Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Dari Sepatu Reot, Kita Bisa Belajar Bagaimana Menjadi Orang Bervalue

Sepatu itu saya beli sekitar tahun 2016. Awal masuk kuliah. Mereknya crocodile. Belinya di daerah Menganti Gresik, dekat kampus UNESA Lidah Wetan.‎ Saya beli di hari kedua PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru). Di hari pertama, sepatu yang saya gunakan tidak sesuai peraturan. Akibatnya, saya mendapat hukuman. Agar tidak mendapat hukuman lagi, uang saku pemberian orang tua dari rumah, saya gunakan membeli sepatu baru, padahal sepatu dari rumah juga terbilang baru beli. Saya masih ingat betul, harganya Rp80.000. Saya membelinya pada malam hari setelah tugas PKKMB selesai saya kerjakan. Sepatu itu tidak selalu saya pakai, kecuali pas ada acara-acara formal yang mengharuskan memakai sepatu pantofel. Setelah beberapa tahun saya pakai, akhirnya jebol juga. Saya berniat tidak memakainya lagi. Waktu saya pulang ke rumah, saya bawa sepatu itu dengan niatan mau saya taruh di rumah saja, karena tidak memungkinkan dipakai. Ternyata, tanpa saya ketahui, saat saya di Surabaya, sepatu it...

Inner Child itu Nggak Lucu, Malah Jadi Simbol Kemiskinan

Banyak dari kita pasti pernah mengalami rasa ingin kembali lagi ke masa kecil. Ingin mengulangi masa di mana hidup sangat sederhana, sebatas main, tidur dan sekolah. Masalah yang ada pun tidak sekompleks setelah kita tumbuh dewasa. Kalau menurut saya tumbuh besar itu tidak enak.  Satu dari sekian banyak yang dikangeni dari masa kecil adalah masa bermain. Hal itu bukan tanpa alasan, sebagian besar hidup kita saat kecil, dihabiskan dengan bermain. Tak ayal, satu dari sekian kenangan ini bisa sangat membekas bahkan terbawa hingga dewasa. Banyak orang dewasa yang ketika melihat mainan atau permainan, rasa ingin ikut bermain juga ikut tumbuh.  Dari sini saya mulai berpikir, apakah masa kecil tidak ada habisnya? Lihat saja tempat-tempat hiburan seperti pasar malam, tidak sulit melihat bapak-bapak di area permainan yang (mungkin dengan alibi) mengajak main anak mereka. Padahal mereka sendiri sangat ingin memainkan permainan tersebut. Bagi orang dewasa, hiburan seperti mainan atau per...

Cerita Hafidz Quran Bisa Hafal Cepat di Usia Dini, Salah Satunya Menghafal di atas Pohon

Bilal wajahnya tampak sumringah saat ia turun dari panggung wisudah. Sambil menenteng ijasah tahfidnya, ia berlari menghampiri orang tuanya. Tanpa sadar, air mata bahagianya menetes pelan-pelan. Mereka memeluk Bilal dengan penuh syukur. Mereka sangat bahagia, anak bungsunya berhasil menghafal Al-Quran 30 juz di usia yang tergolong sangat dini. Kelas 1 SMA, baru berusia 16 tahun.  Di saat anak seusianya bermain dan bersenang-senang, nongkrong di warung, main game, pacaran, tawuran, dan sebagainya, Bilal mencoba menahan beragam godaan duniawi itu. Bukan berarti ia tidak bermain, tetapi kadar mainnya ia kurangi demi mewujudkan harapan orang tuanya, yaitu menjadi hafidz Quran.  Melarang Anaknya Bermain, tapi Menyediakan Billiard di Rumah Orang tuanya sangat mengerti keadaannya. Meski dibatasi, mereka tidak membiarkan anaknya tidak bermain begitu saja. Mereka mendukung anaknya bermain dengan cara mereka menyediakan media permainan sendiri di rumah. “Di rumah ada kok mainan. PS juga...