

                       Selang berjalan beberapa hari, beberapa bulan, beberapa tahun. Program belajar itu semakin berkembang dan bercabang. Sempat aku pernah mendapatkan piagam dari pemerintah daerah Manokwari. Yang saya herankan,  pemerintah pusat tidak pernah peka terhadap apa yang aku lakukan sekarang.
                       Seiring berjalannya kehidupan, baik buruk kehidupan bergantung siapa yang menjalani. Kemudian dalam kehidupan kakek, mengalami kemerosotan dalam kesehatan. Luka yang diderita semakin parah. Luka pada kakinya semakin membesar dan lalat-lalat itu semakin kenyang memakan luka kakek.

                       Pada malam yang suram ketika itu, kakek menghembuskan nafas terakhirnya. Namun pada akhir hidupnya kakek berkata kalau
“mereka yang tinggal di rumah kita dan menjadi bahan omongan warga adalah ayah ibumu yang sudah lama bercerai”,
“karena ibumu sering main cinta dengan lelaki lain karena kehidupan ayahmu yang miskin dan ditinggal mati oleh ayahmu.”.
“Hingga melahirkan seorang anak yang sekarang dibawa ibumu pergi karena telah diusir oleh warga kampung”.
“Ibumu memang sungguh keterlaluan, tega sekali dengan bapakmu”.
“Kakek tidak mau memberi tahumu karena takut kalau kamu tak bisa mnerima semuanya”.

                     Seketika itu aku sadar kalau memang senja tak pernah ada, kesuraman, keburaman saat senja terlihat di langit-langit alam, semakin menyapa dalam kegelisahan. Kegelisahan yang membohongiku untuk tetap berdiri melawan keras nya semua ini. Harapanku ingin ku ambil senja itu kemudian aku masukkan dalam kotak peti lalu ku kubur di dalam hati. Biar hati ini tetap merindu dia sang tua layu kulitnya.



                                                                                                                                           
                                                                                                                                         4 mei 2017

                        

                        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Bagian yang Sering Dilupakan Saat Memperjuangkan Nasib Masyarakat Kecil

Sumber gambar: Shutterstock.com Gara-gara media sosial, kehidupan manusia sekarang bisa dibedakan menjadi dua bagian, maya dan nyata. Dua jenis kehidupan yang sangat bertolakbelakang. Dunia maya berarti semu, imajinatif, dan mendekati manipulatif. Sedangkan dunia nyata, adalah dunia yang mendekati titik kesadaran. Apa yang kita lakukan hari ini, apa yang terjadi pada kita hari ini, itulah dunia nyata. Bukan yang terjadi besok, apalagi beberapa hari belakangan. Yang jadi pertanyaan, waktu kita, lebih banyak dihabiskan di mana, di dunia nyata apa di dunia maya. Selama 24 jam, berapa jam waktu kita habis di dunia maya. Jika benar lebih banyak di dunia maya, berarti selamat datang dengan duniamu yang serba manipulatif dan seolah-olah diada-adakan. Begitu juga dengan masalahnya. Dua dunia ini memiliki konflik yang berbeda-beda. Dulu, hadirnya masalah dikarenakan kita sering bertemu fisik. Sekarang, dengan dunia maya, tanpa bertemu, tanpa mengenal, justru bisa jadi masalah, bahkan bisa merem...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...